Waduh, 60% Mahasiswa FISIP UI Mengidap Gangguan Kecemasan
14 November 2023 |
22:05 WIB
Mahasiswa menjadi kelompok rentan yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Tak sedikit dari mereka memiliki niat untuk melakukan bunuh diri akibat kondisi mental yang dialaminya. Hal tersebut diungkapkan Dekan FISIP Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto.
Dia menjelaskan dari hasil skrining kesehatan jiwa yang dilakukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sejak 5 tahun lalu, sebanyak 60 persen mahasiswa mengalami anxiety atau gangguan kecemasan mulai dari sedang, parah, dan parah sekali. Adapun yang mengarah kepada parah dan parah sekali mencapai 20 persen.
Baca juga: Mengenal Butterfly Hug dan Manfaatnya untuk Mengatasi Kecemasan Berlebih
“Kecenderungan ingin bunuh diri angkanya sampai 10,8 persen [dari jumlah tersebut],” ujarnya dalam diskusi bertajuk Saatnya Bicara Kesehatan Jiwa yang menjadi bagian deklarasi Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Aji menyampaikan mahasiswa menunjukkan niat bunuh diri tidak mengalami peningkatan polynominal. Artinya, tidak terjadi situasi luar biasa yang mengarah ke niatan ingin bunuh diri secara masif. Namun, hal itu tidak mengurangi peringatan untuk memperhatikan isu kesehatan jiwa pada generasi muda.
Memang cukup mengejutkan lantaran mahasiswa FISIP UI terbilang salah satu generasi muda yang berhasil karena mampu masuk ke fakultas di kampus ternama tersebut. Aji menyebut sebagian kasus terjadi pada mahasiswa pascasarjana, mereka yang akan menjalani wisuda, hingga pemimpin organisasi mahasiswa.
Faktanya, pemicu keinginan bunuh diri ternyata bukan soal kegagalan. Aji mengungkapkan 70 persen persoalan ini muncul dari keluarga. “Kondisi keluarga mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa,” bebernya.
Lebih dari soal perceraian orang tua, banyak hal yang membuat mahasiswa tertekan hingga akhirnya terganggu mentalnya. Salah satunya ketika muncul pertanyaan ‘kapan akan wisuda’. Oleh karena itu, Aji menilai pola parenting harus menjadi perhatian para orang tua untuk menjaga mental para mahasiswa.
Selain itu, penting untuk membawa anak yang menunjukkan gejala masalah kesehatan mental ke ahli seperti psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang tepat.
Adapun, skrining yang dilakukan UI menggunakan metode self reporting quesionaire (SRQ). Pada 2019, keinginan bunuh diri mencapai benturan nilai antargenerasi, ditambah dampak ikutan dari revolusi teknologi digital dan sosial media yang menjadi pemicu tingginya kasus kesehatan jiwa.
Permasalahan kesehatan jiwa tidak hanya melanda Indonesia tetapi seluruh dunia. Sayangnya, isu yang sudah menjadi perhatian global itu belum terlalu menjadi fokus di Indonesia. Solusi atas benturan nilai antargenerasi itu dapat dijembatani dengan sesering mungkin dilakukan dialog antargenerasi.
Perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir generasi muda saat ini sangat dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi, termasuk di dalamnya sosial media. Perubahan pengaruh inilah yang sering kali tidak dipahami generasi yang lahir sebelumnya.
Menurut Kristin Samah, salah satu inisiator yang baru saja meluncurkan buku Menulis Membaca Kehidupan, kelompok umur anak sekolah, remaja, dan usia produktif merasakan dampak paling berat dari perubahan cara hidup saat ini sehingga seringkali mengalami benturan dengan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini juga bisa dirasakan di tempat kerja.
Mudahnya mengakses informasi melalui internet membuat generasi muda memiliki pengetahuan sangat luas, ujar Kristin. Namun di sisi lain, informasi yang diperoleh di internet bila tidak diimbangi dengan eksplorasi pada sumber yang memiliki kredibilitas tidak akan memiliki kedalaman sehingga proses internalisasi informasi akan menimbulkan guncangan.
“Inilah yang berpotensi mengganggu kesehatan jiwa,” tuturnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dia menjelaskan dari hasil skrining kesehatan jiwa yang dilakukan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sejak 5 tahun lalu, sebanyak 60 persen mahasiswa mengalami anxiety atau gangguan kecemasan mulai dari sedang, parah, dan parah sekali. Adapun yang mengarah kepada parah dan parah sekali mencapai 20 persen.
Baca juga: Mengenal Butterfly Hug dan Manfaatnya untuk Mengatasi Kecemasan Berlebih
“Kecenderungan ingin bunuh diri angkanya sampai 10,8 persen [dari jumlah tersebut],” ujarnya dalam diskusi bertajuk Saatnya Bicara Kesehatan Jiwa yang menjadi bagian deklarasi Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Aji menyampaikan mahasiswa menunjukkan niat bunuh diri tidak mengalami peningkatan polynominal. Artinya, tidak terjadi situasi luar biasa yang mengarah ke niatan ingin bunuh diri secara masif. Namun, hal itu tidak mengurangi peringatan untuk memperhatikan isu kesehatan jiwa pada generasi muda.
Memang cukup mengejutkan lantaran mahasiswa FISIP UI terbilang salah satu generasi muda yang berhasil karena mampu masuk ke fakultas di kampus ternama tersebut. Aji menyebut sebagian kasus terjadi pada mahasiswa pascasarjana, mereka yang akan menjalani wisuda, hingga pemimpin organisasi mahasiswa.
Faktanya, pemicu keinginan bunuh diri ternyata bukan soal kegagalan. Aji mengungkapkan 70 persen persoalan ini muncul dari keluarga. “Kondisi keluarga mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa,” bebernya.
Lebih dari soal perceraian orang tua, banyak hal yang membuat mahasiswa tertekan hingga akhirnya terganggu mentalnya. Salah satunya ketika muncul pertanyaan ‘kapan akan wisuda’. Oleh karena itu, Aji menilai pola parenting harus menjadi perhatian para orang tua untuk menjaga mental para mahasiswa.
Selain itu, penting untuk membawa anak yang menunjukkan gejala masalah kesehatan mental ke ahli seperti psikiater maupun psikolog untuk mendapat penanganan yang tepat.
Adapun, skrining yang dilakukan UI menggunakan metode self reporting quesionaire (SRQ). Pada 2019, keinginan bunuh diri mencapai benturan nilai antargenerasi, ditambah dampak ikutan dari revolusi teknologi digital dan sosial media yang menjadi pemicu tingginya kasus kesehatan jiwa.
Permasalahan kesehatan jiwa tidak hanya melanda Indonesia tetapi seluruh dunia. Sayangnya, isu yang sudah menjadi perhatian global itu belum terlalu menjadi fokus di Indonesia. Solusi atas benturan nilai antargenerasi itu dapat dijembatani dengan sesering mungkin dilakukan dialog antargenerasi.
Perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir generasi muda saat ini sangat dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi, termasuk di dalamnya sosial media. Perubahan pengaruh inilah yang sering kali tidak dipahami generasi yang lahir sebelumnya.
Menurut Kristin Samah, salah satu inisiator yang baru saja meluncurkan buku Menulis Membaca Kehidupan, kelompok umur anak sekolah, remaja, dan usia produktif merasakan dampak paling berat dari perubahan cara hidup saat ini sehingga seringkali mengalami benturan dengan orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini juga bisa dirasakan di tempat kerja.
Mudahnya mengakses informasi melalui internet membuat generasi muda memiliki pengetahuan sangat luas, ujar Kristin. Namun di sisi lain, informasi yang diperoleh di internet bila tidak diimbangi dengan eksplorasi pada sumber yang memiliki kredibilitas tidak akan memiliki kedalaman sehingga proses internalisasi informasi akan menimbulkan guncangan.
“Inilah yang berpotensi mengganggu kesehatan jiwa,” tuturnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.