Pasien ISPA anak. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)

Generasi Muda Rentan Terdampak Krisis Iklim

31 August 2023   |   19:22 WIB
Image
Gita Carla Hypeabis.id

Like
Perubahan iklim yang tidak normal tidak hanya berdampak pada situasi saat ini, tetapi juga memiliki dampak besar pada generasi muda. Bagi anak-anak, pandangan terhadap masa depan akan tercermin dalam kekhawatiran mendalam akan konsekuensi serius dari krisis iklim global.

Anak-anak secara signifikan lebih rentan terdampak oleh krisis iklim dibandingkan orang dewasa. Mereka harus menghadapi berbagai beban dan risiko untuk berkontribusi dalam usaha mengurangi emisi karbon.

Lembaga Save the Children mencatat bahwa dampak nyata dari krisis iklim di Indonesia sedang dirasakan oleh anak-anak saat ini. Generasi anak yang lahir pada periode 2020 di Indonesia menghadapi risiko yang lebih tinggi, termasuk tiga kali lipat lebih banyak kemungkinan terkena banjir akibat meluapnya sungai, dua kali lipat lebih besar peluang menghadapi kekeringan, dan tiga kali lipat lebih besar risiko gagal panen.

Baca juga: Duh, Anak Kelahiran 2020 Rentan Jadi 'Korban' dari Dampak Krisis Iklim

Perlu digarisbawahi, krisis iklim tak hanya berkutat soal kesehatan yang layak pada anak. Hal ini juga berdampak secara tidak langsung pada hak-hak anak, di antaranya hak mendapatkan pendidikan, akses air bersih, dan ketahanan pangan. Dalam laporan global Save the Children, Born into the Climate Crisis, yang dirilis pada September 2021, terungkap bahwa dampak dari krisis iklim ini mengakibatkan jutaan anak dan keluarga di Indonesia terperosok ke dalam jurang kemiskinan jangka panjang.

Laporan Unicef pada 2021 bertajuk The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index, menyajikan analisis risiko iklim dari perspektif anak pertama kali. Laporan ini mengevaluasi negara-negara berdasarkan risiko keterpaparan anak terhadap perubahan iklim dan dampak lingkungan, termasuk badai dan gelombang panas, serta kerentanan mereka terhadap dampak tersebut melalui akses terhadap layanan esensial.

Peluncuran laporan ini merupakan hasil kerja sama dengan gerakan Fridays for Future yang diperingati dalam rangka tiga tahun gerakan protes iklim yang digerakkan oleh anak-anak muda. Temuan laporan ini mengungkap bahwa hampir separuh dari total 2,2 miliar anak di dunia, atau sekitar 1 miliar anak, tinggal di 33 negara dengan risiko sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Meskipun laporan ini menggambarkan situasi saat ini, potensi pertambahan dampak lebih lanjut terkait dengan percepatan perubahan iklim sangat mungkin terjadi.

 

Negara yang populasi anaknya paling terancam. (Sumber gambar: UNICEF)

Negara yang populasi anaknya paling terancam. (Sumber gambar: UNICEF)


Indonesia berada pada peringkat ke-46 dan termasuk dalam kategori risiko tinggi. Perwakilan UNICEF Indonesia, Debora Comini, menekankan bahwa krisis iklim bukan hanya sekadar masalah lingkungan, tetapi juga merupakan krisis hak anak.

“Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk,” ujar Debora.

Diperkirakan sekitar 850 juta anak, atau satu dari setiap tiga anak di dunia, tinggal di wilayah yang terkena minimal empat jenis dampak lingkungan dan perubahan iklim. Lebih lanjut, sekitar 330 juta anak, atau satu dari setiap tujuh anak di dunia, tinggal di wilayah yang menghadapi minimal lima jenis dampak utama.

Baca juga: Nikmatnya Sepiring Nasi, Secangkir Kopi, dan Ancaman Perubahan Iklim di Masa Depan
 

Polusi Udara dan Hak Anak

Orang tua di Indonesia, terutama mereka yang memiliki anak usia muda, tengah menghadapi tantangan berat. Setelah beberapa bulan, muncul wabah penyakit gagal ginjal akut yang secara misterius telah merenggut nyawa lebih dari 100 anak. Tingkat kematian yang tinggi, melebihi 50 persen, menunjukkan dampak yang menghancurkan; dalam setiap 10 anak yang terinfeksi, lima di antaranya kehilangan nyawa.

Sebelumnya, ketegangan telah tumbuh di kalangan orang tua karena meningkatnya kasus hepatitis akut yang juga melibatkan anak-anak. Sebagai tambahan beban, sejak 2020, orang tua juga telah dihadapkan pada tugas mengawasi anak-anak di tengah pandemi Covid-19 yang belum reda.

Ketika polusi udara Jakarta ramai diperbincangkan beberapa bulan ini, hak kesehatan anak kontan muncul sebagai isu genting. Bagaimana tidak, salah satu data yang UNICEF dapatkan dari sebuah riset menunjukkan, secara internasional tercatat 600.000 anak meninggal setiap tahun karena pneumonia dan penyakit pernapasan lain, dan polusi udara diklaim sebagai faktor utama di balik itu. Angka ini tentu bukan main-main.

Menurut data dari IQAir, perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, yang mengkhususkan diri dalam perlindungan terhadap polutan di udara, mencatat polusi udara diperkirakan menimbulkan kerugian 8.800 kematian di Jakarta pada 2023. Selain itu, menimbulkan kerugian sekitar US$2,300,000,000  di Jakarta pada 2023.

Anak memang tergolong rentan penyakit ISPA, bahkan disebut sebagai salah satu silent killer.  Perlu kalian tahu, polusi udara sebenarnya bukan penyebab ISPA, tapi juga memfasilitasi terjadinya ISPA. Polusi udara berbentuk partikel renik yang jika masuk ke dalam saluran pernapasan bisa merusak mekanisme pertahanan tubuh. Di situlah momen kuman penyebab ISPA lebih mudah menyerang.

Dokter Spesialis Anak dari RSCM Darmawan B. Setyanto dalam diskusi virtual, Jumat (18/8/2023),mengatakan secara fisiologis, anak-anak bernapas dengan laju napas yang lebih besar. Bila dihitung per kilogram berat badannya, udara yang dihirup akan lebih banyak, itulah sebabnya anak-anak lebih banyak menghirup polutan ketimbang kalangan dewasa.

Baca juga: Polusi Udara Bisa Ganggu Mental dan Kecerdasan Anak

Bukan hanya menyebabkan ISPA kemudian pneumonia yang berisiko kematian, paparan zat polutan juga bisa menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Anak-anak masih dalam fase tumbuh kembang. “Ketika terpajan polusi, fungsi saraf, kognitif, motorik kasar dan halus, mental, serta tingkah lakunya menjadi terganggu. Bisa sebabkan gangguan mental dan tingkah laku, gangguan kecerdasan,” ujar Darmawan.

Dampak polusi udara terhadap kesehatan anak bisa terjadi secara jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, gangguan pernapasan bisa menyebabkan pneumonia yang berujung asma.
 

Ilustrasi anak menanam pohon. (Sumber gambar: Unsplash/Nicoline Arns)

Ilustrasi anak menanam pohon. (Sumber gambar: Unsplash/Nicoline Arns)


Jika tidak ditangani, bisa berpengaruh pada persoalan tumbuh kembang anak secara jangka panjang, seperti stunting serta gangguan kecerdasan, mental, motorik, dan tingkah laku.

Selain itu, paparan polusi udara juga berpotensi meningkatkan risiko penyakit kanker serta risiko penyakit jantung dan diabetes dalam jangka panjang saat seseorang tumbuh dewasa. Ini berarti bahwa semakin muda seseorang terpapar polusi udara, semakin besar dampak negatifnya.

Kenyataannya sangat mengkhawatirkan. Namun, di tengah dampak ini, bagaimana dengan hak kesehatan anak? Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi situasi ini?

Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. UU ini menegaskan, "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak agar setiap Anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan."

Di dalam UU No. 35 Tahun 2014 Pasal 45B Ayat (1), disebutkan, "Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak." Ayat (2) menegaskan bahwa dalam menjalankan kewajiban ini, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus melakukan aktivitas yang melindungi Anak.

Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, terlindungi dari berbagai ancaman dan gangguan, baik dari internal maupun lingkungan.

Namun, dalam konteks polusi udara, aturan ini masih dirasa belum cukup kuat. Diperlukan penguatan regulasi hingga tingkat pemerintah daerah, seperti yang ditegaskan oleh pihak KPAI yang juga prihatin terhadap situasi ini.

Belum lama ini, KPAI dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta berkolaborasi untuk merancang program pencegahan yang akan diimplementasikan di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Ini dilakukan melalui pemetaan yang melibatkan sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. Data yang diperoleh dari pemetaan ini akan menjadi dasar dalam penetapan kebijakan.

Pemerintah juga berkomitmen untuk memprioritaskan pembenahan sumber polusi udara. Ini tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak seperti kementerian/lembaga, masyarakat, sektor swasta, dan media. Langkah-langkah yang diambil mencakup aspek kebijakan, edukasi, dan literasi.

Selain itu, Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin menyebut bahwa sebanyak 674 puskesmas telah disiapkan untuk mendeteksi ISPA dengan melakukan pemeriksaan aspirator. “Kita berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan untuk penanganan pasien. Kalau penyakit pernafasan seperti apa, kalau masuk kategori ISPA bisa ditangani di puskesmas,” ujarnya dikutip Hypeabis.id dari keterangan resmi, Rabu (30/8/2023).

Baca juga: Tangani Dampak Polusi Udara, 674 Puskesmas Disiapkan Untuk Deteksi ISPA

Tindakan ini sejalan dengan pembentukan komite respirologi dan dampak polusi udara bagi kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Rencana strategis yang diterapkan termasuk upaya deteksi, penurunan risiko kesehatan, dan adaptasi terhadap polusi udara.

Secara global, menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), emisi gas rumah kaca harus dikurangi setengahnya pada 2030 dan mencapai nol pada 2050 untuk mencegah dampak yang lebih parah. Namun, masih banyak negara yang belum sungguh-serius dalam mencapai target ini. Hanya tindakan transformasional seperti ini yang akan memastikan bahwa anak-anak mewarisi Bumi yang dapat dihuni dengan baik.

Bagi para orang tua, disarankan untuk mengikuti langkah-langkah berikut guna meminimalkan risiko anak terpapar polusi udara, seperti menjaga anak agar lebih banyak berada di dalam ruangan dan beraktivitas di lingkungan yang aman, menggunakan masker saat berada di area luar, memberikan makanan bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh, menghindari aktivitas fisik yang berlebihan, memastikan cukup asupan air putih, serta menempatkan tanaman di dalam rumah untuk membersihkan udara.

Baca juga: 7 Tanaman Hias yang Dapat Menyerap Racun di Udara

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Indyah Sutriningrum

SEBELUMNYA

4 Kegiatan Seru di Synchronize Fest 2023, Layanan Busway Gratis hingga Jumpa Musisi Idola

BERIKUTNYA

Wow, 11 Startup Indonesia Masuk Daftar 100 Forbes Asia 100 to Watch 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: