Deteksi Dini Jadi Kunci Pencegahan Kematian Akibat Kanker Paru di Usia Muda
04 September 2023 |
19:28 WIB
1
Like
Like
Like
Indonesia terus mencatat kenaikan untuk jumlah perokok terbanyak di dunia. Saat ini, Indonesia tercatat sebagai negara perokok terbesar ke-13 di dunia versi World Atlas. Tingginya perokok melahirkan ancaman penyakit pada saluran napas seperti paru.
Apalagi, tren merokok kini bukan hanya menyebar di kalangan tua saja. Secara demografi usia, angka perokok dari kalangan muda terus menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Perokok aktif di Indonesia saat ini didominasi oleh kalangan usia produktif. Mengejutkannya, beberapa dari perokok muda tersebut datang dari kalangan anak di bawah umur. Data Tobacco Control Support Centre Indonesia menyebutkan sekitar 230.000 anak di bawah usia 10 tahun sudah menjadi perokok aktif.
Baca juga: Kanker Paru di Indonesia Mulai Sentuh Usia Produktif, Rokok & Kualitas Udara Buruk Jadi Biang Keladinya
Sedangkan pada usia remaja, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat ada sekitar 52,1 persen remaja berusia 15-19 tahun yang sudah pernah menghisap rokok.
Mereka yang berada pada usia produktif memiliki persentase rata-rata perokok di atas 30 persen. Data BPS menyebutkan, perokok pada usia 25-29 mencatat persentase 31,55 persen terus meningkat untuk rentang usia selanjutnya hingga umur ke-44. Kelompok usia 40-44 tahun merupakan pasar perokok terbesar di Indonesia sepanjang 2022 berdasarkan kategori umur.
Dokter Spesialis Paru & Direktur Eksekutif Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Elisna Syahruddin mengungkap urgensi deteksi dini sebagai langkah pencegahan kematian akibat jenis kanker ganas ini.
Elisna menilai, ada peluang penyembuhan yang lebih besar bagi penderita kanker paru di staging awal. “Kunci untuk mengurangi kematian akibat kanker paru adalah deteksi dini yang memungkinkan penyedia layanan kesehatan bisa menawarkan perawatan yang paling sesuai,” katanya.
Gejala kanker paru di tahap awal bisa beragam, mulai dari batuk berdarah, sakit di area tulang, kesulitan menelan, dan sebagainya. Tingginya kasus kanker paru di usia produktif bukan hanya didorong oleh perokok pasif. American Lung Cancer Association mencatat prevalensi global untuk kanker paru-paru di Indonesia berada pada angka sekitar 500.000 orang.
Presiden Direktur AstraZeneca, Se Whan Chon mengatakan angka tersebut makin meninggi karena Indonesia memiliki jumlah perokok aktif dan pasif yang tinggi. Ya, perokok pasif pun masuk dalam daftar orang berisiko terkena kanker paru. Karena menyentuh usia anak dan usia produktif, langkah skrining harus dilakukan lebih awal.
“Saat kanker paru terdeteksi pada stadium 1 dan 2, tingkat kelangsungan hidup masih meningkat secara signifikan. Biaya terapi juga bisa berkurang bagi pasien dan pemerintah,” kata Se Whan.
Sayangnya, lebih dari 90 persen pasien kanker paru baru terdiagnosis di tahap lanjut. Mereka yang menjadi perokok aktif atau pasif pada usia muda baru terdiagnosis di usia tua dan menyebabkan penanganan sudah sangat terlambat.
Ketidakwaspadaan untuk melakukan deteksi dini dapat menciptakan efek domino bagi kehidupan penderita. Se Whan menjelaskan, kanker paru bisa menyita banyak hal mulai dari biaya pengobatan, ketidakmampuan bekerja secara produktif, hingga risiko kematian yang tinggi.
Baca juga: Hati-hati, Kanker Paru Kerap Luput dan Terdeteksi di Stadium Lanjut
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Apalagi, tren merokok kini bukan hanya menyebar di kalangan tua saja. Secara demografi usia, angka perokok dari kalangan muda terus menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Perokok aktif di Indonesia saat ini didominasi oleh kalangan usia produktif. Mengejutkannya, beberapa dari perokok muda tersebut datang dari kalangan anak di bawah umur. Data Tobacco Control Support Centre Indonesia menyebutkan sekitar 230.000 anak di bawah usia 10 tahun sudah menjadi perokok aktif.
Baca juga: Kanker Paru di Indonesia Mulai Sentuh Usia Produktif, Rokok & Kualitas Udara Buruk Jadi Biang Keladinya
Sedangkan pada usia remaja, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat ada sekitar 52,1 persen remaja berusia 15-19 tahun yang sudah pernah menghisap rokok.
Mereka yang berada pada usia produktif memiliki persentase rata-rata perokok di atas 30 persen. Data BPS menyebutkan, perokok pada usia 25-29 mencatat persentase 31,55 persen terus meningkat untuk rentang usia selanjutnya hingga umur ke-44. Kelompok usia 40-44 tahun merupakan pasar perokok terbesar di Indonesia sepanjang 2022 berdasarkan kategori umur.
Dokter Spesialis Paru & Direktur Eksekutif Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), Elisna Syahruddin mengungkap urgensi deteksi dini sebagai langkah pencegahan kematian akibat jenis kanker ganas ini.
Elisna menilai, ada peluang penyembuhan yang lebih besar bagi penderita kanker paru di staging awal. “Kunci untuk mengurangi kematian akibat kanker paru adalah deteksi dini yang memungkinkan penyedia layanan kesehatan bisa menawarkan perawatan yang paling sesuai,” katanya.
Gejala kanker paru di tahap awal bisa beragam, mulai dari batuk berdarah, sakit di area tulang, kesulitan menelan, dan sebagainya. Tingginya kasus kanker paru di usia produktif bukan hanya didorong oleh perokok pasif. American Lung Cancer Association mencatat prevalensi global untuk kanker paru-paru di Indonesia berada pada angka sekitar 500.000 orang.
Presiden Direktur AstraZeneca, Se Whan Chon mengatakan angka tersebut makin meninggi karena Indonesia memiliki jumlah perokok aktif dan pasif yang tinggi. Ya, perokok pasif pun masuk dalam daftar orang berisiko terkena kanker paru. Karena menyentuh usia anak dan usia produktif, langkah skrining harus dilakukan lebih awal.
“Saat kanker paru terdeteksi pada stadium 1 dan 2, tingkat kelangsungan hidup masih meningkat secara signifikan. Biaya terapi juga bisa berkurang bagi pasien dan pemerintah,” kata Se Whan.
Sayangnya, lebih dari 90 persen pasien kanker paru baru terdiagnosis di tahap lanjut. Mereka yang menjadi perokok aktif atau pasif pada usia muda baru terdiagnosis di usia tua dan menyebabkan penanganan sudah sangat terlambat.
Ketidakwaspadaan untuk melakukan deteksi dini dapat menciptakan efek domino bagi kehidupan penderita. Se Whan menjelaskan, kanker paru bisa menyita banyak hal mulai dari biaya pengobatan, ketidakmampuan bekerja secara produktif, hingga risiko kematian yang tinggi.
Baca juga: Hati-hati, Kanker Paru Kerap Luput dan Terdeteksi di Stadium Lanjut
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.