Review Film Budi Pekerti: Saat Gawai Menjelma Moncong Senjata & Rimba Perisakan di Media Sosial
02 November 2023 |
16:22 WIB
Perundungan atau bullying telah menjadi isu penting yang mewarnai media sosial belakangan ini. Tengoklah Instagram, salah satu medsos yang paling banyak digunakan publik untuk mendulang dan berbagi informasi, niscaya ada segelintir perisakan di sana saat gawai berubah menadi moncong senjata.
Pelampiasan, cemooh, hingga kenyinyiran di media sosial inilah yang diangkat sutradara muda cempiang Wregas Bhanuteja. Entengnya jemari warganet dalam menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran, dengan ciamik diolah lewat film Budi Pekerti yang siap tayang hari ini di bioskop.
Baca juga: 5 Fakta Unik Film Budi Pekerti Besutan Wregas Bhanuteja
Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) adalah guru yang asyik dan seru di mata murid-muridnya. Dia memiliki cara yang khas untuk mengajar siswa yang bersalah bukan dengan memberi hukuman, tapi dengan teknik refleksi agar muridnya mengerti hukum sebab akibat.
Memiliki visi jauh ke depan, guru Bimbingan Penyuluhan (BP) SMP Pengemban Utama itu bahkan digadang-gadang menjadi wakil kepala sekolah. Namun, lazimnya nasib pahlawan tanpa tanda jasa, keuangannya morat-marit lantaran suaminya Didit Wibowo (Dwi Sasono) mengalami bipolar.
Tak hanya itu, finansial mereka juga makin ringsek saat berbagai usaha yang dijalankan, mulai berdagang cupang, bisnis skuter ambruk dihantam pandemi. Uang tabungan untuk hidup dengan dua anaknya, Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina) juga makin menipis untuk membayar kontrakan.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, Prani yang sedang didera masalah juga mengalami nasib naas saat membeli kue putu untuk suaminya. Saat sedang mengantre di sebuah pasar tradisional, dia diserobot oleh seseorang yang justru mencak-mencak saat ditegur olehnya dengan cara yang santun.
Ibarat bom waktu, Bu Prani muntab. Segudang beban yang selama ini menggelayuti pundaknya meledak setelah cekcok berlangsung. Arkian, untuk mengakhiri masalah dia pun pergi sambil berucap "ah, suwi," (ah, lama) yang terdengar seperti pisuhan (umpatan) bahasa Jawa yang dilafalkan dengan cepat.
Namun, tanpa disadari banyak pembeli yang merekam aksi cekcok tersebut dan diunggah ke internet. beban psikologis Prani semakin bertambah berat saat video itu viral imbas komentar-komentar pedas netizen yang menuduhnya tidak memiliki jati diri sebagai seorang pendidik. Bahkan, kedua anaknya juga ikut terseret dalam konflik tersebut.
Refleksi Sosial
Berdurasi 1 jam 50 menit tanpa tedeng aling-aling Wregas berhasil memvisualisasikan belantara media sosial yang pelik dan kerap berbeda dengan realitas. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesama yang saling menerkam satu sama lain, jika merujuk pada karya Thomas Hobbes, De Cive (1651).
Budi Pekerti secara lugas memang mengeksplorasi gejala masyarakat yang sakit lewat fenomena perisakan yang dilakukan secara daring. Hal ini sejalan dengan survei UNICEF di mana sebanyak 45 persen anak-anak Indonesia pernah mengalami perundungan di dunia maya.
Hal itu terefleksi lewat berbagi konten yang dibuat Gaung Tinta yang ingin mengais keuntungan dari tumpukan konflik. Pemimpin redaksinya, Tunas (Ari Lesmana) bahkan memburu click bait dari konten yang mereka sebarkan di media sosial alih-alih membantu rekan mereka yang didera masalah.
Menjadi film panjang kedua setelah Penyalin Cahaya, Wregas juga masih menyisipkan berbagi metafora yang sengaja dibocorkan pada penonton. Penggunaan ring light yang hadir hampir di semua adegan, berdiam di pojokkan, atau pelengkap artistik juga memiliki semiotika tertentu.
Lampu memang kerap digunakan untuk memberi penerangan. Namun, pada era medsos, secara semiotik kebaruan dari produk tersebut kerap digunakan untuk memoles citra, menawarkan kesempurnaan hingga gemerlapan cahaya dari sebuah exposure yang hadir tanpa cacat.
Dari segi cerita, Budi Pekerti juga ampuh untuk mengaduk-aduk emosi penonton dengan penggunaan dialog yang sangkil dan mangkus. Uniknya, dinamika itu dikemas Wregas dengan ringan tanpa keluar konteks dengan sebagian besar menggunakan bahasa Jawa yang fasih dari aktornya.
Berbeda dengan Penyalin Cahaya yang menggambarkan semiotika yang rumit, Wregas berhasil mengemas film terbarunya ini dengan ringan tanpa mengorbankan kualitas. Meski sempat hadir di TIFF, film ini bahkan tidak lambat laiknya film-film festival, serta terbukti menyabet 17 nominasi FFI.
Dibumbui berbagai afeksi sendu, marah, hingga kepekaan sang sineas dalam memotret realitas kiwari, Budi Pekerti ibarat oase yang belakangan ini jarang muncul di industri film Indonesia. Permainan ambiguitas akting protagonis utama hingga latar musik besutan Yennu Ariendra juga patut diacungi jempol.
Baca juga: Daftar Nominasi Festival Film Indonesia 2023, Budi Pekerti Borong 16 Nominasi
Editor: Indyah Sutriningrum
Pelampiasan, cemooh, hingga kenyinyiran di media sosial inilah yang diangkat sutradara muda cempiang Wregas Bhanuteja. Entengnya jemari warganet dalam menomorsatukan pembenaran, bukan kebenaran, dengan ciamik diolah lewat film Budi Pekerti yang siap tayang hari ini di bioskop.
Baca juga: 5 Fakta Unik Film Budi Pekerti Besutan Wregas Bhanuteja
Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) adalah guru yang asyik dan seru di mata murid-muridnya. Dia memiliki cara yang khas untuk mengajar siswa yang bersalah bukan dengan memberi hukuman, tapi dengan teknik refleksi agar muridnya mengerti hukum sebab akibat.
Memiliki visi jauh ke depan, guru Bimbingan Penyuluhan (BP) SMP Pengemban Utama itu bahkan digadang-gadang menjadi wakil kepala sekolah. Namun, lazimnya nasib pahlawan tanpa tanda jasa, keuangannya morat-marit lantaran suaminya Didit Wibowo (Dwi Sasono) mengalami bipolar.
Tak hanya itu, finansial mereka juga makin ringsek saat berbagai usaha yang dijalankan, mulai berdagang cupang, bisnis skuter ambruk dihantam pandemi. Uang tabungan untuk hidup dengan dua anaknya, Muklas (Angga Yunanda) dan Tita (Prilly Latuconsina) juga makin menipis untuk membayar kontrakan.
Trailer film kami BUDI PEKERTI 2 November 2023 di Bioskop pic.twitter.com/446NrWJn1O
— Wregas Bhanuteja (@Wregas) October 5, 2023
Ibarat bom waktu, Bu Prani muntab. Segudang beban yang selama ini menggelayuti pundaknya meledak setelah cekcok berlangsung. Arkian, untuk mengakhiri masalah dia pun pergi sambil berucap "ah, suwi," (ah, lama) yang terdengar seperti pisuhan (umpatan) bahasa Jawa yang dilafalkan dengan cepat.
Namun, tanpa disadari banyak pembeli yang merekam aksi cekcok tersebut dan diunggah ke internet. beban psikologis Prani semakin bertambah berat saat video itu viral imbas komentar-komentar pedas netizen yang menuduhnya tidak memiliki jati diri sebagai seorang pendidik. Bahkan, kedua anaknya juga ikut terseret dalam konflik tersebut.
Refleksi Sosial
Berdurasi 1 jam 50 menit tanpa tedeng aling-aling Wregas berhasil memvisualisasikan belantara media sosial yang pelik dan kerap berbeda dengan realitas. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesama yang saling menerkam satu sama lain, jika merujuk pada karya Thomas Hobbes, De Cive (1651).
Budi Pekerti secara lugas memang mengeksplorasi gejala masyarakat yang sakit lewat fenomena perisakan yang dilakukan secara daring. Hal ini sejalan dengan survei UNICEF di mana sebanyak 45 persen anak-anak Indonesia pernah mengalami perundungan di dunia maya.
Hal itu terefleksi lewat berbagi konten yang dibuat Gaung Tinta yang ingin mengais keuntungan dari tumpukan konflik. Pemimpin redaksinya, Tunas (Ari Lesmana) bahkan memburu click bait dari konten yang mereka sebarkan di media sosial alih-alih membantu rekan mereka yang didera masalah.
Menjadi film panjang kedua setelah Penyalin Cahaya, Wregas juga masih menyisipkan berbagi metafora yang sengaja dibocorkan pada penonton. Penggunaan ring light yang hadir hampir di semua adegan, berdiam di pojokkan, atau pelengkap artistik juga memiliki semiotika tertentu.
Lampu memang kerap digunakan untuk memberi penerangan. Namun, pada era medsos, secara semiotik kebaruan dari produk tersebut kerap digunakan untuk memoles citra, menawarkan kesempurnaan hingga gemerlapan cahaya dari sebuah exposure yang hadir tanpa cacat.
Dari segi cerita, Budi Pekerti juga ampuh untuk mengaduk-aduk emosi penonton dengan penggunaan dialog yang sangkil dan mangkus. Uniknya, dinamika itu dikemas Wregas dengan ringan tanpa keluar konteks dengan sebagian besar menggunakan bahasa Jawa yang fasih dari aktornya.
Berbeda dengan Penyalin Cahaya yang menggambarkan semiotika yang rumit, Wregas berhasil mengemas film terbarunya ini dengan ringan tanpa mengorbankan kualitas. Meski sempat hadir di TIFF, film ini bahkan tidak lambat laiknya film-film festival, serta terbukti menyabet 17 nominasi FFI.
Dibumbui berbagai afeksi sendu, marah, hingga kepekaan sang sineas dalam memotret realitas kiwari, Budi Pekerti ibarat oase yang belakangan ini jarang muncul di industri film Indonesia. Permainan ambiguitas akting protagonis utama hingga latar musik besutan Yennu Ariendra juga patut diacungi jempol.
Baca juga: Daftar Nominasi Festival Film Indonesia 2023, Budi Pekerti Borong 16 Nominasi
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.