Minimnya Ahli & Jaminan Kesehatan Jadi Batu Sandungan Kematian Akibat Aritmia
04 September 2023 |
16:08 WIB
Organ kardiovaskular bisa menjadi masalah utama penyebab kematian terbesar. Selain jantung koroner, aritmia termasuk dalam salah satu jenis penyakit yang kerap luput dari perhatian. Aritmia atau gangguan irama jantung merupakan salah satu penyebab kematian mendadak tertinggi yang diam-diam menyerang manusia.
Mirisnya, kenaikan kasus aritmia terus tercatat melonjak. Data Global Burden of Disease Study 2019 mencatat 33,3 juta orang di dunia mengalami penyakit aritmia. Penderita aritmia akan mengalami fungsi jantung tidak bekerja sebagaimana seharunya, sehingga ada gangguan pada irama jantung. Gejalanya bervariatif, seperti detak jantung yang yang bermasalah, mudah pusing, hingga pingsan.
Baca juga: Keringat Dingin & Megap-megap Jadi Tanda Serangan Jantung? Simak Faktanya Yuk
Dewan Penasehat Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), Dicky Armein Hanafy menyatakan, rasa berdebar di dada merupakan salah satu gejala yang paling banyak ditemukan pada pasien aritmia. Mengejutkan, tak semua pasien aritmia merasakan gejala tertentu. Beberapa di antaranya boleh jadi tidak merasakan keluhan atau gejala apapun. Ketiadaan gejala menjadi salah satu faktor besar yang berpengaruh pada keterlambatan penanganan.
Fibrilasi atrium (FA) merupakan salah satu jenis aritmia yang paling umum terjadi. Sunu mengatakan, prevalensi global aritmia jenis FA sudah mencapai 46,3 juta kasus per 2023. Proyeksi prevalensi aritmia berjenis FA diperkirakan mencapai 72 juta kasus di seluruh Asia dengan perkiraan penderita di Indonesia mencapai 3 juta.
Seperti layaknya penyakit kardiovaskular yang saling mengait, penderita aritmia berjenis FA ini berisiko membuat rentetan penyakit jenis lainnya. “Individu dengan FA mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi untuk terjadinya strok jika dibandingkan yang tidak memiliki FA,” kata Dicky.
Sebagian kecil penderitanya memang lahir dengan penyakit aritmia bawaan. Namun, faktor risiko juga datang dari segi gaya hidup, misalnya penggunaan narkoba dan zat tertentu, konsumsi alkohol berlebihan, hingga merokok berlebihan.
Dicky menjelaskan, komplikasi yang bisa timbul dan berpotensi membahayakan antara lain gagal jantung dan kematian mendadak. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan khusus yang tepat seperti kateter ablasi dan pemasangan alat Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD).
Kateter ablasi bekerja dengan cara memasukkan kateter melalui pembuluh darah ke jantung untuk mengendalikan detak jantung yang tidak beraturan atau terlalu cepat. Sementara pemasangan alat ICD bekerja dengan mekanisme pengembalian fungsi jantung dengan memberikan kejut listrik saat terjadi gangguan irama jantung.
Ketua InaHRS, Sunu Budhi Raharjo mengatakan tindakan kateter ablasi dan pemasangan alat ICD sangat membantu masyarakat yang mengidap aritmia. Sayangnya, akses terhadap dua penanganan tersebut dinilai masih minim.
“Pada 2021, hanya ada 84 tindakan ablasi FA yang dilakukan di Indonesia. Malaysia berhasil melakukan tindakan ablasi FA sebanyak 191 pada 2020,” katanya. Angka tersebut dinilai Sunu menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan terhadap penanganan aritmia.
Sunu mengatakan, penanganan aritmia memang masih menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satunya adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit aritmia yang masih dinilai buruk. Jumlah kematian jantung mendadak di Indonesia diperkirakan lebih dari 100.000 kasus per tahunnya. Akan tetapi, tindakan pencegahan terhadap kematian jantung mendadak dengan pemasangan alat ICD masih di bawah angka 100 alat per tahunnya. Begitu pula dengan angka penanganan kasus aritmia lain seperti kateter ablasi.
“Padahal, kedua tindakan tersebut jelas akan meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien, misalnya ICD dapat mengurangi risiko kematian jantung mendadak lebih dari 40 persen,” kata Sunu.
Selain soal penanganan, keterbatasan jumlah dokter spesialis di bidang aritmia masih lebih sedikit dibandingkan kebutuhan. Tercatat hanya ada 46 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ahli aritmia di Indonesia hingga 2023. Namun, jumlah ahli aritmia sudah cukup bertambah dari tahun ke tahun meski masih sedikit.
Masalah lainnya datang dari kesenjangan biaya dalam cakupan jaminan kesehatan nasional dengan biaya penanganan alat, seperti pemasangan ICD dan ablasi 3D AF. Sunu menjelaskan, cakupan jaminan kesehatan nasional atau yang dinamai BPJS saat ini hanya menerima sekitar Rp33 juta.
Sementara harga tindakan untuk implantasi alat ICD di rumah sakit besar seperti RS Harapan Kita mencapai Rp146,8 juta. Selain itu, cakupan biaya BPJS untuk tindakan ablasi 3D AF hanya Rp30,5 juta, sementara harga tindakannya mencapai Rp186 juta.
Sunu mengatakan, kesenjagan dalam hal biaya diharapkan menjadi perhatian khusus pemerintah. Kedepannya, peran dunia medis dalam hal edukasi dan kampanye penanganan aritmia serta dukungan pemerintah terhadap akses pelayanan kesehatan aritmia terus diperlukan untuk membuat penanganan aritmia sesuai dengan standar internasional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Mirisnya, kenaikan kasus aritmia terus tercatat melonjak. Data Global Burden of Disease Study 2019 mencatat 33,3 juta orang di dunia mengalami penyakit aritmia. Penderita aritmia akan mengalami fungsi jantung tidak bekerja sebagaimana seharunya, sehingga ada gangguan pada irama jantung. Gejalanya bervariatif, seperti detak jantung yang yang bermasalah, mudah pusing, hingga pingsan.
Baca juga: Keringat Dingin & Megap-megap Jadi Tanda Serangan Jantung? Simak Faktanya Yuk
Dewan Penasehat Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS), Dicky Armein Hanafy menyatakan, rasa berdebar di dada merupakan salah satu gejala yang paling banyak ditemukan pada pasien aritmia. Mengejutkan, tak semua pasien aritmia merasakan gejala tertentu. Beberapa di antaranya boleh jadi tidak merasakan keluhan atau gejala apapun. Ketiadaan gejala menjadi salah satu faktor besar yang berpengaruh pada keterlambatan penanganan.
Fibrilasi atrium (FA) merupakan salah satu jenis aritmia yang paling umum terjadi. Sunu mengatakan, prevalensi global aritmia jenis FA sudah mencapai 46,3 juta kasus per 2023. Proyeksi prevalensi aritmia berjenis FA diperkirakan mencapai 72 juta kasus di seluruh Asia dengan perkiraan penderita di Indonesia mencapai 3 juta.
Seperti layaknya penyakit kardiovaskular yang saling mengait, penderita aritmia berjenis FA ini berisiko membuat rentetan penyakit jenis lainnya. “Individu dengan FA mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi untuk terjadinya strok jika dibandingkan yang tidak memiliki FA,” kata Dicky.
Sebagian kecil penderitanya memang lahir dengan penyakit aritmia bawaan. Namun, faktor risiko juga datang dari segi gaya hidup, misalnya penggunaan narkoba dan zat tertentu, konsumsi alkohol berlebihan, hingga merokok berlebihan.
Dicky menjelaskan, komplikasi yang bisa timbul dan berpotensi membahayakan antara lain gagal jantung dan kematian mendadak. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan khusus yang tepat seperti kateter ablasi dan pemasangan alat Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD).
Kateter ablasi bekerja dengan cara memasukkan kateter melalui pembuluh darah ke jantung untuk mengendalikan detak jantung yang tidak beraturan atau terlalu cepat. Sementara pemasangan alat ICD bekerja dengan mekanisme pengembalian fungsi jantung dengan memberikan kejut listrik saat terjadi gangguan irama jantung.
Perlu Lebih Banyak Ahli & Jaminan Biaya
Ketua InaHRS, Sunu Budhi Raharjo (Sumber gambar: Indah Permata Hati/Hypeabis.id)
Ketua InaHRS, Sunu Budhi Raharjo mengatakan tindakan kateter ablasi dan pemasangan alat ICD sangat membantu masyarakat yang mengidap aritmia. Sayangnya, akses terhadap dua penanganan tersebut dinilai masih minim.
“Pada 2021, hanya ada 84 tindakan ablasi FA yang dilakukan di Indonesia. Malaysia berhasil melakukan tindakan ablasi FA sebanyak 191 pada 2020,” katanya. Angka tersebut dinilai Sunu menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan terhadap penanganan aritmia.
Sunu mengatakan, penanganan aritmia memang masih menghadapi sejumlah tantangan besar. Salah satunya adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit aritmia yang masih dinilai buruk. Jumlah kematian jantung mendadak di Indonesia diperkirakan lebih dari 100.000 kasus per tahunnya. Akan tetapi, tindakan pencegahan terhadap kematian jantung mendadak dengan pemasangan alat ICD masih di bawah angka 100 alat per tahunnya. Begitu pula dengan angka penanganan kasus aritmia lain seperti kateter ablasi.
“Padahal, kedua tindakan tersebut jelas akan meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien, misalnya ICD dapat mengurangi risiko kematian jantung mendadak lebih dari 40 persen,” kata Sunu.
Selain soal penanganan, keterbatasan jumlah dokter spesialis di bidang aritmia masih lebih sedikit dibandingkan kebutuhan. Tercatat hanya ada 46 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ahli aritmia di Indonesia hingga 2023. Namun, jumlah ahli aritmia sudah cukup bertambah dari tahun ke tahun meski masih sedikit.
Masalah lainnya datang dari kesenjangan biaya dalam cakupan jaminan kesehatan nasional dengan biaya penanganan alat, seperti pemasangan ICD dan ablasi 3D AF. Sunu menjelaskan, cakupan jaminan kesehatan nasional atau yang dinamai BPJS saat ini hanya menerima sekitar Rp33 juta.
Sementara harga tindakan untuk implantasi alat ICD di rumah sakit besar seperti RS Harapan Kita mencapai Rp146,8 juta. Selain itu, cakupan biaya BPJS untuk tindakan ablasi 3D AF hanya Rp30,5 juta, sementara harga tindakannya mencapai Rp186 juta.
Sunu mengatakan, kesenjagan dalam hal biaya diharapkan menjadi perhatian khusus pemerintah. Kedepannya, peran dunia medis dalam hal edukasi dan kampanye penanganan aritmia serta dukungan pemerintah terhadap akses pelayanan kesehatan aritmia terus diperlukan untuk membuat penanganan aritmia sesuai dengan standar internasional.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.