Kasus Pelanggaran Kesenian Mulai Didata, Begini Tanggapan Peneliti & Penyintas Seni
07 August 2023 |
16:06 WIB
Situasi kebebasan berekspresi di Indonesia sepertinya masih jauh dari kata ideal. Sebab, lebih dari dua dekade pasca rezim Orde Baru tumbang, kebebasan berkesenian masih menjadi isu pelik hingga hari ini, terutama di kalangan pekerja kreatif.
Isu kebebasan berkesenian memang masih menjadi persoalan. Koalisi Seni mencatat, setidaknya terdapat 33 pelanggaran kebebasan berkesenian baik kelompok atau individu sepanjang 2022. Mereka juga memperkirakan masih ada kasus-kasus lain yang tidak terdata hingga hari.
Baca juga: Koalisi Seni Laporkan 33 Pelanggaran Kebebasan Berkesenian sepanjang 2022, Terbanyak di Sektor Musik
Adapun, menurut laporan tersebut dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban di masyarakat sipil. Mereka di antaranya berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian yang turut bekerja dalam ekosistem seni kreatif.
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya mengatakan, pelanggaran kebebasan berkesenian itu terbanyak terjadi pada bidang seni musik yakni 21 peristiwa. Lalu diikuti tari (11 peristiwa), teater (5 peristiwa). Kemudian seni rupa (4 peristiwa), film (2 peristiwa), dan sastra (1 peristiwa).
Terkait pelanggaran pada bidang seni musik yang tinggi, Ninin begitu biasa dia dipanggil, menduga hal itu terjadi karena geliat acara musik yang terus meningkat usai pandemi berakhir. Akan tetapi, di tengah tingginya antusiasme itu, sebanyak 12 peristiwa pelarangan seni justru dilatarbelakangi adanya stigma di masyarakat.
“Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” paparnya.
Dia menjelaskan dari 12 peristiwa tersebut, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun, 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar. Sayangnya, sejauh ini hampir tidak ada penindakan terhadap para pelaku stigma tersebut.
Total, dari 45 pelaku hanya dua pelaku yang ditindak sebagai individu pelaku kekerasan seksual. Sementara, pelaku lain yang berasal dari pemerintah, termasuk organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak oleh pihak yang berwenang dalam memberi ruang aman bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Ninin mencontohkan stigma mengenai kebebasan berkesenian salah satunya masih terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Yaitu terkait kebijakan daerah di Sumsel yang mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix.
Hal itu tertuang lewat Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00 WIB.
"Namun, ini juga perlu digaris bawahi bahwa stigma di sini tidak hanya berkaitan dengan hal tersebut, melainkan juga bentuk seni yang dianggap 'tidak bermoral' dan seni yang dianggap mendukung kelompok minoritas tertentu," imbuhnya.
Ninin mengingatkan bahwa Indonesia sebenarnya telah meratifikasi UNESCO 2005 Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions. Oleh sebab itu, negara wajib melaporkan kondisi kebebasan berkesenian dalam Laporan Periodik Empat Tahunan.
Sejauh ini dia mengungkap Indonesia telah membuat laporan sebanyak dua kali pada 2016 dan 2020. Namun, pemerintah dalam hal ini tidak memenuhi kewajibannya untuk mencantumkan kondisi kebebasan berkesenian dengan alasan tidak memiliki data tersebut.
Berangkat dari hal itu mereka pun bekerjasama dengan UNESCO untuk membuat sistem pemantauan pada Mei 2023. Yaitu lewat laman kebebasanberkesenian.id. Langkah itu merupakan upaya advokasi dalam mendata pelanggaran atas kebebasan berkesenian serta hak asasi manusia secara umum.
"Jadi ini tidak hanya mencakup pekerja seni saja, agar masyarakat dapat mengakses situasi kebebasan berkesenian secara lebih inklusif. Bila nanti ada pelanggaran akan kami catat dan kami teruskan ke lembaga kasus yang relevan," jelasnya.
Wanggi Hoed, seniman pantomim penyintas asal Bandung mengungkap kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini memang masih cenderung stagnan. "Belum lama ini saya bersama komunitas Reak di Bandung mengalami juga [pelanggaran kebebasan berkesenian]. Namun, akhirnya bisa dirundingkan bersama pihak keamanan," katanya.
Anggota World Mime Organisation ini pun berharap para pekerja seni bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui laman yang dibuat koalisi seni. Pasalnya, bila nantinya ada kejadian terkait pelanggaran kebebasan berkesenian bisa dibantu oleh lembaga hukum di wilayah terkait.
"Berjejaring dan berserikat dengan berbagai lintas disiplin juga penting dilakukan karena nanti akan membentuk ekosistem ini lebih baik kedepannya," jelasnya.
Isu kebebasan berkesenian memang masih menjadi persoalan. Koalisi Seni mencatat, setidaknya terdapat 33 pelanggaran kebebasan berkesenian baik kelompok atau individu sepanjang 2022. Mereka juga memperkirakan masih ada kasus-kasus lain yang tidak terdata hingga hari.
Baca juga: Koalisi Seni Laporkan 33 Pelanggaran Kebebasan Berkesenian sepanjang 2022, Terbanyak di Sektor Musik
Adapun, menurut laporan tersebut dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban di masyarakat sipil. Mereka di antaranya berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian yang turut bekerja dalam ekosistem seni kreatif.
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya mengatakan, pelanggaran kebebasan berkesenian itu terbanyak terjadi pada bidang seni musik yakni 21 peristiwa. Lalu diikuti tari (11 peristiwa), teater (5 peristiwa). Kemudian seni rupa (4 peristiwa), film (2 peristiwa), dan sastra (1 peristiwa).
Terkait pelanggaran pada bidang seni musik yang tinggi, Ninin begitu biasa dia dipanggil, menduga hal itu terjadi karena geliat acara musik yang terus meningkat usai pandemi berakhir. Akan tetapi, di tengah tingginya antusiasme itu, sebanyak 12 peristiwa pelarangan seni justru dilatarbelakangi adanya stigma di masyarakat.
“Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” paparnya.
Tangkapan layar laporan Setop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022.
Dia menjelaskan dari 12 peristiwa tersebut, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun, 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar. Sayangnya, sejauh ini hampir tidak ada penindakan terhadap para pelaku stigma tersebut.
Total, dari 45 pelaku hanya dua pelaku yang ditindak sebagai individu pelaku kekerasan seksual. Sementara, pelaku lain yang berasal dari pemerintah, termasuk organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak oleh pihak yang berwenang dalam memberi ruang aman bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Ninin mencontohkan stigma mengenai kebebasan berkesenian salah satunya masih terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Yaitu terkait kebijakan daerah di Sumsel yang mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix.
Hal itu tertuang lewat Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00 WIB.
"Namun, ini juga perlu digaris bawahi bahwa stigma di sini tidak hanya berkaitan dengan hal tersebut, melainkan juga bentuk seni yang dianggap 'tidak bermoral' dan seni yang dianggap mendukung kelompok minoritas tertentu," imbuhnya.
Pendataan dan Advokasi
Ninin mengingatkan bahwa Indonesia sebenarnya telah meratifikasi UNESCO 2005 Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions. Oleh sebab itu, negara wajib melaporkan kondisi kebebasan berkesenian dalam Laporan Periodik Empat Tahunan.Sejauh ini dia mengungkap Indonesia telah membuat laporan sebanyak dua kali pada 2016 dan 2020. Namun, pemerintah dalam hal ini tidak memenuhi kewajibannya untuk mencantumkan kondisi kebebasan berkesenian dengan alasan tidak memiliki data tersebut.
Berangkat dari hal itu mereka pun bekerjasama dengan UNESCO untuk membuat sistem pemantauan pada Mei 2023. Yaitu lewat laman kebebasanberkesenian.id. Langkah itu merupakan upaya advokasi dalam mendata pelanggaran atas kebebasan berkesenian serta hak asasi manusia secara umum.
"Jadi ini tidak hanya mencakup pekerja seni saja, agar masyarakat dapat mengakses situasi kebebasan berkesenian secara lebih inklusif. Bila nanti ada pelanggaran akan kami catat dan kami teruskan ke lembaga kasus yang relevan," jelasnya.
Wanggi Hoed, seniman pantomim penyintas asal Bandung mengungkap kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini memang masih cenderung stagnan. "Belum lama ini saya bersama komunitas Reak di Bandung mengalami juga [pelanggaran kebebasan berkesenian]. Namun, akhirnya bisa dirundingkan bersama pihak keamanan," katanya.
Anggota World Mime Organisation ini pun berharap para pekerja seni bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui laman yang dibuat koalisi seni. Pasalnya, bila nantinya ada kejadian terkait pelanggaran kebebasan berkesenian bisa dibantu oleh lembaga hukum di wilayah terkait.
"Berjejaring dan berserikat dengan berbagai lintas disiplin juga penting dilakukan karena nanti akan membentuk ekosistem ini lebih baik kedepannya," jelasnya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.