Ilustrasi National Museum of Australia (Sumber gambar: Prakash Khanal/Unsplash)

Menengok Kunci Manajemen Proyek Seni di Museum Nasional Australia

25 July 2023   |   06:54 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Setiap museum atau galeri seni pasti memiliki serangkaian program publik yang biasanya dirancang secara rutin. Sebelum membuat suatu proyek atau kegiatan publik, diperlukan riset, koordinasi, dan persiapan yang matang agar acara bisa berjalan dengan baik dan mencapai suatu tujuan atau visi tertentu.

Menurut Manager International and Domestic Engagement National Museum of Australia, Nadya Sinyutina, setidaknya ada enam hal penting yang harus dipersiapkan dengan matang dalam menjalankan suatu proyek seni yang dihelat di museum atau galeri. Itu adalah prioritas, level komitmen, sumber daya manusia dan pendanaan, kepakaran (expertise), ekspektasi, dan risiko.

Keenam hal tersebut merupakan initial project scoping and planning atau ruang lingkup kerja yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan sebuah proyek. Setelah ruang lingkup ini ditentukan, perlu dikelola melalui proses yang dikenal sebagai manajemen ruang lingkup kerja.

"Libatkan stakeholder internal yang potensial dalam merancang konsep sebelum Anda mengumumkan suatu proyek [seni] secara resmi," katanya dalam acara Masterclass bersama National Museum of Australia di Jakarta, Senin (24/7/2023). 

Baca juga: Pameran Walking Through a Songline Ajak Pengunjung Menyelami Kisah Penduduk Asli Australia
 

ff

Manager International and Domestic Engagement National Museum of Australia Nadya Sinyutina dalam acara Masterclass bersama National Museum of Australia di Jakarta, Senin (24/7/2023). (Sumber gambar: Kedubes Australia)

Nadya menjelaskan enam hal itu adalah bagian internal yang harus dipersiapkan dengan matang sebelum sebuah museum atau galeri seni membuat suatu proyek atau program publik. Pertama, pada poin prioritas, pihak museum atau galeri harus menentukan terlebih dahulu audiens mana yang ingin disasar dalam satu program publik, sehingga bisa berfokus untuk membuat kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan mereka.

Kedua, poin level of commitment atau level komitmen berkaitan dengan poin pertama dimana pihak museum atau galeri seni harus bisa merancang kegiatan-kegiatan yang benar-benar sesuai dengan komitmen atau target tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan yang ketiga adalah mempersiapkan tenaga kerja yang benar-benar mumpuni untuk menjalani proyek tersebut, serta pendanaan yang bisa didapatkan dari crowdfunding atau filantropi.

Keempat, dalam menggarap sebuah proyek atau program publik, pihak museum atau galeri seni juga perlu berkolaborasi dengan sejumlah pakar (expertise) yang bisa berkontribusi untuk turu mengembangkan konsep program yang akan dibuat termasuk mengatur jalannya organisasi selama proyek berlangsung.

Kelima, poin ekspektasi (expectations) berkaitan dengan menampung keinginan atau hal yang diharapkan dari para seniman ataupun komunitas yang tergabung dalam sebuah proyek seni, sehingga hal itu menjadi salah satu tujuan yang harus diwujudkan bersama. Di samping itu, hal ini juga bisa memperkuat hubungan museum/galeri seni dengan para kolaborator sehingga tercipta kerja bersama yang berkelanjutan.

"Ketika bekerja dengan komunitas itu bukan mengedepankan suara museum tapi suara komunitas itu sendiri karena mereka menjadi bagian penting dari proyek [seni]," kata Nadya.

Adapun, hal keenam yang penting juga untuk diperhitungkan yakni mengenai kemungkinan sejumlah risiko yang akan muncul selama suatu proyek berlangsung. Dengan mengantisipasi dari awal, baik pihak museum/galeri seni ataupun kolaborator bisa memitigasinya dengan lebih terencana.
 

d

Salah satu seniman yang terlibat dalam proyek kolaboratif Belonging: Stories from Far North Queensland (Sumber gambar: National Museum Australia)

Keseluruhan rancangan kerja pengelolaan proyek seni itu Nadya terapkan salah satunya pada proyek kolaboratif Belonging: Stories from Far North Queensland yang kini tengah berlangsung di National Museum Australia hingga 18 Februari 2024. Proyek ini merupakan serangkaian lokakarya yang dilakukan di sejumlah komunitas seni di Australia.

Diinisiasi oleh Indigenous Art Center Alliance (IACA) sejak 2018, proyek yang telah berlangsung kedua kalinya ini diikuti oleh ratusan seniman yang tergabung dalam sejumlah komunitas seni. Dengan dukungan dari pihak National Museum Australia, mereka dibebaskan untuk berkarya dari tempat tinggal masing-masing dengan berbagai medium mulai dari seni lukis, keramik, hingga fotografi.

Hasilnya, terciptalah sebanyak 400 karya lebih dari 106 seniman yang terlibat. Nantinya, koleksi karya tersebut akan diakuisisi oleh National Museum Australia sebagai koleksi arsip sekaligus sejarah nasional Negeri Kanguru di museum tersebut.

Senior Indigenous Curator at the National Museum of Australia, Shona Coyne, menuturkan bagi pihak museum, cerita-cerita detail dari tiap karya menjadi kelebihan tersendiri dari proyek Belonging. Dia menjelaskan banyak dari ilustrasi karya yang dibuat oleh seniman menampilkan kisah-kisah sejarah tentang kolonialisme yang lebih spesifik di satu wilayah.

Menurutnya, ada semacam bentuk kejujuran dari para seniman yang tertuang dalam narasi mereka yang memaksa audiens untuk membacanya lebih daripada sekadar satu atau dua baris label pameran. Karya dan cerita para seniman, katanya, dengan terang mengungkapkan apa artinya hidup dan hidup bersama negara.

"Sangat jarang untuk melihat masyarakat yang beragam secara geografis dan budaya bersama-sama merefleksikan sesuatu dengan sangat mendalam dan berarti, saling memiliki," katanya. 

Baca juga: 4 Destinasi Liburan Ramah Turis di Australia Barat, dari Perth sampai Rottnest Island

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Intip Alasan Mengapa Perusahaan Perlu Mobile App & Kiat Mengembangkannya

BERIKUTNYA

Resep Chicken Katsu Saus Teriyaki, Sajian yang Pas untuk Sarapan & Bekal Anak Sekolah

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: