Ternyata Ini Alasan Gen Z Gampang Stress pada Masa Awal Karier
13 July 2023 |
16:14 WIB
Indonesia memiliki total 75 juta penduduk di rentang usia Gen Z. Mereka dibesarkan sebagai digital native, di mana hampir 50 persen dari keseharian mereka dihabiskan dengan mengakses dunia maya. Gen Z yang dikategorikan lahir mulai 1997-2012 kini perlahan mulai memasuki dunia kerja.
Gen Z yang lahir pada akhir 1990-an sebagian besar sudah memasuki entry-level di berbagai perusahaan. Memulai karier awal dalam perjalanannya, rupanya Gen Z acap kali merasa stres dan tertekan dalam bekerja. Sebuah survei dari Mercer Marsh Benefits dalam laporan Health on Demand 2023 menyebutkan, Gen Z memiliki kecenderungan untuk mengkhawatirkan tentang apapun yang terjadi dalam waktu dekat.
Baca juga: Stres di Tempat Kerja Enggak Reda-reda, Coba deh Metode Mindfulness & Sedona
Dalam dunia kerja, Gen Z juga memiliki kecenderungan sulit beradaptasi dengan realita kerja. Managing Direcor, Mercer Marsh Benefit Indonesia, Wullan Gallacher mengatakan, Gen Z kerap merasa harus langsung beradaptasi dan mengerti mengenai apa saja yang harus dikerjakan. “Kerja serba cepat dan langsung seperti ini membuat tingkat stressfull mereka meninggi,” katanya.
Salah satu solusi yang bia ditawarkan yakni membuat pengenalan, training, atau program induksi yang menyenangkan sebelum mereka masuk bekerja untuk suatu perusahaan.
Berbicara tentang Gen Z, pengaruh koneksi sosial lewat media sosial rupanya memang memiliki pengaruh yang besar. Bahkan dapat mempengaruhi beberapa keputusan besar mereka. “Mereka khawatir dengan yang terjadi di koneksi sosial mereka, hal sepert lihat postingan teman-temannya travelling atau gaya hidup lainnya. Koneksi dan informasi yang cepat ini pula membawa hal-hal yang bisa membuat mereka memiliki tekanan tertentu,” imbuh Wulan.
Selain faktor tekanan, ketidakcocokan benefit dalam pekerjaan membuat mereka cepat berpindah dari suatu perusahaan. Wullan berpendapat, media sosial cukup mempengaruhi cara Gen Z mengambil keputusan.
“Benefit tidak pas, maka mereka gampang pindah dan mencari kantor baru. Kadang belum sampai satu tahun. Media sosial mempengaruhi keputusan mereka akan suatu hal, padahal mungkin yang ditampakkan temannya di media sosial itu belum tentu sebagaimana realitanya,” sambungnya.
Fleksibelitas waktu dan tempat kerja juga menjadi perhatian yang tak kalah penting. Wullan menyebut, perusahaan harus mampu melakukan komunikasi yang jelas sebelum memberi keputusan membebaskan jam dan tempat kerja. Temuan Mercer Marsh Benesift menyebt terkadang Gen Z merasa tetap tertekan setelah diberi fleksibelitas ini.
"Mereka suka kerja 3-4 hari di waktu dan tempat yang fleksibel tetapi tetap stres. Karena mereka lupa bahwa beban kerjanya kan tetap sama, sementara hari kerja mereka berkurang. Perusahaan harus clear soal aturannya. Jangan sampai flexible working tapi mereka malah burn out,” imbuhnya.
Di sisi lain, sebagian Gen Z juga memiliki tekanan finansial sebagai penopang ekonomi keluarga. Istilah yang dikenal sebagai generation sandwich ini tidak hanya menjadi beban, tetapi juga kekhawatiran Gen Z tentang kesehatan orang tuanya.
Menurut Wullan, ada permintaan menarik dari Gen Z untuk melakukan pengadan screening test Ini dianggap sebagai langkah preventif untuk memprediksi penyakit tertentu, sehingga mereka bisa dengan cepat menyadari suatu penyakit, merubah gaya hidup, sekaligus mengurangi beban pikiran terkait kondisi kesehatan.
Editor: Indyah Sutriningrum
Gen Z yang lahir pada akhir 1990-an sebagian besar sudah memasuki entry-level di berbagai perusahaan. Memulai karier awal dalam perjalanannya, rupanya Gen Z acap kali merasa stres dan tertekan dalam bekerja. Sebuah survei dari Mercer Marsh Benefits dalam laporan Health on Demand 2023 menyebutkan, Gen Z memiliki kecenderungan untuk mengkhawatirkan tentang apapun yang terjadi dalam waktu dekat.
Baca juga: Stres di Tempat Kerja Enggak Reda-reda, Coba deh Metode Mindfulness & Sedona
Dalam dunia kerja, Gen Z juga memiliki kecenderungan sulit beradaptasi dengan realita kerja. Managing Direcor, Mercer Marsh Benefit Indonesia, Wullan Gallacher mengatakan, Gen Z kerap merasa harus langsung beradaptasi dan mengerti mengenai apa saja yang harus dikerjakan. “Kerja serba cepat dan langsung seperti ini membuat tingkat stressfull mereka meninggi,” katanya.
Salah satu solusi yang bia ditawarkan yakni membuat pengenalan, training, atau program induksi yang menyenangkan sebelum mereka masuk bekerja untuk suatu perusahaan.
Berbicara tentang Gen Z, pengaruh koneksi sosial lewat media sosial rupanya memang memiliki pengaruh yang besar. Bahkan dapat mempengaruhi beberapa keputusan besar mereka. “Mereka khawatir dengan yang terjadi di koneksi sosial mereka, hal sepert lihat postingan teman-temannya travelling atau gaya hidup lainnya. Koneksi dan informasi yang cepat ini pula membawa hal-hal yang bisa membuat mereka memiliki tekanan tertentu,” imbuh Wulan.
Selain faktor tekanan, ketidakcocokan benefit dalam pekerjaan membuat mereka cepat berpindah dari suatu perusahaan. Wullan berpendapat, media sosial cukup mempengaruhi cara Gen Z mengambil keputusan.
“Benefit tidak pas, maka mereka gampang pindah dan mencari kantor baru. Kadang belum sampai satu tahun. Media sosial mempengaruhi keputusan mereka akan suatu hal, padahal mungkin yang ditampakkan temannya di media sosial itu belum tentu sebagaimana realitanya,” sambungnya.
Fleksibelitas waktu dan tempat kerja juga menjadi perhatian yang tak kalah penting. Wullan menyebut, perusahaan harus mampu melakukan komunikasi yang jelas sebelum memberi keputusan membebaskan jam dan tempat kerja. Temuan Mercer Marsh Benesift menyebt terkadang Gen Z merasa tetap tertekan setelah diberi fleksibelitas ini.
"Mereka suka kerja 3-4 hari di waktu dan tempat yang fleksibel tetapi tetap stres. Karena mereka lupa bahwa beban kerjanya kan tetap sama, sementara hari kerja mereka berkurang. Perusahaan harus clear soal aturannya. Jangan sampai flexible working tapi mereka malah burn out,” imbuhnya.
Di sisi lain, sebagian Gen Z juga memiliki tekanan finansial sebagai penopang ekonomi keluarga. Istilah yang dikenal sebagai generation sandwich ini tidak hanya menjadi beban, tetapi juga kekhawatiran Gen Z tentang kesehatan orang tuanya.
Menurut Wullan, ada permintaan menarik dari Gen Z untuk melakukan pengadan screening test Ini dianggap sebagai langkah preventif untuk memprediksi penyakit tertentu, sehingga mereka bisa dengan cepat menyadari suatu penyakit, merubah gaya hidup, sekaligus mengurangi beban pikiran terkait kondisi kesehatan.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.