Ruang Kritik dan Batasan: Pelanggaran Terhadap Kebebasan Berkesenian dalam Masyarakat
21 May 2023 |
09:18 WIB
Pelanggaran kebebasan berkesenian yang masih terjadi di Indonesia bukan hanya menghambat seniman berekspresi, tapi juga membatasi akses masyarakat untuk menikmati karya. Karya seni lebih dari sekadar media hiburan, melainkan media pendewasaan seseorang untuk menjadi manusia yang berkualitas.
Ada banyak contoh kasus pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang terjadi di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pembatalan penayangan dua film di bioskop XXI Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 2016 silam.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
Anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Shuri Mariasih Gietty Tambunan mengungkapkan film yang penayangannya dibatalkan itu adalah Jakarta Unfair dan Jihad Selfie. “Lapisannya banyak, yang didiskusikan bisa banyak sekali, ada faktor adminitratif, komunikasi antara semua pihak yang terlibat,” katanya dalam diskusi tentang Kebebasan Berkesenian di Taman Ismail Marzuki.
Pembatalan penayangan kedua film tersebut terjadi dengan berbagai klaim. Setiap pihak ingin menyajikan narasi sendiri yang dimiliki pada saat itu. Peristiwa pembatalan penayangan kedua film itu diangkatnya sebagai contoh dalam diskusi untuk menggambarkan bahwa kebebasan berkesenian adalah permasalahan yang multidimensi.
Masalah kebebasan berkesenian melibatkan banyak faktor, kepentingan, dan juga sangat kontekstual. Salah satu film yang dilarang itu, yakni Jihad Selfie, sebenarnya sudah sempat ditayangkan di Kineforum di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada September 2016. Sementara penayangannya di TIM dijadwalkan pada Desember 2016.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ruang fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kebebasan berkesenian. Kineforum yang sangat membuka pintu terhadap segala bentuk ekspresi seni, terutama film, dengan berbagai topik membuat pemutaran karya itu dapat terjadi.
Sementara bioskop yang berada di TIM pada saat itu merupakan ruang fisik komersial dengan kepentingan bisnis, sehingga sedikit banyak mempengaruhi keputusan pembatalan penayangan. Tidak hanya itu, 2016 juga bertepatan dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
“Jakarta Unfair itu [film] documentary yang berbicara mengenai ketimpangan sosisl di Jakarta. Mungkin sangat kritis terhadap pemerintahan pada saat itu,” katanya. Dia menduga, Jakarta Unfair kemungkinan bisa ditayangkan jika waktu penayangannya adalah pada 2018 atau 2019.
Dengan begitu, maka cara berstrategi membuka ruang aman bagi pelaku seni yang bisa membuat mereka mengekspresikan keseniannya adalah pertanyaan bagi semua pihak pada saat ini. Menurutnya, batasan dalam berkesenian akan selalu ada. Para pelaku seni harus bisa bebas dalam berkesenian mengingat karya yang dihasilkan sangat penting bagi masyarakat selain seniman itu sendiri.
Karya seni adalah sebuah alat yang dapat membuat dan mengajak masyarakat yang menikmatinya untuk berpikir. Dengan begitu, maka seni bisa berpartisipasi dalam membangun kehidupan masyarakat yang toleran, inklusif, sehat, dan sebagainya.
Masyarakat yang bebas menikmati seni dapat memiliki cara berpikir kritis, membuka ruang dialog, dan sebagainya yang selama ini belum ditemui dalam kehidupan mereka.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid menuturkan terdapat beragam dinamika yang terjadi dalam setiap kasus pelanggaran kebebasan berkesenian, seperti sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Di antara dinamika yang ada, semua pihak harus mengingat satu hal yang pasti terkait dengan pelanggaran kebebasan dalam berkesenian, yakni dinamika kekuasaan. Semua pihak harus belajar dari sejarah terkait hal ini.
Dia mencontohkan kondisi kebebasan yang ada di Rusia pada saat ini. Sebelum seperti sekarang, negara yang terkenal dengan sebutan Beruang Merah itu pernah menjadi negara yang memberikan kebebasan terhadap warga negaranya untuk berekspresi. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat di sana lupa dan terlena sampai akhirnya kebebasan itu tidak lagi seperti dahulu.
“Kebebasan artistik adalah suatu kondisi yang diperjuangkan. Dia produk perjuangan,” ujarnya.
Baginya, pemahaman adalah kunci dalam kebebasan berkesenian. Namun, pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat hanya berkembang ketika perjuangan untuk mewujudkan kebebasan berekspresi itu berjalan.
Pada saat ini, berbagai aturan guna menjamin kebebasan setiap individu untuk berekspresi sudah berjalan. Namun, terdapat dinamika di lapangan yang membuat pelaksanaan peraturan itu tidak dapat dijalankan seperti tekanan dari elemen masyarakat tertentu hingga intervensi aparat penegak hukum.
Keberadaan pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian di lapangan terjadi begitu cepat, sehingga tidak ada proses diskusi yang membangun pemahaman bersama tentangnya. Dengan begitu, maka langkah preventif yang membuka ruang diskusi menjadi penting. Literasi mengenai kesenian dan kegiatan kebudayaan secara umum juga perlu dilakukan, sehingga dinamika yang ada bisa diminimalkan.
Pemahaman tentang kebebasan dalam berkesenian yang dimiliki dapat membuat ketidaksukaan atau ketidaksetujuan terhadap kegiatan berkesenian tidak berubah menjadi keinginain untuk mengehentikan orang lain melakukan kegiatan dalam berekspresi.
Individu atau kelompok tertentu yang tidak suka dengan kegiatan ekspresi seseorang dalam berkesenian bisa menyampaikanya melalui kritik. Sepanjang sejarah, ruang kritik kerap dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuannya. Langkah merupakan sesuatu yang biasa di tengah masyarakat.
Ketidaksukaan atau ketidaksetujuan terhadap kegiatan berkesenian yang meningkat menjadi pembatasan merupakan sebuah masalah. Dari kasus-kasus yang ada, pemerintah belajar mengenai pola pelanggaran yang ada dan berharap pada masa yang akan datang jauh lebih efektif dalam melindungi kebebasan artistik.
Kemendikbudristek pada saat ini belum memiliki tim khusus yang menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian. Perlu diingat, pemerintah memiliki satuan tugas untuk melindungi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat yang sering mengalami hambatan kebebasan berkespresi.
Hilmar berwacana untuk membentuk satu tim khusus yang nantinya juga akan melibatkan sejumlah pihak terkait, tidak hanya dari pemerintah tapi juga perwakilan masyarakat dan tentu saja penggiat kesenian.
Dengan kerja sama yang terjalin dengan berbagai pihak yang berkepentingan, harapannya penanganan terhadap pelanggaran kebebasan dalam berkesenian akan jauh lebih efektif lantaran kasus-kasus yang ada dapat didalami dari norma yang ada di masyarakat selain perspektif hukum dan kebijakan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Ada banyak contoh kasus pelanggaran kebebasan dalam berkesenian yang terjadi di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pembatalan penayangan dua film di bioskop XXI Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 2016 silam.
Baca juga: Koalisi Seni Indonesia Bangun Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian
Anggota Komite Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Shuri Mariasih Gietty Tambunan mengungkapkan film yang penayangannya dibatalkan itu adalah Jakarta Unfair dan Jihad Selfie. “Lapisannya banyak, yang didiskusikan bisa banyak sekali, ada faktor adminitratif, komunikasi antara semua pihak yang terlibat,” katanya dalam diskusi tentang Kebebasan Berkesenian di Taman Ismail Marzuki.
Pembatalan penayangan kedua film tersebut terjadi dengan berbagai klaim. Setiap pihak ingin menyajikan narasi sendiri yang dimiliki pada saat itu. Peristiwa pembatalan penayangan kedua film itu diangkatnya sebagai contoh dalam diskusi untuk menggambarkan bahwa kebebasan berkesenian adalah permasalahan yang multidimensi.
Masalah kebebasan berkesenian melibatkan banyak faktor, kepentingan, dan juga sangat kontekstual. Salah satu film yang dilarang itu, yakni Jihad Selfie, sebenarnya sudah sempat ditayangkan di Kineforum di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada September 2016. Sementara penayangannya di TIM dijadwalkan pada Desember 2016.
Poster Jihad Selfie dan Jakarta Unfair. (Sumber foto: IMDb)
Kondisi ini menunjukkan bahwa ruang fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kebebasan berkesenian. Kineforum yang sangat membuka pintu terhadap segala bentuk ekspresi seni, terutama film, dengan berbagai topik membuat pemutaran karya itu dapat terjadi.
Sementara bioskop yang berada di TIM pada saat itu merupakan ruang fisik komersial dengan kepentingan bisnis, sehingga sedikit banyak mempengaruhi keputusan pembatalan penayangan. Tidak hanya itu, 2016 juga bertepatan dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
“Jakarta Unfair itu [film] documentary yang berbicara mengenai ketimpangan sosisl di Jakarta. Mungkin sangat kritis terhadap pemerintahan pada saat itu,” katanya. Dia menduga, Jakarta Unfair kemungkinan bisa ditayangkan jika waktu penayangannya adalah pada 2018 atau 2019.
Dengan begitu, maka cara berstrategi membuka ruang aman bagi pelaku seni yang bisa membuat mereka mengekspresikan keseniannya adalah pertanyaan bagi semua pihak pada saat ini. Menurutnya, batasan dalam berkesenian akan selalu ada. Para pelaku seni harus bisa bebas dalam berkesenian mengingat karya yang dihasilkan sangat penting bagi masyarakat selain seniman itu sendiri.
Karya seni adalah sebuah alat yang dapat membuat dan mengajak masyarakat yang menikmatinya untuk berpikir. Dengan begitu, maka seni bisa berpartisipasi dalam membangun kehidupan masyarakat yang toleran, inklusif, sehat, dan sebagainya.
Masyarakat yang bebas menikmati seni dapat memiliki cara berpikir kritis, membuka ruang dialog, dan sebagainya yang selama ini belum ditemui dalam kehidupan mereka.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid menuturkan terdapat beragam dinamika yang terjadi dalam setiap kasus pelanggaran kebebasan berkesenian, seperti sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Di antara dinamika yang ada, semua pihak harus mengingat satu hal yang pasti terkait dengan pelanggaran kebebasan dalam berkesenian, yakni dinamika kekuasaan. Semua pihak harus belajar dari sejarah terkait hal ini.
Dia mencontohkan kondisi kebebasan yang ada di Rusia pada saat ini. Sebelum seperti sekarang, negara yang terkenal dengan sebutan Beruang Merah itu pernah menjadi negara yang memberikan kebebasan terhadap warga negaranya untuk berekspresi. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat di sana lupa dan terlena sampai akhirnya kebebasan itu tidak lagi seperti dahulu.
“Kebebasan artistik adalah suatu kondisi yang diperjuangkan. Dia produk perjuangan,” ujarnya.
Baginya, pemahaman adalah kunci dalam kebebasan berkesenian. Namun, pemahaman yang dimiliki oleh masyarakat hanya berkembang ketika perjuangan untuk mewujudkan kebebasan berekspresi itu berjalan.
Pada saat ini, berbagai aturan guna menjamin kebebasan setiap individu untuk berekspresi sudah berjalan. Namun, terdapat dinamika di lapangan yang membuat pelaksanaan peraturan itu tidak dapat dijalankan seperti tekanan dari elemen masyarakat tertentu hingga intervensi aparat penegak hukum.
Keberadaan pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian di lapangan terjadi begitu cepat, sehingga tidak ada proses diskusi yang membangun pemahaman bersama tentangnya. Dengan begitu, maka langkah preventif yang membuka ruang diskusi menjadi penting. Literasi mengenai kesenian dan kegiatan kebudayaan secara umum juga perlu dilakukan, sehingga dinamika yang ada bisa diminimalkan.
Pemahaman tentang kebebasan dalam berkesenian yang dimiliki dapat membuat ketidaksukaan atau ketidaksetujuan terhadap kegiatan berkesenian tidak berubah menjadi keinginain untuk mengehentikan orang lain melakukan kegiatan dalam berekspresi.
Individu atau kelompok tertentu yang tidak suka dengan kegiatan ekspresi seseorang dalam berkesenian bisa menyampaikanya melalui kritik. Sepanjang sejarah, ruang kritik kerap dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuannya. Langkah merupakan sesuatu yang biasa di tengah masyarakat.
Ketidaksukaan atau ketidaksetujuan terhadap kegiatan berkesenian yang meningkat menjadi pembatasan merupakan sebuah masalah. Dari kasus-kasus yang ada, pemerintah belajar mengenai pola pelanggaran yang ada dan berharap pada masa yang akan datang jauh lebih efektif dalam melindungi kebebasan artistik.
Kemendikbudristek pada saat ini belum memiliki tim khusus yang menangani kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian. Perlu diingat, pemerintah memiliki satuan tugas untuk melindungi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat yang sering mengalami hambatan kebebasan berkespresi.
Hilmar berwacana untuk membentuk satu tim khusus yang nantinya juga akan melibatkan sejumlah pihak terkait, tidak hanya dari pemerintah tapi juga perwakilan masyarakat dan tentu saja penggiat kesenian.
Dengan kerja sama yang terjalin dengan berbagai pihak yang berkepentingan, harapannya penanganan terhadap pelanggaran kebebasan dalam berkesenian akan jauh lebih efektif lantaran kasus-kasus yang ada dapat didalami dari norma yang ada di masyarakat selain perspektif hukum dan kebijakan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.