Kenapa Perlu Memasang Pronoun di Bio Media Sosial?
04 August 2021 |
22:39 WIB
Belakngan ini kian banyak orang yang mencantumkan pronoun di bio media sosialnya. Tak hanya orang Amerika Serikat, orang Indonesia pun melakukannya. Penyair Aan Mansyur dan komedian Ryan Adriandy, misalnya, mencantumkan he/him pada profil Twitter-nya. Pencantuman pronoun atau kata ganti seperti she/her, he/him, they/them mulai banyak dilakukan pada 2019.
Beberapa tokoh ternama, misalnya CEO Apple Tim Cook, penyanyi Sam Smith, hingga politisi Amerika Serikat Elizabeth Warren turut melakukannya.
Dalam kicauannya pada Oktober 2019 silam, Elizabeth Warren menyebut bahwa menggunakan kata ganti yang sesuai adalah awal dari menghargai dan memperlakukan orang dengan hormat.
“Saya Elizabeth. Kata ganti saya adalah she/her/hers. Dan saya akan terus berjuang menciptakan Amerika sebagai tempat di mana orang diakui dan dihargai,” tulisnya dalam kicauan Twitter yang ditutup dengan tagar #PronounsDay.
Di Indonesia, kita memang tidak memiliki kata ganti sebagaimana she/her atau he/him. Kata ganti dalam bahasa Indonesia—seperti dia—dapat digunakan tanpa terikat oleh gender.
Namun, hal ini tidak lantas membuat kita bebas dari masalah dalam menyebut nama orang. Sebab, kejadian seperti salah menggunakan panggilan Bu atau Pak (misgendering) masih menjadi hal yang lazim terjadi di sini.
Misgendering sendiri tidak bisa dianggap sepele. Menurut Sabra L. Katz-Wise dari Harvard Medical School, misgendering membuat seseorang merasa tidak dianggap.
“Ketika terjadi secara rutin, ini dapat menjadi beban yang berdampak negatif kesehatan mental dan fungsi seseorang di masyarakat,” tulisnya dalam Harvard Health Publishing.
Di media sosial, pencantuman pronoun lantas menjadi penting. Pasalnya, seseorang kerap tidak memasang foto ataupun nama aslinya di media sosial.
Bahkan sekali pun sudah memasang nama dan foto dan nama, seseorang bisa saja mengalami misgender. Kelompok transgender dan non-binary, misalnya, sering kali mengalami hal ini.
Untuk itulah, pencantuman pronoun tidak ada salahnya untuk dicoba. Selain memudahkan orang untuk menyapa kita, hal ini juga bisa membiasakan orang-orang untuk tidak mengasumsikan gender hanya dari yang tampak.
“Ini membantu terciptanya dunia yang lebih inklusif untuk semua orang,” tulis Sabra L. Katz-Wise.
Editor: Fajar Sidik
Beberapa tokoh ternama, misalnya CEO Apple Tim Cook, penyanyi Sam Smith, hingga politisi Amerika Serikat Elizabeth Warren turut melakukannya.
Dalam kicauannya pada Oktober 2019 silam, Elizabeth Warren menyebut bahwa menggunakan kata ganti yang sesuai adalah awal dari menghargai dan memperlakukan orang dengan hormat.
“Saya Elizabeth. Kata ganti saya adalah she/her/hers. Dan saya akan terus berjuang menciptakan Amerika sebagai tempat di mana orang diakui dan dihargai,” tulisnya dalam kicauan Twitter yang ditutup dengan tagar #PronounsDay.
Every person deserves to be treated with dignity and respect, and that starts with using correct pronouns.
— Elizabeth Warren (@ewarren) October 16, 2019
I'm Elizabeth. My pronouns are she/her/hers. And I'll keep fighting to build an America where everyone feels seen and respected. #PronounsDay
Di Indonesia, kita memang tidak memiliki kata ganti sebagaimana she/her atau he/him. Kata ganti dalam bahasa Indonesia—seperti dia—dapat digunakan tanpa terikat oleh gender.
Namun, hal ini tidak lantas membuat kita bebas dari masalah dalam menyebut nama orang. Sebab, kejadian seperti salah menggunakan panggilan Bu atau Pak (misgendering) masih menjadi hal yang lazim terjadi di sini.
Misgendering sendiri tidak bisa dianggap sepele. Menurut Sabra L. Katz-Wise dari Harvard Medical School, misgendering membuat seseorang merasa tidak dianggap.
“Ketika terjadi secara rutin, ini dapat menjadi beban yang berdampak negatif kesehatan mental dan fungsi seseorang di masyarakat,” tulisnya dalam Harvard Health Publishing.
Di media sosial, pencantuman pronoun lantas menjadi penting. Pasalnya, seseorang kerap tidak memasang foto ataupun nama aslinya di media sosial.
Bahkan sekali pun sudah memasang nama dan foto dan nama, seseorang bisa saja mengalami misgender. Kelompok transgender dan non-binary, misalnya, sering kali mengalami hal ini.
Untuk itulah, pencantuman pronoun tidak ada salahnya untuk dicoba. Selain memudahkan orang untuk menyapa kita, hal ini juga bisa membiasakan orang-orang untuk tidak mengasumsikan gender hanya dari yang tampak.
“Ini membantu terciptanya dunia yang lebih inklusif untuk semua orang,” tulis Sabra L. Katz-Wise.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.