Pameran Voice Against Reason. (Sumber gambar: Museum MACAN)

Museum MACAN Siap Gelar Pameran Voice Against Reason, Hadirkan Karya dari 24 Perupa Asia-Pasifik

12 October 2023   |   10:00 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Museum MACAN terus menghadirkan ragam pameran untuk publik. Kini, museum yang berlokasi di kawasan Jakarta Barat itu akan menggelar pameran grup besar bertajuk Voice Against Reason. Ekshibisi yang akan dibuka pada 18 November 2023 itu bakal menampilkan karya-karya 24 perupa dari negara-negara lintas Asia-Pasifik.

Mulai dari Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Thailand, Vietnam hingga Australia. Pameran ini akan menghadirkan karya-karya komisi terbaru, proyek terkini dari perupa ternama, dan karya-karya kontemporer yang mengangkat dialog sejarah seni dari periode modern Indonesia.

Baca juga: 5 Rekomendasi Museum di Jakarta Buat Liburan Edukatif Selain Museum Nasional Indonesia

Sejumlah perupa yang akan terlibat dalam pameran ini adalah Bagus Pandega, Nadiah Bamadhaj, Chang En Man, Heman Chong, Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, Hyphen, Tom Nicholson with Ary "Jimged" Sendy, Aufa R. Triangga, Nasikin Ahmad, Emiria Soenassa, Galih Johar dan Shilpa Gupta.

Ada pula nama-nama lain yakni I Ketut Muja, I Wayan Jana, Ika Arista, Jumaadi, Khadim Ali, Meiro Koizumi, Natasha Tontey, Tuan Andrew Nguyen, Mumtaz Khan Chopan, Ali Froghi, and Hassan Ati, Rega Ayundya Putri, S. Sudjojono, Khaled Sabsabi,  Kamruzzaman Shadhin, Sikarnt Skoolisariyaporn, Amin Taasha, dan The Shadow Factory.
 

Pameran Voice Against Reason mencoba menggali makna dari bersuara atau berpendapat. Pameran ini ingin merajut realitas yang sementara dan rapuh, yang terhubung dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, dan tema-tema politik, serta geografi. Semua itu disuarakan melalui sudut pandang para perupa kontemporer. 

Lebih dari sekadar pameran, Voice Against Reason juga merupakan sebuah proyek yang dilengkapi dengan rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik. Rangkaian acara ini direncanakan akan berlangsung sepanjang periode pameran, serta dirancang untuk memperdalam keterlibatan audiens dengan karya seni dan tema-tema yang digagas.

Seluruh rangkaian kegiatan pameran diselenggarakan oleh tim kuratorial dan edukasi Museum MACAN, dengan dukungan ko-kuratorial dari Putra Hidayatullah dan Rizki Lazuardi.

Aaron Seeto selaku Direktur Museum MACAN  mengatakan pameran Voice Against Reason menghadirkan deretan perupa terkemuka dari seluruh Asia. Gagasan pameran ini dimulai dari pemikiran bahwa perupa membantu masyarakat dalam menyuarakan dan memberi bentuk pada isu-isu dan ide-ide yang terkadang bergolak di bawah permukaan, atau yang mungkin berlawanan dengan arus.

Pada masa ini, kata Aaron, ketika teknologi terkadang dapat menimbulkan konformitas, atau penulisan sejarah yang menyamarkan pengalaman individu dan pribadi yang berbeda, berbicara atau mengungkapkan pendapat adalah hal yang penting agar kita dapat melihat lingkungan sekitar dengan cara yang lebih kritis.

Dia juga menyampaikan bahwa selama lebih dari 12 bulan, pihaknya telah bekerja sama dengan para perupa dalam mengembangkan dan mengomisi sejumlah karya baru berupa instalasi, video, dan performans, yang akan dipamerkan bersamaan dengan karya-karya besar oleh para perupa dari seluruh regional Asia.

"Voice Against Reason digagas tidak hanya sebagai sebuah pameran, tapi sebagai sebuah wadah keterlibatan yang dinamis antara perupa, karya, dan pengunjung, yang diaktivasi melalui wicara, kuliah umum, dan presentasi selama periode pameran berlangsung," katanya dalam keterangan resminya.
 

r

Kisah di Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang (2023) karya Jumaadi dan Shadow Factory. (Sumber gambar: Museum MACAN)


Proyek Seni yang Jadi Sorotan

Salah satu karya yang akan ditampilkan dalam pameran Voice Against Reason ialah Kisah di Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang (2023) karya Jumaadi dan Shadow Factory, pertunjukan wayang kulit eksperimental berskala besar ini akan ditampilkan secara terbatas pada tanggal 18-26 November 2023.

Pertunjukan itu memadukan puisi, musik, dan seni untuk menciptakan eksplorasi akan keindahan dan kelangsungan hidup. Kisah di Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang (2023) menceritakan perjalanan yang mengagumkan dari 823 aktivis Nasionalis Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel, Papua pada  1926 dan kemudian ke Australia pada 1942 oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dalam menghadapi kesulitan, mereka mengalihkan perhatian ke musik dan seni sebagai sarana untuk bertahan hidup. Alih-alih membangun rumah dengan tiga kilogram paku yang diberikan oleh Belanda, mereka justru melebur paku-paku tersebut untuk membuat gamelan. Kisah mereka melambangkan hubungan saling ketergantungan antara budaya, keindahan, dan kelangsungan hidup.
 

F

Karya seni Tanpa Judul (2023) karya Kamruzzaman Shadhin. (Sumber gambar: Museum MACAN)

Selain itu, hadir pula karya dari perupa asal Bangladesh, Kamruzzaman Shadhin. Karyanya menggabungkan kerajinan tradisional dari tanah kelahirannya, menggunakan kain bekas dan rami untuk mengangkat tema migrasi, keadilan sosial, identitas, dan sejarah lokal.

Baginya, pola anyaman goni yang dikepang selalu menyerupai aliran sungai, yang menunjukkan hubungan dengan sejarah dan kenangan masyarakat lokal yang tinggal di sepanjang tepiannya.

Karya ini merupakan salah satu proyek dari platform advokasi seni untuk komunitas seni di Bangladesh, Gidree Bawlee Foundation of Arts, yang didirikan sang seniman pada 2001. Dia telah menyelenggarakan proyek-proyek komunitas dan residensi di kampung halamannya di Thakurgaon.

Karya dan keterlibatannya dengan masyarakat berfokus pada politik lingkungan, serta tantangan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Selain itu, Shadhin juga sering melibatkan komunitas lokal Bangladesh dan para pengungsi dalam pembuatan karya-karyanya. 

Sementara dari India, perupa Shilpa Gupta akan menampilkan karya berjudul Threat (2008-2009). Pada karya partisipatoris ini, sang perupa menciptakan sebuah dinding batu bata monolitik yang terbuat dari sabun, yang telah diukir dengan kata ‘THREAT’ yang berarti ancaman. Gupta mengundang publik untuk membawa pulang sabun ini dan merenungkan makna membersihkan tubuh dengan benda yang sarat dengan konsep ini.

Sebagai seniman, Shilpa Gupta kerap menantang persepsi audiens dan secara aktif melibatkan pengunjung dalam pengalaman partisipatoris. Karyanya meninjau kembali bagaimana kita mendefinisikan objek, tempat, dan manusia. Di samping itu, dia juga kerap membahas isu-isu kritis yang berkaitan dengan identitas, batas-batas, dan kedaulatan pribadi.

Adapun, pameran Voice Against Reason terselenggara berkat dukungan dari Pemerintah Australia melalui pendanaan bidang seni dan badan penasihat dari Creative Australia. Pameran ini akan dibuka untuk publik pada 18 November 2023 dan berlangsung hingga 14 April 2024.

Baca juga: 5 Deretan Museum Tertua di Dunia, Pintu ke Masa Lalu

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah

SEBELUMNYA

10 Jenis Tanaman Merambat yang Bikin Rumah Jadi Lebih Sejuk

BERIKUTNYA

Sejarah Hari Museum Nasional yang Diperingati Setiap 12 Oktober

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: