Diskusi Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki, Selasa (12/9). (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Merajut Ingatan Kemanusiaan Lewat Monumen & Seni Rupa

13 September 2023   |   02:42 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Langkah Aditya Utama terhenti. Dosen tidak tetap Universitas Atma Jaya itu diberondong pertanyaan tentang Peristiwa Semanggi I oleh mahasiswanya. Alumni Kampus Reformasi yang ikut mengalami tragedi kelam itu pun bercerita tentang lorong gelap sejarah kemanusiaan tersebut.

Hari ini, dirinya dan orang-orang yang berada di peristiwa tersebut masih bisa bercerita. Namun, ketika hari berganti, tidak ada kepastian ingatan tentang kemanusiaan itu akan tetap utuh.

“Generasi sekarang yang sedang kuliah aktif itu lahir era 2002-an. Itu sudah beberapa tahun setelah peristiwa terjadi. Makanya, kami berinisatif untuk segera membangun monumen (peristiwa Semanggi, red) sebagai sarana memori kolektif,” ungkap Aditya dalam bincang-bincang Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki, Selasa (12/9).

Baca juga:  Eksklusif Profil Jim Supangkat: Membaca Peta Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham

Monumen dan seni rupa memang kerap digunakan untuk memperpanjang ingatan dan membentuk memori kolektif. Ia tidak hanya memperkaya keindahan visual di sebuah wilayah, tetapi juga mampu membangkitkan ingatan publik tentang sebuah peristiwa penting.

Terlebih, generasi yang akan muncul akan selalu lebih muda dan lahir makin jauh dari tahun sebuah peristiwa itu terjadi. Genhype, juga bisa melihat memori kolektif tentang peristiwa besar lain yang terus tertanam di berbagai monumen lain, dari Monumen Nasional hingga Monumen Selamat Datang sekali pun.

Segendang sepenarian, perupa sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta Dolorosa Sinaga juga percaya bahwa monumen punya arti penting dalam membawa atau merawat ingatan masyarakat terhadap peristiwa penting.

Dengan adanya sebuah monumen, sebuah peristiwa dan narasi yang dibawanya seolah akan abadi. Orang-orang akan datang, melihat, mempelajari, atau bahkan mempertanyakannya. Singkatnya, akan terus hidup.

Namun, tak bisa dimungkiri, seiring perubahan generasi, cara pandang atau proses merawat ingatan kolektif juga bisa berubah. Digitalisasi dan internet juga bisa menjadi medium baru menciptakan memori bersama tersebut.

“Saya pikir, kawan-kawan perupa yang bergerak di teknologi canggih juga bisa membangun museum maya atau museum virtual. Karena yang kita perlukan adalah menyebarluaskan sejarah kepada generasi yang baru tumbuh ini,” ungkap Dolorosa.
 

Diskusi Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki, Selasa (12/9). (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Diskusi Peran Seni Rupa Dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan di Taman Ismail Marzuki, Selasa (12/9). (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)


Apa pun bentuknya, bagi Dolorosa menciptakan memori kolektif dan merawatnya ini penting. Sebab, generasi penerus mesti punya pegangan yang kuat dan mampu belajar dari sebuah proses sejarah yang dialami orang-orang sebelumnya secara jujur dan terang.

Harapannya, ketika generasi baru ini jadi pemimpin negara, mereka bisa mengambil keputusan yang lebih bijak. “Seni itu memiliki nilai resistensi. Ia bisa mendorong masyarakat untuk bergerak ke arah perubahan,” imbuhnya

Setali tiga uang, Kurator Seni Rupa Salihara Asikin Hasan juga menyebut monumen sebagai alat merawat ingatan bersama ini tidak harus selalu seperti yang dibayangkan sebelumnya. Sebab, jika selalu merujuk ke bangunan fisik, sebuah kota atau negara bisa punya banyak sekali monumen karena peristiwa besar akan muncul setiap zaman.

Dia lantas mencontohkan museum Holocaust di Berlin. Justru, ada banyak hal yang terlihat unmonumental yang dihadirkan di sana, dari foto, sendal, hingga catatan-catatan penting yang tadinya tercecer pun dihadirkan.

Namun, hal-hal tersebut ketika disatukan justru membawa sebuah narasi yang kuat. Baginya, pembangunan narasi di balik penguatan ingatan kemanusiaan inilah yang jauh lebih penting. Sebab, jangan sampai sebuah monumen dibuat, lalu berujung hampa karena miskin narasi.

“Jadi, mungkin tidak selalu membayangkan monumen itu bentuk fisik, tetapi bagaimana arsip dikumpulkan dan dibangun narasi yang kuat. Sebab, ketika bangunan bisa roboh, narasi tidak,” tuturnya.

Baca juga:  Delsy Syamsumar, Maestro Seni Rupa yang Terpinggirkan

Editor: Puput Ady Sukarno

SEBELUMNYA

Belajar Sejarah Lebih Mudah di Ruang ImersifA Museum Nasional

BERIKUTNYA

Mulai Dijual 21 September, Cek Harga Tiket Konser TWICE 5th World Tour Ready To Be di Jakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: