Hypereport Kemerdekaan: Mengenang Kekaryaan Seniman Srihadi Soedarsono di Gelanggang Pertempuran
17 August 2023 |
10:00 WIB
Pria ini dikenal sebagai salah satu maestro lukis Indonesia. Semasa hidupnya, karya-karya dia sarat dengan bentuk geometris sintetik, abstrak, impresionisme, garis horison, dan figur-figur puitis. Di samping sebagai pelukis, dia juga pernah mengangkat senjata dalam perang revolusi fisik pada 1940-an.
Dialah Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, atau publik seni mengenalnya dengan nama Srihadi. Seniman kelahiran Surakarta, 4 Desember 1931 ini, mulai gemar menggambar sejak usia dini.
Baca juga: Profil Hendra Gunawan, Seniman Bernyali Perang
Pada masa pendudukan Belanda, dia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, sang perupa telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan maestro lainnya di majalah Djawa Baroe.
Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, seniman kelahiran Surakarta itu ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta.
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1948, dia bergabung menjadi anggota Tentara Pelajar sebagai wartawan pelukis yang bertugas untuk membuat poster-poster untuk Balai Penerangan Divisi IV BKR/TKR/TNI di Solo. Dia juga bertugas meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta pada masa Agresi Militer Belanda.
Pada masa revolusi, Srihadi membuat banyak sketsa di atas kertas yang menggambarkan suasana dan dinamika peristiwa militer antara tentara Belanda dan Indonesia. Gambar-gambarnya berfungsi sebagai dokumentasi sejumlah peristiwa penting yang biasanya dimuat di surat kabar dan media publikasi lainnya, dimana kala itu kehadiran fotografer belum cukup masif.
Salah satu karya sketsanya yang monumental berjudul Rapat Umum Bung Tomo Membalas Larang Berbitjara. Karya yang dibuat pada 27 Desember 1947 tersebut menampilkan suasana perkumpulan yang dihadiri oleh banyak orang. Di sebuah mimbar, tampak tiga orang berdiri yang menjadi orator.
Di depan mereka, meski tidak memiliki bentuk yang jelas, terlihat kerumunan orang yang menghadiri pertemuan itu. Suasana itu tampak berlatar di sebuah lapangan luas dengan lanskap rumah dan pepohonan di sekitarnya. Pada bagian bawahnya, Srihadi menuliskan judul sketsa tersebut, Rapat Umum Bung Tomo Membalas Larang Berbitjara.
Sketsa lainnya yang monumental yang dibuat oleh Srihadi pada masa revolusi adalah peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa obat-obatan untuk rakyat Indonesia di desa Ngoto, Yogyakarta, pada 1947. Sketsa yang dibuat pada 6 September 1947 itu menampilkan pesawat yang tersungkur dan pada bagian depannya tampak rusak parah.
Berbeda dari sketsa sebelumnya, dalam karyanya ini, Srihadi tampak lebih menunjukkan garis-garis yang jelas dalam menggambar sebongkah pesawat, dengan warna-warna yang lebih menyala. Pesawat Dakota VT-CLA itu ditumpangi Komodor Udara Adi Sucipto dan kawan-kawan militer membawa obat-obatan dari India menuju Yogyakarta.
Ketika hendak mendarat di Maguwo, burung besi tersebut ditembaki oleh dua pesawat pemburu dari Belanda. Pesawat pun jatuh dan terbakar serta menewaskan Adisucipto dan Abdurahman Saleh. Peristiwa tersebut kemudian dijadikan sebagai tanggal peresmian Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala pada tanggal 29 Juli 1984.
Tak hanya peristiwa-peristiwa penting, Srihadi juga menggambar sketsa sejumlah tokoh yang baik secara langsung maupun tidak terlibat dalam kecamuk masa revolusi. Dua sketsa potretnya yang terkenal yakni menampilkan sosok pahlawan kemerdekaan D. Setiabuddhi dan S. Sudjojono, seniman yang terlibat juga sebagai pelukis masa-masa revolusi.
Kurator Mikke Susanto menilai sebagai pelukis yang terlibat langsung untuk merekam sejumlah peristiwa penting pada masa revolusi, Srihadi menciptakan gambar-gambar sketsa dengan garis-garis individual yang kuat. Penggunaan material seperti pensil, arang dan cat air dalam membuat karya-karyanya, menjadi penanda bahwa sang seniman sangat gesit dalam mengabadikan sejumlah peristiwa tersebut.
"Cara menggarisnya ini cepat sekali dan langsung jadi. Cat airnya Pak Srihadi itu tipis banget jadi dia langsung memasukkan bidang kertas itu tidak ada urusan salah atau enggak jadi memang sudah sangat cekatan. Unsur-unsur dalam gambarnya itu tidak termanifestasi sebagai penghias," jelasnya.
Mikke juga berpendapat karya-karya sketsa yang dibuat Srihadi cenderung terlihat sederhana dan apa adanya tetapi mewujudkan kemampuan sang seniman untuk merekam sejumlah peristiwa itu dengan cepat. Misalnya dalam karya sketsa Rapat Umum Bung Tomo Membalas Larang Berbitjara yang menampilkan goresan garis-garis tipis dan cenderung minimalis, tetapi ada volume dan kedalaman yang bisa dirasakan.
"Ketika dia tidak menggambar gedung, dia tidak mencari detailnya bahkan arsir itu muncul hanya untuk sekedar bahwa di sini kotor sehingga goresannya terkesan seperti goresan masa-masa perang," imbuhnya.
Lain halnya dengan karya-karya sketsa potret Srihadi. Mikke mengatakan karya-karya sketsa potret yang dibuat sang seniman cenderung dibuat dalam waktu yang lebih lama dan mulai menitikberatkan presisi dan komposisi dalam gambar-gambarnya.
Baca juga: Merekam Pertempuran dengan Kuas & Kanvas, Mari Berkenalan dengan Para Pelukis Perang di Tanah Air
Editor: Dika Irawan
Dialah Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, atau publik seni mengenalnya dengan nama Srihadi. Seniman kelahiran Surakarta, 4 Desember 1931 ini, mulai gemar menggambar sejak usia dini.
Baca juga: Profil Hendra Gunawan, Seniman Bernyali Perang
Pada masa pendudukan Belanda, dia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, sang perupa telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan maestro lainnya di majalah Djawa Baroe.
Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, seniman kelahiran Surakarta itu ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta.
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1948, dia bergabung menjadi anggota Tentara Pelajar sebagai wartawan pelukis yang bertugas untuk membuat poster-poster untuk Balai Penerangan Divisi IV BKR/TKR/TNI di Solo. Dia juga bertugas meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta pada masa Agresi Militer Belanda.
Pada masa revolusi, Srihadi membuat banyak sketsa di atas kertas yang menggambarkan suasana dan dinamika peristiwa militer antara tentara Belanda dan Indonesia. Gambar-gambarnya berfungsi sebagai dokumentasi sejumlah peristiwa penting yang biasanya dimuat di surat kabar dan media publikasi lainnya, dimana kala itu kehadiran fotografer belum cukup masif.
(Sumber foto: Silvia Galikano )
Di depan mereka, meski tidak memiliki bentuk yang jelas, terlihat kerumunan orang yang menghadiri pertemuan itu. Suasana itu tampak berlatar di sebuah lapangan luas dengan lanskap rumah dan pepohonan di sekitarnya. Pada bagian bawahnya, Srihadi menuliskan judul sketsa tersebut, Rapat Umum Bung Tomo Membalas Larang Berbitjara.
Sketsa lainnya yang monumental yang dibuat oleh Srihadi pada masa revolusi adalah peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa obat-obatan untuk rakyat Indonesia di desa Ngoto, Yogyakarta, pada 1947. Sketsa yang dibuat pada 6 September 1947 itu menampilkan pesawat yang tersungkur dan pada bagian depannya tampak rusak parah.
Berbeda dari sketsa sebelumnya, dalam karyanya ini, Srihadi tampak lebih menunjukkan garis-garis yang jelas dalam menggambar sebongkah pesawat, dengan warna-warna yang lebih menyala. Pesawat Dakota VT-CLA itu ditumpangi Komodor Udara Adi Sucipto dan kawan-kawan militer membawa obat-obatan dari India menuju Yogyakarta.
Seniman Srihadi Soedarsono (Sumber foto: Salihara.org)
Tak hanya peristiwa-peristiwa penting, Srihadi juga menggambar sketsa sejumlah tokoh yang baik secara langsung maupun tidak terlibat dalam kecamuk masa revolusi. Dua sketsa potretnya yang terkenal yakni menampilkan sosok pahlawan kemerdekaan D. Setiabuddhi dan S. Sudjojono, seniman yang terlibat juga sebagai pelukis masa-masa revolusi.
Seniman Gesit
Kurator Mikke Susanto menilai sebagai pelukis yang terlibat langsung untuk merekam sejumlah peristiwa penting pada masa revolusi, Srihadi menciptakan gambar-gambar sketsa dengan garis-garis individual yang kuat. Penggunaan material seperti pensil, arang dan cat air dalam membuat karya-karyanya, menjadi penanda bahwa sang seniman sangat gesit dalam mengabadikan sejumlah peristiwa tersebut."Cara menggarisnya ini cepat sekali dan langsung jadi. Cat airnya Pak Srihadi itu tipis banget jadi dia langsung memasukkan bidang kertas itu tidak ada urusan salah atau enggak jadi memang sudah sangat cekatan. Unsur-unsur dalam gambarnya itu tidak termanifestasi sebagai penghias," jelasnya.
Mikke juga berpendapat karya-karya sketsa yang dibuat Srihadi cenderung terlihat sederhana dan apa adanya tetapi mewujudkan kemampuan sang seniman untuk merekam sejumlah peristiwa itu dengan cepat. Misalnya dalam karya sketsa Rapat Umum Bung Tomo Membalas Larang Berbitjara yang menampilkan goresan garis-garis tipis dan cenderung minimalis, tetapi ada volume dan kedalaman yang bisa dirasakan.
"Ketika dia tidak menggambar gedung, dia tidak mencari detailnya bahkan arsir itu muncul hanya untuk sekedar bahwa di sini kotor sehingga goresannya terkesan seperti goresan masa-masa perang," imbuhnya.
Lain halnya dengan karya-karya sketsa potret Srihadi. Mikke mengatakan karya-karya sketsa potret yang dibuat sang seniman cenderung dibuat dalam waktu yang lebih lama dan mulai menitikberatkan presisi dan komposisi dalam gambar-gambarnya.
Baca juga: Merekam Pertempuran dengan Kuas & Kanvas, Mari Berkenalan dengan Para Pelukis Perang di Tanah Air
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.