Merefleksikan Duka & Kehilangan Lewat Pameran Elegi Buih di Art Agenda Jakarta
30 August 2023 |
22:00 WIB
Duka akibat kehilangan merupakan salah satu tema yang tak habis dieksplorasi. Pada abad ke-16 misalnya, Raja Mughal Shah Jahan tidak akan membangun Taj Mahal sebagai bentuk upaya untuk mengenang istrinya yang meninggal saat melahirkan.
Dalam sejarah seni rupa eksplorasi terhadap duka juga menjadi bahan inspirasi seniman terkenal. Seperti Paul Cézanne lewat lukisan berjudul La Douleur (1867) atau Vincent van Gogh lewat karya bertajuk Wheatfield with Crows yang dilukis pada dekade 1890-an.
Baca juga: Menyimak Keindahan Masa Lalu Lewat Pameran Book Paper and Discovery Lithography
Kini, tema serupa juga kembali digarap oleh seniman muda Indonesia dalam pemeran bertajuk Elegi Buih yang dihelat di Art Agenda Jakarta. Namun, berbeda dengan karya seniman di atas, eksibisi kolektif ini justru mengajak pengunjung untuk memaknai atau mempertanyakan tentang duka akibat kehilangan.
Dikuratori Stella Wenny, pameran ini mencoba merefleksikan rasa duka dan kehilangan akibat kematian seseorang. Total ada delapan seniman yang berpameran, yakni Alexandra Karyn Irene Febry, Kurt. Peterson, Mutiara Riswari, Olen Riyanto, Rega Ayundya Putri, Wanti Amelia, dan Yohan Liliyani.
Eksibisi ini memang mengajak pengunjung untuk menikmati kesunyian ruang serta merenungkan interaksi yang rumit antara melepaskan dan bertahan dalam transisi duka. Hal itu misalnya dapat disimak lewat video karya Alexandra Karyn bertajuk Memory is a flowering ripple in the water (2023).
Lewat karya berdurasi 9 menit itu, pengunjung diajak untuk melihat momen pertunjukan partisipatif yang dilakukan semua seniman saat melepas simbol duka mereka dengan melarungnya ke laut dengan instrumen bernada minor serta gerak visual yang cenderung lambat.
Dalam Mourning and Melancholia (1917), Sigmund Freud mengatakan, duka merupakan reaksi alamiah ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai, atau abstraksi tertentu yang dianggap berharga, seperti Tanah Air, kemerdekaan, cita-cita, dan seterusnya.
Namun, duka juga punya batas. Arkian mereka yang berduka bakal berdamai dengan kehilangan dan menyadari bahwa apa-apa yang tak kembali mungkin saja tergantikan. Premis ini juga kerap dijadikan idiom bahwa waktu adalah faktor penentu yang dapat menyembuhkan dukacita.
Kelindan narasi tersebut juga tampak mewujud dalam karya berjudul Did You Find Your Path in the Water? (2023) buah tangan perupa Irene Febry. Kolase karya menggunakan media kertas joss (dupa) dengan uang kertas itu seolah merepresentasikan waktu sebagai penyembuh.
Lewat karya kolase tersebut sang seniman seolah ingin merepresentasikan ulang dukanya dengan garis-garis repetitif dari kertas yang bergelombang. Menurut sang kurator, kelindan ombak kertas itu juga menjadi ekspresi Irene saat emosinya masih belum stabil.
Namun, seiring waktu dalam karya dengan media yang sama berjudul The Sun and the Moon (2023) dan dibuat dalam jangka waktu berbeda ombaknya lebih mengecil. Dengan kata lain, duka yang dialami seolah sudah dapat dilewati oleh sang seniman.
Senada, Irene juga mengatakan bahwa uang kertas yang dipakai sebagai karya merupakan material yang dipakai masyarakat China ketika ada yang meninggal. Sedangkan, kertas joss adalah bagian ritual yang dibakar setiap tahunnya dalam perayaan Ceng Beng atau sembahyang kubur.
"Ritual kertas joss ini sangat merefleksikan budaya China bahwa kekayaan materi adalah sangat penting, baik dalam kehidupan ataupun kematian. Saya memilih material ini untuk merepresentasikan budaya tersebut, sekaligus mempertanyakannya," kata sang seniman.
Karya-karya lain yang merefleksikan duka juga tampak dalam instalasi berjudul Live, Die, Double Happiness (2023) buah tangan perupa Olen Riyanto. Namun, alih-alih menggunakan idiom yang identik dengan duka, sang seniman justru memilih objek guling yang disusun membentuk instalasi seperti jembatan untyk menuju alam yang lain.
Adapun, belasan guling tersebut juga disusun sedemikian rupa menyerupai jalanan sebagai bentuk imaji sangkan paran, atau dari dan menuju ke mana hidup akan berakhir. Medium guling dipilih karena benda tersebut juga merepresentasikan rasa kesepian seseorang.
"Guling ini kan diciptakan oleh penjajah asal Belanda yang datang ke Nusantara tapi tidak membawa istrinya karena biaya yang mahal. Ini jadi menarik, pasalnya karya ini sebenarnya ingin berbicara tentang kematian, tapi menggunakan simbol yang cukup happy," kata Stella Wenny.
Adapun, eksibisi yang memacak karya seni dua dan tiga dimensi ini masih dapat dinikmati hingga 30 September 2023 pada hari Rabu-Minggu pukul 12.00-17.00 WIB.
Baca juga: Art Jakarta 2023: Venue Baru & Kejutan Baru
Editor: Dika Irawan
Dalam sejarah seni rupa eksplorasi terhadap duka juga menjadi bahan inspirasi seniman terkenal. Seperti Paul Cézanne lewat lukisan berjudul La Douleur (1867) atau Vincent van Gogh lewat karya bertajuk Wheatfield with Crows yang dilukis pada dekade 1890-an.
Baca juga: Menyimak Keindahan Masa Lalu Lewat Pameran Book Paper and Discovery Lithography
Kini, tema serupa juga kembali digarap oleh seniman muda Indonesia dalam pemeran bertajuk Elegi Buih yang dihelat di Art Agenda Jakarta. Namun, berbeda dengan karya seniman di atas, eksibisi kolektif ini justru mengajak pengunjung untuk memaknai atau mempertanyakan tentang duka akibat kehilangan.
Dikuratori Stella Wenny, pameran ini mencoba merefleksikan rasa duka dan kehilangan akibat kematian seseorang. Total ada delapan seniman yang berpameran, yakni Alexandra Karyn Irene Febry, Kurt. Peterson, Mutiara Riswari, Olen Riyanto, Rega Ayundya Putri, Wanti Amelia, dan Yohan Liliyani.
Eksibisi ini memang mengajak pengunjung untuk menikmati kesunyian ruang serta merenungkan interaksi yang rumit antara melepaskan dan bertahan dalam transisi duka. Hal itu misalnya dapat disimak lewat video karya Alexandra Karyn bertajuk Memory is a flowering ripple in the water (2023).
Lewat karya berdurasi 9 menit itu, pengunjung diajak untuk melihat momen pertunjukan partisipatif yang dilakukan semua seniman saat melepas simbol duka mereka dengan melarungnya ke laut dengan instrumen bernada minor serta gerak visual yang cenderung lambat.
Dalam Mourning and Melancholia (1917), Sigmund Freud mengatakan, duka merupakan reaksi alamiah ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai, atau abstraksi tertentu yang dianggap berharga, seperti Tanah Air, kemerdekaan, cita-cita, dan seterusnya.
Namun, duka juga punya batas. Arkian mereka yang berduka bakal berdamai dengan kehilangan dan menyadari bahwa apa-apa yang tak kembali mungkin saja tergantikan. Premis ini juga kerap dijadikan idiom bahwa waktu adalah faktor penentu yang dapat menyembuhkan dukacita.
Kelindan narasi tersebut juga tampak mewujud dalam karya berjudul Did You Find Your Path in the Water? (2023) buah tangan perupa Irene Febry. Kolase karya menggunakan media kertas joss (dupa) dengan uang kertas itu seolah merepresentasikan waktu sebagai penyembuh.
Deretan karya perupa Irene Febry yang mengunakan medium kertas joss dan uang kertas untuk merefleksikan makna duka. (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
Namun, seiring waktu dalam karya dengan media yang sama berjudul The Sun and the Moon (2023) dan dibuat dalam jangka waktu berbeda ombaknya lebih mengecil. Dengan kata lain, duka yang dialami seolah sudah dapat dilewati oleh sang seniman.
Senada, Irene juga mengatakan bahwa uang kertas yang dipakai sebagai karya merupakan material yang dipakai masyarakat China ketika ada yang meninggal. Sedangkan, kertas joss adalah bagian ritual yang dibakar setiap tahunnya dalam perayaan Ceng Beng atau sembahyang kubur.
"Ritual kertas joss ini sangat merefleksikan budaya China bahwa kekayaan materi adalah sangat penting, baik dalam kehidupan ataupun kematian. Saya memilih material ini untuk merepresentasikan budaya tersebut, sekaligus mempertanyakannya," kata sang seniman.
Karya-karya lain yang merefleksikan duka juga tampak dalam instalasi berjudul Live, Die, Double Happiness (2023) buah tangan perupa Olen Riyanto. Namun, alih-alih menggunakan idiom yang identik dengan duka, sang seniman justru memilih objek guling yang disusun membentuk instalasi seperti jembatan untyk menuju alam yang lain.
Karya berjudul Live, Die, Double Happiness (2023) buah tangan perupa Olen Riyanto. (sumber gambar Hypeabis.id/ Prasetyo Agung Ginanjar)
"Guling ini kan diciptakan oleh penjajah asal Belanda yang datang ke Nusantara tapi tidak membawa istrinya karena biaya yang mahal. Ini jadi menarik, pasalnya karya ini sebenarnya ingin berbicara tentang kematian, tapi menggunakan simbol yang cukup happy," kata Stella Wenny.
Adapun, eksibisi yang memacak karya seni dua dan tiga dimensi ini masih dapat dinikmati hingga 30 September 2023 pada hari Rabu-Minggu pukul 12.00-17.00 WIB.
Baca juga: Art Jakarta 2023: Venue Baru & Kejutan Baru
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.