Delsy Syamsumar, Maestro Seni Rupa yang Terpinggirkan
02 July 2023 |
07:30 WIB
Multitalenta. Satu kata itu barangkali pantas disematkan kepada sosok perupa Indonesia bernama Delsy Syamsumar. Meski namanya tidak sering terdengar dalam perbincangan seni rupa di Tanah Air, dia sejatinya adalah seniman serba bisa yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya sebagai pelukis, komikus, ilustrator, desainer, hingga jurnalis.
Sebagai pelukis, Delsy adalah sosok yang pernah sejajar dengan para maestro lain seperti Basuki Abdullah, Affandi, dan Lee Man Fong dalam hal rekor penjualan karyanya dalam beberapa pameran lukisan bersama pada masa pra-reformasi 1998. Karya-karya Delsy kerap mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati para kolektor terutama pada 1990-an.
Sumbangsihnya di dunia film juga tak bisa diremehkan. Dia telah terlibat di dunia ini bersama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, ketika membuat master poster untuk film Pejuang (1961). Sampai 1990-an, dia adalah art director serba bisa untuk film-film Indonesia, mulai dari bertanggung jawab terhadap desain kostum, dekorasi setting, hingga efek-efek tipuan film.
Baca juga: Jejak Kesenian 'Seniman Senen' Delsy Syamsumar, Pelukis sekaligus Art Director Film Legenda Indonesia
Namun, rekam jejaknya sebagai seorang seniman visual terserak di mana-dimana sehingga sulit untuk diakses sebagai sebuah pengetahuan catatan sejarah utuh oleh masyarakat hari ini. Berangkat dari kondisi tersebut, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menggelar pameran silang visual bertajuk Silang Visual Delsy dalam Film dan Seni Rupa di Taman Ismail Marzuki hingga 7 Juli 2023.
Berangkat dari arsip-arsip kekaryaan Delsy yang terserak, pameran ini menampilkan sejumlah karya sang seniman yang mencakup bidang lukis, grafis, ilustrasi, komik, jurnalistik, hingga produksi film. Potongan-potongan kekaryaan Delsy yang monumental yang ditampilkan dalam pameran ini merupakan hasil kerja pengarsipan kolektif yang bersumber dari keluarga Delsy, pengamat seni, hingga kolektor.
Yuki Aditya selaku Kurator Pameran mengatakan karya-karya Delsy menjadi bagian dari produksi dan distribusi pengetahuan tentang budaya Indonesia yang banyak mengangkat cerita perjuangan pahlawan-pahlawan Nusantara, catatan peristiwa perfilman, maupun cerita hidup sehari-hari penuh sensasi sekitaran moral dan syahwat.
Dalam pameran, hal itu tampak dari storyboard karikatur Delsy yang digambar ulang dengan ukuran yang lebih besar. Isu-isu yang disorotnya yakni seputar perfilman dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari isu penyensoran, perkembangan produksi film nasional, hingga komentarnya tentang film-film baru yang tengah menjadi perbincangan. Karikatur itu tampak hidup lewat goresan visual yang bergaya, ekspresif, sekaligus romantik.
Ketertarikannya juga berkutat pada soal pengetahuan produk-produk kebudayaan Nusantara. Hal tersebut dia gambarkan dalam karya berjudul Asal Tahu Saja, sebuah narasi hasil risetnya tentang kebudayaan dan kesenian Nusantara yang dilengkapi dengan lukisan-lukisan yang tampak ekspresif dan filmis. Dalam karyanya itu, Delsy memperkenalkan kuliner, musik, tarian, hingga seni pertunjukan populer Indonesia dengan gaya yang populis.
Yuki menuturkan citra-citranya bersirkulasi dalam sebuah medan sosial di tengah kompetisi ideologi dan peristiwa-peristiwa politik penting dalam membayangkan masa depan Indonesia pascamerdeka. "Di tengah perkembangan zaman yang memungkinkan citra direproduksi secara massal," imbuhnya.
Sebagai perupa dengan aliran ekspresif realisme, Delsy memang dikenal dengan karya-karyanya yang ekspresif. Tokoh-tokoh manusia dalam goresannya selalu digambarkan dengan sikap dan gaya yang komunikatif, senyum, simpatik, marah, ketawa, sedih, dan sebagainya. Kemampuannya berimprovisasi melukisan ekspresi dan situasi merupakan dinamika ciri karya-karyanya, baik ilustrasi maupun lukisan cat minyak.
Bahkan, dalam satu kesempatan diskusi, sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah menyebutkan bahwa realisme yang digambarkan dalam karya-karya visual perupa Delsy Syamsumar adalah realitas yang bau tanah bahkan bau apek. Pernyataan itu dilontarkannya karena visualisasi karya-karya Delsy yang dinilai sangat dekat dengan realitas keseharian masyarakat Indonesia.
Dalam pameran, pernyataan tersebut setidaknya tampak pada satu lukisan tanpa judul yang merupakan koleksi keluarga Delsy yang baru ditemukan. Lukisan tersebut menampilkan dua biduan perempuan dan sekumpulan laki-laki yang tampak sedang bergoyang menikmati musik. Ada yang membawa gendang, gitar, dan memainkan suling.
Gagasan dan teknik artistik seperti itulah yang hadir dalam karya-karya visualnya yang tercatat merentang dari 1950-an hingga hari-hari terakhirnya pada tahun awal 2000. Di antaranya cerita gambar Mawar Putih di majalah Aneka, komik seri pahlawan yang diterbitkan di Toko Buku Gerak di Medan, komik Damila di majalah Aneka, dan Komik Serodja dari Bali yang tayang di majalah Pelangi (Medan).
Pada awal 1960-an, kekaryaan Delsy lebih berfokus pada bidang perfilman seiring sang seniman yang mulai bekerja sebagai art director dalam film La Bana. Pada tahun-tahun tersebut, Delsy lebih banyak terlibat sebagai penata artistik dan pembuat poster sekaligus menulis kritik film, di samping dia masih membuat ilustrasi, desain grafis, dan komik.
Bahkan, pada waktu-waktu terakhir hidupnya, Delsy masih giat melukis. Misalnya lukisan yang dirampungkan pada 2000 berjudul Gelar Perang Sentot Prawirodirjo, yang ditampilkan juga dalam pameran. Selain itu, dia juga melukis potret Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu.
Berkat kerja keras, ketekunan, dan dedikasinya yang tinggi dalam bidang seni rupa ini, Delsy juga pernah meraih penghargaan tata dekor dan tata warna terbaik dalam Festival Film Asia di Tokyo pada 1962 berkat perannya sebagai penata artistik di film Holiday in Bali karya Usmar Ismail.
Selain itu, seniman kelahiran Medan itu juga menjadi satu-satunya pelukis dari Indonesia yang diberi predikat Litteratures Contemporaines L'Asie du Sud Est dan II’exellent dessinateur oleh Lembaga Seni dan Sejarah Perancis melalui buku literatur seni dunia yang fenomenal, France Art Journal 1974, sebagai seniman Asia Tenggara lintas disiplin.
Kritikus Film sekaligus Pengamat Budaya Populer Hikmat Darmawan mengatakan kiprah dan jejak-jejak kekaryaan Delsy yang lintas disiplin banyak terserak di sejumlah tempat dan terbilang sulit untuk diakses oleh publik. Salah satunya tersimpan di pusat arsip film Sinematek Indonesia. Sayangnya, dibutuhkan ketekunan dan pendanaan riset yang tidak sedikit untuk mengumpulkan arsip-arsip penting itu.
Di sisi lain, karya-karya Delsy yang berkutat seputar poster film, ilustrasi, dan komik juga dinilai tidak cukup layak untuk dijadikan sebagai bahan kajian seni rupa yang kritis pada saat era pra-reformasi. Belum lagi karya-karya visual dan kritik filmnya yang dimuat di sejumlah majalah yang kala itu dianggap sebagai 'bacaan tidak baik' karena menampilkan sampul yang dianggap cabul, juga menjadikannya urung diarsipkan di institusi seperti Perpustakaan Nasional.
Kondisi inilah yang membuat sebagai maestro, nama Delsy kerap terpinggirkan dalam catatan dan perbincangan sejarah seni rupa Indonesia. Pilihannya untuk memfokuskan diri untuk membuat karya-karya seni rupa popular terapan, membuatnya tidak dianggap sebagai perupa seni modern melainkan sebatas seniman terapan.
"Dia itu seperti maestro outsider. Jadi, estetikanya itu seperti dianggap terlalu populer untuk diperhitungkan dalam gerakan seni rupa modern," katanya.
Menurut Hikmat, pembacaan karya-karya Delsy dalam pameran ini, dapat menjadi momentum untuk merangkai sejarah perfilman yang lebih lengkap dan spesifik. Utamanya dalam bidang unsur grafis atau persilangan antara seni rupa dengan film, termasuk storyboard dan tata artistik. Hal-hal yang kerap kali luput dalam perbincangan dan diskursus soal film.
Dia juga mengatakan bahwa pameran ini sekaligus menjadi gerbang pembuka untuk pengembangan lebih luas lagi terkait pengarsipan dan diskusi tentang karya-karya Delsy. "Kita bisa mendapatkan perspektif baik secara estetika maupun teks dari karya-karya Delsy," imbuh pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta itu.
Baca juga: Imagining Noumena sampai ARTJOG, Cek 5 Pameran Seni Juli 2023 yang Wajib Dikunjungi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sebagai pelukis, Delsy adalah sosok yang pernah sejajar dengan para maestro lain seperti Basuki Abdullah, Affandi, dan Lee Man Fong dalam hal rekor penjualan karyanya dalam beberapa pameran lukisan bersama pada masa pra-reformasi 1998. Karya-karya Delsy kerap mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati para kolektor terutama pada 1990-an.
Sumbangsihnya di dunia film juga tak bisa diremehkan. Dia telah terlibat di dunia ini bersama Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail, ketika membuat master poster untuk film Pejuang (1961). Sampai 1990-an, dia adalah art director serba bisa untuk film-film Indonesia, mulai dari bertanggung jawab terhadap desain kostum, dekorasi setting, hingga efek-efek tipuan film.
Baca juga: Jejak Kesenian 'Seniman Senen' Delsy Syamsumar, Pelukis sekaligus Art Director Film Legenda Indonesia
Namun, rekam jejaknya sebagai seorang seniman visual terserak di mana-dimana sehingga sulit untuk diakses sebagai sebuah pengetahuan catatan sejarah utuh oleh masyarakat hari ini. Berangkat dari kondisi tersebut, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menggelar pameran silang visual bertajuk Silang Visual Delsy dalam Film dan Seni Rupa di Taman Ismail Marzuki hingga 7 Juli 2023.
Berangkat dari arsip-arsip kekaryaan Delsy yang terserak, pameran ini menampilkan sejumlah karya sang seniman yang mencakup bidang lukis, grafis, ilustrasi, komik, jurnalistik, hingga produksi film. Potongan-potongan kekaryaan Delsy yang monumental yang ditampilkan dalam pameran ini merupakan hasil kerja pengarsipan kolektif yang bersumber dari keluarga Delsy, pengamat seni, hingga kolektor.
Storyboard karikatural karya Delsy Syamsumar (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Dalam pameran, hal itu tampak dari storyboard karikatur Delsy yang digambar ulang dengan ukuran yang lebih besar. Isu-isu yang disorotnya yakni seputar perfilman dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari isu penyensoran, perkembangan produksi film nasional, hingga komentarnya tentang film-film baru yang tengah menjadi perbincangan. Karikatur itu tampak hidup lewat goresan visual yang bergaya, ekspresif, sekaligus romantik.
Ketertarikannya juga berkutat pada soal pengetahuan produk-produk kebudayaan Nusantara. Hal tersebut dia gambarkan dalam karya berjudul Asal Tahu Saja, sebuah narasi hasil risetnya tentang kebudayaan dan kesenian Nusantara yang dilengkapi dengan lukisan-lukisan yang tampak ekspresif dan filmis. Dalam karyanya itu, Delsy memperkenalkan kuliner, musik, tarian, hingga seni pertunjukan populer Indonesia dengan gaya yang populis.
Yuki menuturkan citra-citranya bersirkulasi dalam sebuah medan sosial di tengah kompetisi ideologi dan peristiwa-peristiwa politik penting dalam membayangkan masa depan Indonesia pascamerdeka. "Di tengah perkembangan zaman yang memungkinkan citra direproduksi secara massal," imbuhnya.
Lukisan tanpa judul karya Delsy Syamsumar (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Bahkan, dalam satu kesempatan diskusi, sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah menyebutkan bahwa realisme yang digambarkan dalam karya-karya visual perupa Delsy Syamsumar adalah realitas yang bau tanah bahkan bau apek. Pernyataan itu dilontarkannya karena visualisasi karya-karya Delsy yang dinilai sangat dekat dengan realitas keseharian masyarakat Indonesia.
Dalam pameran, pernyataan tersebut setidaknya tampak pada satu lukisan tanpa judul yang merupakan koleksi keluarga Delsy yang baru ditemukan. Lukisan tersebut menampilkan dua biduan perempuan dan sekumpulan laki-laki yang tampak sedang bergoyang menikmati musik. Ada yang membawa gendang, gitar, dan memainkan suling.
Gagasan dan teknik artistik seperti itulah yang hadir dalam karya-karya visualnya yang tercatat merentang dari 1950-an hingga hari-hari terakhirnya pada tahun awal 2000. Di antaranya cerita gambar Mawar Putih di majalah Aneka, komik seri pahlawan yang diterbitkan di Toko Buku Gerak di Medan, komik Damila di majalah Aneka, dan Komik Serodja dari Bali yang tayang di majalah Pelangi (Medan).
Pada awal 1960-an, kekaryaan Delsy lebih berfokus pada bidang perfilman seiring sang seniman yang mulai bekerja sebagai art director dalam film La Bana. Pada tahun-tahun tersebut, Delsy lebih banyak terlibat sebagai penata artistik dan pembuat poster sekaligus menulis kritik film, di samping dia masih membuat ilustrasi, desain grafis, dan komik.
Bahkan, pada waktu-waktu terakhir hidupnya, Delsy masih giat melukis. Misalnya lukisan yang dirampungkan pada 2000 berjudul Gelar Perang Sentot Prawirodirjo, yang ditampilkan juga dalam pameran. Selain itu, dia juga melukis potret Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu.
Perupa Delsy Syamsumar (Sumber gambar: Facebook/Delsy Syamsumar)
Selain itu, seniman kelahiran Medan itu juga menjadi satu-satunya pelukis dari Indonesia yang diberi predikat Litteratures Contemporaines L'Asie du Sud Est dan II’exellent dessinateur oleh Lembaga Seni dan Sejarah Perancis melalui buku literatur seni dunia yang fenomenal, France Art Journal 1974, sebagai seniman Asia Tenggara lintas disiplin.
Kritikus Film sekaligus Pengamat Budaya Populer Hikmat Darmawan mengatakan kiprah dan jejak-jejak kekaryaan Delsy yang lintas disiplin banyak terserak di sejumlah tempat dan terbilang sulit untuk diakses oleh publik. Salah satunya tersimpan di pusat arsip film Sinematek Indonesia. Sayangnya, dibutuhkan ketekunan dan pendanaan riset yang tidak sedikit untuk mengumpulkan arsip-arsip penting itu.
Di sisi lain, karya-karya Delsy yang berkutat seputar poster film, ilustrasi, dan komik juga dinilai tidak cukup layak untuk dijadikan sebagai bahan kajian seni rupa yang kritis pada saat era pra-reformasi. Belum lagi karya-karya visual dan kritik filmnya yang dimuat di sejumlah majalah yang kala itu dianggap sebagai 'bacaan tidak baik' karena menampilkan sampul yang dianggap cabul, juga menjadikannya urung diarsipkan di institusi seperti Perpustakaan Nasional.
Kondisi inilah yang membuat sebagai maestro, nama Delsy kerap terpinggirkan dalam catatan dan perbincangan sejarah seni rupa Indonesia. Pilihannya untuk memfokuskan diri untuk membuat karya-karya seni rupa popular terapan, membuatnya tidak dianggap sebagai perupa seni modern melainkan sebatas seniman terapan.
"Dia itu seperti maestro outsider. Jadi, estetikanya itu seperti dianggap terlalu populer untuk diperhitungkan dalam gerakan seni rupa modern," katanya.
Menurut Hikmat, pembacaan karya-karya Delsy dalam pameran ini, dapat menjadi momentum untuk merangkai sejarah perfilman yang lebih lengkap dan spesifik. Utamanya dalam bidang unsur grafis atau persilangan antara seni rupa dengan film, termasuk storyboard dan tata artistik. Hal-hal yang kerap kali luput dalam perbincangan dan diskursus soal film.
Dia juga mengatakan bahwa pameran ini sekaligus menjadi gerbang pembuka untuk pengembangan lebih luas lagi terkait pengarsipan dan diskusi tentang karya-karya Delsy. "Kita bisa mendapatkan perspektif baik secara estetika maupun teks dari karya-karya Delsy," imbuh pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta itu.
Baca juga: Imagining Noumena sampai ARTJOG, Cek 5 Pameran Seni Juli 2023 yang Wajib Dikunjungi
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.