Ilustrasi skydiving. (Sumber gambar: Unsplash/Eun Kwang Bae)

Hypereport: Menaklukkan Langit dengan Keberanian, Potensi Olahraga Ekstrem Udara di Indonesia

20 August 2023   |   17:53 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Like
Indonesia memiliki potensi besar melahirkan atlet-atlet olahraga ekstrem seperti skydiving, paralayang, dan sebagainnya. Kondisi topografi berupa pegunungan dan hamparan daratan menjadi salah satu penyebabnya. Namun, sejumlah faktor membuat potensi itu tidak dapat dimaksimalkan sehingga banyak hal perlu diperbaiki.

Bagi banyak orang, melompat dari dalam pesawat dan melayang di udara adalah aktivitas yang tidak akan pernah terpikirkan. Bukan tanpa sebab, badan akan jatuh dengan kecepatan tinggi sebelum parasut dibuka dan turun di titik yang ditentukan.

Berbeda dengan banyak orang, para atlet skydiving merasakan sesuatu yang berbeda ketika melayang di udara. Mereka menikmati kebebasan dan sensasi yang luar biasa ketika berada di udara yang sangat tinggi dari tanah.

Baca juga laporan terkait:
Dari Kolong Jalan Layang Pasar Rebo hingga Pentas Papan Seluncur Dunia
Hypereport: Menguji Nyali di Pegunungan, Berjalan di Atas Tali & Menuruni Bukit Kecepatan Tinggi
Hypereport: Seni Watersport, Bermain dengan Ombak hingga Menyelami Dasar Laut

 


Salah satu atlet skydiving Indonesia yang sudah mendunia dan malang melintang yang mengharumkan nama bangsa adalah Naila Novaranti. Atlet wanita ini berhasil menjuarai berbagai macam kompetisi olahraga esktrem di udara tersebut.

Rasa takut atau deg-degan ketika hendak melompat memang dirasakannya. Dia merasakan ketika berada di dalam pesawat dan ingin keluar. Namun, saat melompat ke luar, perasaan merdeka menghinggapi dirinya. Dia bisa jungkir balik dan bebas berekspresi ketika berada di udara tanpa ada orang. “Pembatas saya pintu pesawat. Ketika sudah di luar seneng,” katanya kepada Hypeabis.id.

Saat-saat terbang melayang di udara sebelum memakai parasut adalah waktu yang paling menyenangkannya. Sampai saat ini, dia menggunakan parasut hanya untuk mendarat untuk aman di darat.

Dia menuturkan justru mengalami rasa khawatir ketika berada di bawah parasut. Menurutnya, parasut adalah hal lain yang berada di dalam tubuh yang juga berarti akan ada aspek lain yang dapat mengontrol tubuh kita, seperti udara, cuaca, dan sebagainya. “Saat terbang [tanpa parasut], hanya badan kita yang kita kontrol,” jelasnya.

Naila memulai olahraga ini sekitar 13 tahun silam. Semua bermula lantaran rasa egonya terusik ketika mendapatkan pertanyaan dari konsumen ketika bekerja di sebuah perusahaan parasut dan menawarkan produknya. “Mereka bilang, ‘memang kamu penerjun. Sudah pernah terjun?’,” katanya.

Jika pada awalnya kegiatan ini hanya coba-coba dan melakukannya dengan tandem, dia mulai belajar lantaran terus mendapatkan tekanan dari konsumen yang mempertanyakan dirinya sudah pernah terjun atau belum. meskipun begitu, dia belajar dengan senang.

Pada saat itu, dia merasa beruntung lantaran mendapatkan pelatih yang terus dapat membuatnya merasa senang ketika menjalani latihan. Sang pelatih mampu membuatnyat tertarik untuk terus mengasah kemampuannya dan mendorong untuk mengikuti kompetisi.

Wanita yang memiliki tekad untuk selalu menjadi juara ini mengakui bahwa bakat dan latihan menjadi dua faktor penting dalam pencapaiannya. Pada saat itu, kegiatan indoor skydiving belum menjadi tren, sehingga dia memulai perjalanannya dengan tiga kali tandem. Namun, dia kemudian memutuskan untuk beralih ke metode accelerated freefall (AFF).

Dia menilai AFF yang memiliki ketinggian yang lebih tinggi untuk terjun dibandingkan dengan static line lantaran memahami sebuah ungkapan bahwa altitude is your friend. Baginya, kian rendah ketinggian lompat berarti jarak ke bumi juga lebih dekat.

Dengan begitu, maka waktu yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah ketika berada di atas menjadi lebih cepat. Bukan tanpa sebab, saat berada di udara, individu jatuh dengan kecepatan lebih dari 100 km/ jam – terlebih detik-detik pertama keluar dari pesawat seperti tertendang.

Saat menjalani program AFF, kemampuan untuk mendarat dengan selamat dan aman seperti tidak cedera engkel adalah ukuran untuk lulus, bukan jumlah terjun.

Sementara jumlah terjun yang harus diikuti oleh individu dalam program tersebut sudah ada standarnya. Rasa panik dalam latihan dengan melompat dari ketinggian tentu ada. Namun, pengendalian diri yang tinggi harus dimiliki.

Dia menuturkan siswa pada saat ini memiliki kemampuan dalam melayang di udara karena terbiasa di indoor skydiving. Namun, kelemahan mereka adalah terkadang lupa bahwa mereka tidak melayang di udara selamanya. Kondisi tersebut kerap membuat mereka mengalami kecelakaan saat mendarat atau tabrakan di atas ketika kanopi terbuka.
 

Menjadi Atlet Skydiving di Indonesia

 

Naila melakukan skydiving di Antartika. (Sumber gambar: Pribadi)

Naila melakukan skydiving di Antartika. (Sumber gambar: Pribadi)

Wanita yang mendapatkan lisensi dari United States Parachute Association (USPA) itu menilai bahwa minat masyarakat di dalam negeri terhadap aktivitas ekstrem udara mulai meningkat pada saat ini.

Rasa ingin masyarakat untuk mencoba atau menekuni kegiatan ini karena beberapa hal, seperti senang dengan adrenalin, ingin menjadi atlet, dan sebagainya.

Dia menilai, sebenarnya, Indonesia memiliki potensi besar melahirkan atlet-atlet berprestasi dan juga mendatangkan devisa negara dari olahraga ekstrem ini. Namun, beberapa faktor menjadi tantangan untuk memaksimalkan potensi yang ada.

Menurutnya, seorang atlet memerlukan banyak jam terbang untuk dapat berkompetisi dan berharap bisa memenangkannya ketika ke luar negeri. Saat ini, sulit bagi atlet di dalam negeri untuk memperoleh jam terbang yang tinggi lantaran biaya yang harus dikeluarkan untuk berlatih tidak murah.

Di dalam negeri, biaya pesawat sekali terbang mencapai Rp1,6 juta – Rp1,7 juta. Biaya itu tidak kecil dan lebih baik digunakan untuk keperluan lain bagi sebagian orang. Padahal, di luar negeri, biaya yang harus dikeluarkan untuk pesawat tidak semahal itu, yakni US$23.

Dia mengingatkan biasanya ada jam terbang tertentu yang harus dipenuhi oleh calon atlet ketika akan mengikuti sebuah kompetisi dunia. Naila yang mengaku beruntung kerap melakukan latihan di luar negeri bisa terjun selama 10 kali dalam satu hari sebelum makan siang usai dan dilanjutkan pada malam hari di dalam ruangan.

Dengan begitu, maka target jam terbang 30 kali sudah bisa didapatkan dalam 3 hari. “Makanya untuk bicara kejuaraan dunia bingung juga bicaranya. Kalau hanya bicara berangkat saja, pastilah dukungan-dukungan untuk berangkat ada,” katanya.

Biaya pesawat yang mahal tidak terlepas dari jumlah perusahaan yang mendapatkan izin untuk mengangkut para penerjun. Menurutnya, saat ini, baru ada satu perusahaan sehingga tarif yang dipasang cukup mahal.

Kondisi itu membuat atlet yang ingin latihan mengalami kesulitan untuk penerbangan sipil, kecuali nebeng dengan Tentara Nasional Indonesia. Dia menginginkan olahraga ekstrem ini seperti olahraga sepak bola yang bisa diikuti oleh siapa saja.

Sementara terkait dengan potensi wisata, banyak tempat mendarat untuk para atlet olahraga ekstrem udara ini yang bagus di dalam negeri. Salah satu contohnya adalah Raja Ampat.

Hanya saja, biaya yang mahal juga membuat penyelenggara akan kesulitan untuk memasang tarif. Dia menuturkan banyak pihak juga memiliki target memperbanyak jumlah jam terbang selain untuk liburan. “Penerjun pasti berpikir [jika hanya sedikit waktu terjun dengan biaya yang mahal],” katanya.

Menurutnya, tidak sulit untuk mengubah kondisi itu asalkan pemerintah mau memberikan izin kepada perusahaan lain untuk menyelenggarakan angkutan olahraga ekstrem di udara tersebut. Dengan begitu, maka banyak drop zone akan dibuka.

Infrastruktur yang dibutuhkan untuk olahraga ini tidak besar, yakni lapangan dan juga runway pesawat. Pesawat kecil biasanya tidak membutuhkan runway yang panjang. Tidak hanya itu, penggunaan helikopter banyak tidak memerlukannya.

Pengaturan yang perlu dilakukan adalah terkait dengan letak penerjun bisa mendarat. Dia meyakini, pesawat yang akan digunakan untuk mengangkut para penerjun juga pasti sudah memiliki izin.

Sementara terkait dengan pilot pesawat, dia menambahkan bahwa di luar negeri pemilik usaha kerap menggandeng siswa penerbangan yang baru lulus dan mengambil izin pilot.

Di satu sisi, pelaku usaha tidak membayar apa pun untuk sang pilot dan hanya memberikan makanan. Di sisi lain, pilot mendapatkan jam terbang yang akan berguna untuk kariernya pada masa yang akan datang. Pelaku usaha biasanya akan melihat logbook yang dimiliki, lulusan mana, dan pesawat yang sesuai terhadap siswa tersebut.
 

Kepercayaan Diri yang utama

Selain sebagai atlet, Naila juga seorang instruktur atau pelatih. Dalam memberikan pendidikan, hal pertama yang ditanamkan kepada siapa saja yang hendak melakoni aktivitas ini adalah kepercayaan diri.

Menurutnya, sulit bagi siapa pun untuk memulai ketika tidak memiliki rasa percaya diri. Setelah itu, dirinya akan menanyakan target yang ingin dicapai, yakni coba-coba atau menjadi seorang atlet nasional. Cara mengajar keduanya akan berbeda satu sama lain.
 

Naila melakukan skydiving di USA. (Sumber gambar: Pribadi)

Naila melakukan skydiving di USA. (Sumber gambar: Pribadi)


Setelah percaya diri, langkah selanjutnya adalah mental dan sehat. Dia menuturkan bahwa teknik akan mengikuti saat melakukan latihan. Teknik juga akan berbeda-beda, tergantung dengan target yang ingin dicapai oleh seseorang.
 
Pakar pemasaran dan branding, Yuswohady, mengatakan bahwa bisnis penyelenggara olahraga ekstrem udara seperti skydiving, paralayang, dan sebagainya adalah pasar khusus atau niche market. Pasar usaha ini tidak akan mungkin besar dan berdasarkan ketertarikan atau interest based. “Orangnya spesifik, khusus,” katanya kepada Hypeabis.id.

Kondisi tersebut membuat para pelaku usaha sulit untuk menentukan saluran guna meraihnya. Jadi, pemasaran yang dapat dilakukan juga tidak bisa yang bersifat masal. Channel pemasaran yang paling kuat adalah komunitas, asosiasi, atau sebuah event.

Menurutnya, pelaku usaha bisa memanfaatkan media massa atau membuat komunitas terkait dengannya. Jadi, komunitas tersebut berada di bawah merek brand. Selain itu, merek juga bisa memanfaatkan komunitas dengan sponsorship, membayar, dan sebagainya.

Kemudian, langkah lainnya adalah brand juga bisa menjadi bagian dari sebuah komunitas bukan menjadi sponsorship atau yang sifatnya transaksional. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh merek dalam melakukan pemasaran dengan memanfaatkan mereka adalah pemilik juga harus memiliki ketertarikan yang sama.

Dengan begitu, maka pemilik merek akan mengetahui pemimpin komunitas. Menurutnya, pemimpin biasanya menjadi orang yang berpengaruh di dalamnya. Selain itu, mereka juga memiliki jaringan ke komunitas lain yang serupa.

Langkah merek yang menjadi bagian dari komunitas merupakan cara yang bagus. Namun, perusahaan membutuhkan waktu untuk itu. Dia mengingatkan bahwa jangan sampai brand menjadi “sapi perah” bagi komunitas karena akan membuat biaya membengkak. Kondisi pasar yang niche, pembengkakan biaya juga dapat berpengaruh terhadap bisnis yang dijalankan.

Cost penting karena niche market pasarnya tidak akan besar dan kompetisi pemain enggak banyak. Kenapa enggak banyak? Karena market kecil diperebutkan banyak pihak jadi habis. Mungkin dia pemain satu-satunya, agar tetap langgeng, pondasi bisnis harus kuat sehingga harus cukup menguntungkan dan cost harus ditekan,” katanya.

Meskipun begitu, dia menambahkan bahwa pelaku usaha yang hanya menjadi satu-satunya pemain juga tidak bisa seenaknya menetapkan harga. Brand akan mengetahui harga yang tepat di level berapa ketika menjadi bagian komunitas.

Pelaku usaha tidak bisa menetapkan harga setinggi-tingginya karena memiliki kepentingan agar bisnis bisa berjalan lama. Tarif atau harga yang mahal bisa saja diterapkan. Namun, bukan karena memanfaatkan posisinya sebagai pemain tunggal.  

Selain harga, layanan juga perlu dijaga dalam usaha dengan pasar yang khusus. Dia menuturkan, pelaku usaha juga harus menjaga ekosistem karena perusahaan akan merugi jika komunitas sampai mati. Sementara itu, perusahaan akan berkembang ketika komunitas berkembang. 

Baca juga: Hypereport: Menyusuri Jejak Generasi Baru Kalcer Skena

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Mengenal Cottagecore Fashion, Gaya Busana ala Pedesaan yang Modis dan Estetis

BERIKUTNYA

Menikmati Ragam Sajian Tempo Dulu di Rumah Makan Legendaris Moerni 78 Yogyakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: