Monumen dan Seni Rupa Sebagai Pemelihara Memori Bangsa
20 September 2023 |
06:03 WIB
Apa yang terlintas di benak Genhype saat mendengar kata Monumen Nasional alias Monas? Tentu yang terbesit adalah sebuah tugu menjulang di ibu kota Jakarta dengan mahkota lidah api berlapis emas sebagai perlambang elan perjuangan rakyat Indonesia.
Dikenal sebagai monumen ikonik kota Jakarta, Monas memang dibangun untuk mengenang perjuangan warga Ibu Pertiwi. Terutama dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda yang sempat mengangkangi Tanah Air.
Ya, galibnya, tugu memang dibangun sebagai penanda kawasan di ruang publik yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Namun monumen tidak hanya sebatas memperindah penampilan suatu kota, melainkan juga untuk membangkitkan memori kolektif terhadap ingatan sejarah.
Baca juga: Merajut Ingatan Kemanusiaan Lewat Monumen & Seni Rupa
Kurator Seni Rupa Salihara Asikin Hasan mengatakan, setiap rezim memiliki cara tertentu dalam membuat propaganda lewat karya seni. Saat Orde Lama misalnya, Monumen Selamat Datang dibangun untuk menyambut atlet Asian Games serta memvisualkan kota Jakarta sebagai mercusuar Indonesia.
Kala itu bahkan para seniman sering bertemu secara rutin dengan Presiden Soekarno untuk menjadikan karya seni sebagai alat diplomasi budaya. Hal itu pun terwujud lewat proyek arsitektur mercusuar seperti Monumen Nasional, Hotel Indonesia, hingga Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta pada dekade 1960-an.
Hal serupa juga terjadi saat Orde Baru, yang menjadikan seni rupa sebagai salah satu alat politik. Misalnya lewat pembangunan Monumen Pancasila Sakti atas inisiatif Presiden Soeharto. Tujuannya untuk melanggengkan narasi propaganda yang ingin dikekalkan meski keabsahannya patut dipertanyakan publik.
Kendati begitu, rezim Orba tidak begitu menganggap penting seni rupa sebagai representasi kebudayaan. Terutama dalam merefleksikan ingatan kolektif tentang kemanusiaan. Menurut Asikin, mereka lebih mengedepankan media massa dan film sebagai alat propaganda politik.
Dalam pandangannya, Orde Baru bahkan tidak menggunakan seni sebagai instrumen penting dalam membangun identitas bangsa. Dengan kata lain, seni rupa hanya dimanfaatkan sebatas persoalan kerajinan tangan atau lukisan yang digunakan untuk mempercantik interior sebuah ruangan.
"Dalam karya patung Dinamika dalam Gerak karya Rita Widagdo hingga Arjuna Wijaya karya Nyoman Nuarta misalnya, kalau dilihat karya itu hanya sebatas persoalan estetis yang menjadi hiasan kota alih-alih masalah politik," katanya dalam bincang-bincang Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki belum lama ini.
Baca juga: Menikmati Pameran Monumen Karya Yusman Sebagai Gerbang Literasi Sejarah Bangsa
Sementara itu, perupa sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Dolorosa Sinaga percaya bahwa monumen punya arti penting dalam merawat ingatan terhadap peristiwa sejarah. Pasalnya lewat karya tersebut nantinya akan menjadi penanda bagi masyarakat bahwa ada kejadian penting di masa lalu yang tidak bisa dilupakan.
Seniman yang kerap membuat karya dengan ciri gerak yang membeku itu mengungkap dengan adanya sebuah monumen, senarai sejarah terkait momentum pembuatan karya juga akan abadi. Dengan artian, orang-orang akan datang, melihat, mempelajari, atau bahkan mempertanyakan, apakah narasi yang dibangun sesuai dengan fakta sejarah atau tidak.
Namun, seiring perubahan zaman, cara pandang atau proses merawat ingatan menurutnya juga bisa beralih medium. Momentum peralihan dunia digital seharusnya juga bisa menjadi sarana baru bagi para seniman dan pemangku kebijakan untuk tetap merawat memori kolektif mengenai sejarah perjalanan bangsa.
Terlebih saat proses pembangunan memorialisasi dalam mengenang sejarah kemanusiaan sudah bisa dipastikan akan berurusan dengan institusi power. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk bersama-sama dalam mewujudkan inisiatif guna merawat ingatan kolektif lewat medium karya seni.
“Saya pikir, kawan-kawan perupa yang bergerak di teknologi canggih juga bisa membangun museum maya atau museum virtual. Karena yang kita perlukan sekarang adalah menyebarluaskan sejarah pelanggaran berat HAM kepada generasi yang baru tumbuh agar saat mereka menjadi pemimpin tidak melakukan hal yang sama,” ungkap Dolorosa.
Senada, seniman Irwan Ahmett mengatakan upaya untuk mengenang peristiwa kemanusiaan memang belum menjadi prioritas rezim. Dalam perjalannya melakukan riset dari Pulau Jawa hingga Sumatra di pagar-pagar para politikus, menurutnya tidak ada sama sekali karya seni yang membicarakan tentang kemanusian.
Justru yang kerap ditemukan olehnya adalah persoalan politik identitas, karya-karya artifisial untuk mengejar kekuasaan dan bentuk estetika murahan. Padahal, gagasan mengenai pembuatan memorialisasi merupakan hal yang substansial karena perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Kendati begitu, pembangunan monumen menurut Irwan juga tidak melulu harus berwujud bangunan fisik. Sebab dengan adanya berbagai peristiwa besar, terutama kemanusian yang muncul dalam setiap rezim sudah bisa dipastikan bakal ada banyak monumen yang bakal menyesaki penjuru kota di Tanah Air.
"Pembuatan monumen-monumen itu bisa menjadi jangkar di mana saat ingatan tersebut pergi atau lepas, dia bisa kembali. Namun kita juga ditantang untuk menggunakan berbagai cara baru dalam mendefinisikan ulang narasi hingga mediumnya agar memorialisasi itu tidak memberi dampak bagi lingkungan," katanya.
Baca juga: Cek 5 Pameran Seni Rupa September 2023, Ada Ruth Marbun & Iwan Suastika
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dikenal sebagai monumen ikonik kota Jakarta, Monas memang dibangun untuk mengenang perjuangan warga Ibu Pertiwi. Terutama dalam merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda yang sempat mengangkangi Tanah Air.
Ya, galibnya, tugu memang dibangun sebagai penanda kawasan di ruang publik yang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Namun monumen tidak hanya sebatas memperindah penampilan suatu kota, melainkan juga untuk membangkitkan memori kolektif terhadap ingatan sejarah.
Baca juga: Merajut Ingatan Kemanusiaan Lewat Monumen & Seni Rupa
Kurator Seni Rupa Salihara Asikin Hasan mengatakan, setiap rezim memiliki cara tertentu dalam membuat propaganda lewat karya seni. Saat Orde Lama misalnya, Monumen Selamat Datang dibangun untuk menyambut atlet Asian Games serta memvisualkan kota Jakarta sebagai mercusuar Indonesia.
Kala itu bahkan para seniman sering bertemu secara rutin dengan Presiden Soekarno untuk menjadikan karya seni sebagai alat diplomasi budaya. Hal itu pun terwujud lewat proyek arsitektur mercusuar seperti Monumen Nasional, Hotel Indonesia, hingga Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta pada dekade 1960-an.
Monumen Pembebasan Irian Barat (Dok. Galeri Nasional Indonesia)
Kendati begitu, rezim Orba tidak begitu menganggap penting seni rupa sebagai representasi kebudayaan. Terutama dalam merefleksikan ingatan kolektif tentang kemanusiaan. Menurut Asikin, mereka lebih mengedepankan media massa dan film sebagai alat propaganda politik.
Dalam pandangannya, Orde Baru bahkan tidak menggunakan seni sebagai instrumen penting dalam membangun identitas bangsa. Dengan kata lain, seni rupa hanya dimanfaatkan sebatas persoalan kerajinan tangan atau lukisan yang digunakan untuk mempercantik interior sebuah ruangan.
"Dalam karya patung Dinamika dalam Gerak karya Rita Widagdo hingga Arjuna Wijaya karya Nyoman Nuarta misalnya, kalau dilihat karya itu hanya sebatas persoalan estetis yang menjadi hiasan kota alih-alih masalah politik," katanya dalam bincang-bincang Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki belum lama ini.
Baca juga: Menikmati Pameran Monumen Karya Yusman Sebagai Gerbang Literasi Sejarah Bangsa
Perubahan Media & Cara Pandang Baru
Sementara itu, perupa sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Dolorosa Sinaga percaya bahwa monumen punya arti penting dalam merawat ingatan terhadap peristiwa sejarah. Pasalnya lewat karya tersebut nantinya akan menjadi penanda bagi masyarakat bahwa ada kejadian penting di masa lalu yang tidak bisa dilupakan.Seniman yang kerap membuat karya dengan ciri gerak yang membeku itu mengungkap dengan adanya sebuah monumen, senarai sejarah terkait momentum pembuatan karya juga akan abadi. Dengan artian, orang-orang akan datang, melihat, mempelajari, atau bahkan mempertanyakan, apakah narasi yang dibangun sesuai dengan fakta sejarah atau tidak.
Namun, seiring perubahan zaman, cara pandang atau proses merawat ingatan menurutnya juga bisa beralih medium. Momentum peralihan dunia digital seharusnya juga bisa menjadi sarana baru bagi para seniman dan pemangku kebijakan untuk tetap merawat memori kolektif mengenai sejarah perjalanan bangsa.
Terlebih saat proses pembangunan memorialisasi dalam mengenang sejarah kemanusiaan sudah bisa dipastikan akan berurusan dengan institusi power. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk bersama-sama dalam mewujudkan inisiatif guna merawat ingatan kolektif lewat medium karya seni.
“Saya pikir, kawan-kawan perupa yang bergerak di teknologi canggih juga bisa membangun museum maya atau museum virtual. Karena yang kita perlukan sekarang adalah menyebarluaskan sejarah pelanggaran berat HAM kepada generasi yang baru tumbuh agar saat mereka menjadi pemimpin tidak melakukan hal yang sama,” ungkap Dolorosa.
Monumen Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat (Dok. Bandung Public Art Archive)
Justru yang kerap ditemukan olehnya adalah persoalan politik identitas, karya-karya artifisial untuk mengejar kekuasaan dan bentuk estetika murahan. Padahal, gagasan mengenai pembuatan memorialisasi merupakan hal yang substansial karena perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Kendati begitu, pembangunan monumen menurut Irwan juga tidak melulu harus berwujud bangunan fisik. Sebab dengan adanya berbagai peristiwa besar, terutama kemanusian yang muncul dalam setiap rezim sudah bisa dipastikan bakal ada banyak monumen yang bakal menyesaki penjuru kota di Tanah Air.
"Pembuatan monumen-monumen itu bisa menjadi jangkar di mana saat ingatan tersebut pergi atau lepas, dia bisa kembali. Namun kita juga ditantang untuk menggunakan berbagai cara baru dalam mendefinisikan ulang narasi hingga mediumnya agar memorialisasi itu tidak memberi dampak bagi lingkungan," katanya.
Baca juga: Cek 5 Pameran Seni Rupa September 2023, Ada Ruth Marbun & Iwan Suastika
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.