Eksklusif Profil Dwi Sasono: Patung Restorasi Lebur, Penelusuran dan Pemaknaan Kehidupan
02 July 2023 |
12:31 WIB
Nama Dwi Sasono lebih dulu dikenal sebagai aktor kenamaan Indonesia. Karier aktingnya dimulai saat dia berperan sebagai Rizal di film Mendadak Dangdut garapan sutradara Rudi Soedjarwo. Sejak saat itu, namanya kerap menghiasi film-film layar lebar, juga membintangi sejumlah serial web, sinetron, dan film televisi (FTV).
Dwi Sasono lahir di Surabaya, 30 Maret 1980. Berkat dedikasi dan pengabdiannya di dunia seni peran selama hampir dua dekade, Dwi telah masuk sejumlah ajang penghargaan film bergengsi di Tanah Air. Salah satunya ketika meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terpuji Film Bioskop di Festival Film Bandung 2008, lewat perannya dalam film Mengejar Mas Mas.
Melalui akting, dia melihat penggalan identitas dan dimensi kemanusiaan, serta menjadi medium bagi dirinya untuk menghayati potongan-potongan kehidupan orang lain. Lewat peran-peran yang dimainkannya, Dwi sadar akan bagaimana orang menanggapi hidup yang dipaparkan ke depan matanya, termasuk bagaimana orang bereaksi terhadap sebuah situasi.
Di titik terendah hidupnya, Dwi sempat merenung dan bermeditasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang sudah lama terpendam. Tentang siapakah sejatinya dirinya dan apa tujuannya dilahirkan di kehidupan ini. Kerinduannya akan mencari jati diri menariknya pada keindahan patung batu yang tidak lengkap.
Dwi ingin memperindahnya dengan menggabungkan patung batu dengan logam hingga akhirnya menekuni proyek patung restorasi yang dinamakan Lebur. Sejak saat itu, selain sebagai aktor, Dwi juga mengeksplorasi dirinya untuk menjadi seorang seniman yang mempunyai gagasan dan konsep artistik dalam proyek Lebur.
Baca juga: Manifestasi Spiritual Dwi Sasono dalam Proyek Patung Restorasi 'Lebur'
Lebur adalah karya renungan panjang Dwi sekaligus sebuah refleksi kedewasaaanya setelah melalui momen tersulit dalam hidup. Lewat proyek ini, dia menelusuri dan mengolah kembali patung-patung yang rusak melalui perjalanan spiritual dan dorongan artistiknya. Masing-masing penemuannya itu mewakili gagasan tentang kearifan dan kebijaksanaan.
Dengan kata lain, melalui proyek Lebur, Dwi merekonstruksi kelahiran kembali patung-patung tersebut untuk memicu leburan kearifan lama dengan renungan-renungan hari ini, sebagaimana nama proyek restorasi patungnya itu. Baginya, batu bukanlah benda mati melainkan objek hidup dengan gerakan sel-sel dan atom yang relatif pelan, tapi tetap merekam semua kejadian yang diterimanya.
Kepada Hypeabis.id, Dia bercerita panjang lebar mengenai awal mula ketertarikannya untuk menekuni restorasi patung-patung yang tidak sempurna hingga menciptakan proyek Lebur, dan arti dari kegiatannya itu sebagai sebuah manifestasi dari perjalanan spiritualnya dalam menjalani dan memandang hidup. Termasuk, rencananya yang hendak menjadikan Lebur sebagai entitas seni miliknya.
Berikut petikan obrolan kami saat tim Hypeabis.id menemui Dwi Sasono di kediaman pribadinya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Bagaimana kisah awalnya Anda tertarik untuk merestorasi dan menyempurnakan patung-patung yang rusak?
Ketertarikanku ini berawal tahun 2014 ketika aku dan Widi sedang merayakan usia pernikahan kami yang ketujuh di Yogyakarta. Saat kami sedang menikmati suasana perdesaan pinggiran Yogyakarta, kami bertemu dengan seorang bapak yang menawarkan saya untuk membeli patung sapi.
Tapi patung itu tidak lengkap, hanya ada bagian badan dan kaki depan, tidak ada kepala dan ekornya. Saat itu, saya berpikir patung ini bisa menarik untuk ditaruh di pekarangan rumah di Jakarta. Tanpa disadari, sepertinya patung batu sepotong sapi itu menjadi awal ketertarikan saya untuk memperhatikan patung-patung yang tidak lengkap.
Di pekarangan rumah, di dekat patung yang kami beri nama Lembu Andini itu, saya sering bermeditasi, melakukan proses hening untuk menyehatkan diri. Setelah sekitar setahun sejak patung itu dipasang di halaman rumah, saya mulai terinspirasi untuk melengkapi sebuah patung. Bukan dengan pahatan pelengkap batu tapi menatanya dengan bahan yang berbeda.
Saya melihat patung ini bisa lengkap tapi kok sepertinya dengan elemen yang lain, dan saya membayangkannya dengan sesuatu yang berkilau. Dari sinilah konsep tentang Lebur ini mengakar dan tumbuh. Sepertinya akan menarik kalau saya melengkapi patung batu yang potong-potong itu menjadi sebuah patung yang utuh, tapi meleburkan dua elemen dasar.
Kenapa proyek ini dinamakan Lebur?
Lebur bukanlah semata sebuah rangkaian karya patung atau kriya. Bagi saya, Lebur merupakan sebuah perjalanan. Perjalanan meniti diri, menelisik masuk ke relung-relung terdalam menyapa diriku dengan sebuah pertanyaan "siapakah aku? untuk apa aku hidup di dunia ini?".
Nama Lebur ini memang diambil seperti praktiknya meleburkan patung batu dengan logam, sehingga membuat karya yang sudah indah menjadi lebih indah. Saya merasakan bagaimana proses karya ini bukanlah proses membuat, tapi proses peleburan diriku sendiri.
Peleburan kedalaman penghayatan spiritual, penataan mental, dan pengolahan rasa untuk menjadi sebuah karya yang sifatnya fisikal yakni patung batu yang dilengkapi material logam. Patung patah yang disempurnakan dengan logam yang melebur ke dalam bentuk kriyanya.
Baca juga: Eksklusif Sosok Raam Punjabi: Formula Jitu Multivision Merajai Jagat Sinema
Kenapa akhirnya Anda memilih material logam untuk melengkapi patung-patung patah tersebut?
Saya sempat bertanya-tanya kepada beberapa pengrajin untuk tahu bagaimana melengkapi patung-patung patah ini. Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa yang akan lebih artistik jika patung batu ini digabungkan dengan bahan logam.
Lagipula, setelah dicari tahu, logam itu datang dari batu. Oleh sebab itu, batu bisa kok digabungkan dengan logam karena keduanya memiliki asal yang sama. Untuk menggarap ini, saya bekerja sama dengan salah satu pengrajin di Mojokerto. Beliau punya teknik sendiri untuk melengkapi patung batu yang tidak utuh dengan logam.
Untuk menentukan campuran logamnya juga menjadi perjalanan diskusi sendiri. Sampai akhirnya menemukan bahwa kuningan atau campuran kuningan-kuningan bisa menjadi alternatif terbaik untuk digabungkan dengan patung batu.
Dari mana Anda mendapatkan patung-patung rusak itu untuk kemudian disempurnakan kembali?
Kebanyakan patung-patung yang direstorasi di Lebur itu dari ajaran Hindu dan Buddha yang saya beli di beberapa pengrajin dari berbagai daerah. Muntilan, Yogyakarta, Mojokerto, hingga Bali. Saya biasanya beli patung yang memang rusak ketika di tangan pengrajin, dan belum sempat dijual. Biasanya dibiarkan begitu saja menumpuk di studio mereka.
Bagaimana proses restorasi dari patung-patung rusak tersebut hingga menjadi karya yang baru?
Dalam proyek Lebur ini, saya bertugas untuk memilih dan mengkurasi patung-patung yang akan direstorasi, termasuk membuat konsep dan melakukan penyempurnaan pada tahap akhir (finishing). Sementara untuk proses penyempurnaan patung batu dengan material logam sepenuhnya dikerjakan oleh pengrajin.
Dalam prosesnya, saya harus melakukan riset untuk mengidentifikasi patung-patung batu yang tidak sempurna tersebut, untuk menentukan wujud atau bentuk versi utuhnya. Sebab, enggak jarang saya kesulitan untuk mengenali beberapa patung karena bentuknya yang hampir sama antara satu dengan yang lain.
Prosesnya itu dimulai dari pengrajin yang akan melengkapi bagian patung yang hilang terlebih dahulu menggunakan lilin hingga menjadi satu wujud yang utuh. Jika bentuk dan ukurannya sudah sesuai, cetakan lilin tersebut akan dilapisi dengan pasir yang halus. Selanjutnya dilapisi dengan tanah yang kasar. Pada bagian tengahnya, cetakan lilin tersebut dibuat lubang untuk menaruh lelehan logam.
Ketika cairan logam panas dimasukkan, cetakan lilin otomatis akan meleleh sehingga yang tersisa adalah lapisan pasir yang berada di sisi luar. Nantinya, tutup pasir akan dibuka sehingga terbentuklah cetakan patung yang terbuat dari logam.
Untuk merestorasi satu patung, butuh waktu cukup lama mulai dari 3 sampai 6 bulan. Bagi saya, proyek ini bukan pekerjaan yang harus kejar tayang tapi menjadi semacam perjalanan spiritual. Perpaduan antara batu dan logam ini adalah sebuah ikatan meleburnya antara tubuh, jiwa, pikiran, dan spiritual. Itulah lebur.
Baca juga: Eksklusif Sosok Jim Supangkat: Membaca Peta Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham
Sampai saat ini, sudah berapa banyak patung yang direstorasi di proyek Lebur?
Sampai sekarang sepertinya sudah ada sekitar 50 patung yang disempurnakan. Pada awal tahun 2018, saya dan pengrajin menggarap sekitar 13 patung yang saat itu untuk pameran perdana Lebur. Patung-patung itu saya pilih karena seperti punya frekuensi dan vibrasi tersendiri dengan saya.
Saat ini, kami sedang mengerjakan sekitar 20 patung lagi dengan ukuran yang lebih besar dari karya-karya sebelumnya. Salah satunya patung Dewi Sri yang tingginya hampir dua meter.
Apakah Anda sejak lama memang menaruh perhatian atau suka dengan karya-karya patung?
Kalau ditarik ke belakang, saya sebenarnya secara tidak langsung sudah dekat dengan patung-patung. Dulu, bapak saya sering banget ajak saya untuk berkunjung ke candi-candi melihat patung-patung bersejarah Hindu dan Buddha.
Juga sejak kecil saya dan adik saya itu sering menikmati obrolan bapak soal sejarah, Kejawen, pemikiran filsuf-filsuf Jawa sekaligus cerita-cerita wayangnya. Secara tidak langsung, obrolan-obrolan ringan dengan ayah saya itu menjadi dasar pencarian saya mulai dari remaja sampai sekarang.
Sebenarnya, apa makna patung-patung restorasi ini bagi Anda?
Bagi saya, proyek Lebur merupakan hasil penerapan Kitab Sastrajenda dalam konteks yang modern. Melalui panca indera, nalar, dan rasa sejati dilebur menjadi harmonis dan saling melengkapi. Proses melengkapi inilah yang menjadikannya sempurna. Hasilnya tentu bukan hal yang sempurna, namun proses melebur atau memanunggalkan diri inilah bentuk kesempurnaannya.
Sama halnya seperti hidup saya kini yang merupakan sebuah perjalanan spiritual untuk mengekspresikan dan mengejawantahkan lebur diri saya pada karya-karya nyata yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Bentuk karya yang saya lakukan bukan lagi hanya melulu membuat karya belaka, namun menjadi sebuah refleksi atas penghayatan peleburan diri saya.
Apakah Anda akan menjual karya-karya patung restorasi ini?
Saya terbuka bagi siapa saja yang ingin mengadopsi dan membeli karya-karya patung Lebur ini. Patung-patung ini juga sudah dipamerkan di dua pameran di Art Jakarta Gardens tahun 2022 dan di pameran Artina awal tahun ini di Sarinah.
Di pameran itu banyak orang yang lebih ingin tahu tentang cerita di balik patung-patung itu, mereka tertarik. Sudah ada beberapa orang yang tertarik untuk membeli tapi memang harganya belum deal. Tapi yang penting bagi saya proyek patung-patung ini juga bisa turut membantu para pengrajin. Saya tidak terlalu memikirkan soal penjualan karya.
Ke depan, apa rencana Anda untuk mengembangkan proyek Lebur ini?
Ya, ada rencana untuk mengembangkan Lebur ini menjadi sebuah entitas seni. Saya akan buat beberapa karya lain di bawah nama Lebur selain patung, seperti produk parfum khas dengan aroma bebatuan. Saya juga punya keinginan untuk buat galeri Lebur sendiri antara di Bali atau di Yogyakarta. Semoga semua keinginan itu bisa terwujud.
Baca juga: Eksklusif Sosok Fryda Lucyana: Kiat Penyanyi Lawas Menggebrak Industri Musik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dwi Sasono lahir di Surabaya, 30 Maret 1980. Berkat dedikasi dan pengabdiannya di dunia seni peran selama hampir dua dekade, Dwi telah masuk sejumlah ajang penghargaan film bergengsi di Tanah Air. Salah satunya ketika meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terpuji Film Bioskop di Festival Film Bandung 2008, lewat perannya dalam film Mengejar Mas Mas.
Melalui akting, dia melihat penggalan identitas dan dimensi kemanusiaan, serta menjadi medium bagi dirinya untuk menghayati potongan-potongan kehidupan orang lain. Lewat peran-peran yang dimainkannya, Dwi sadar akan bagaimana orang menanggapi hidup yang dipaparkan ke depan matanya, termasuk bagaimana orang bereaksi terhadap sebuah situasi.
Di titik terendah hidupnya, Dwi sempat merenung dan bermeditasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang sudah lama terpendam. Tentang siapakah sejatinya dirinya dan apa tujuannya dilahirkan di kehidupan ini. Kerinduannya akan mencari jati diri menariknya pada keindahan patung batu yang tidak lengkap.
Dwi ingin memperindahnya dengan menggabungkan patung batu dengan logam hingga akhirnya menekuni proyek patung restorasi yang dinamakan Lebur. Sejak saat itu, selain sebagai aktor, Dwi juga mengeksplorasi dirinya untuk menjadi seorang seniman yang mempunyai gagasan dan konsep artistik dalam proyek Lebur.
Baca juga: Manifestasi Spiritual Dwi Sasono dalam Proyek Patung Restorasi 'Lebur'
Aktor Dwi Sasono dengan salah satu patung restorasi dalam proyek Lebur (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Dengan kata lain, melalui proyek Lebur, Dwi merekonstruksi kelahiran kembali patung-patung tersebut untuk memicu leburan kearifan lama dengan renungan-renungan hari ini, sebagaimana nama proyek restorasi patungnya itu. Baginya, batu bukanlah benda mati melainkan objek hidup dengan gerakan sel-sel dan atom yang relatif pelan, tapi tetap merekam semua kejadian yang diterimanya.
Kepada Hypeabis.id, Dia bercerita panjang lebar mengenai awal mula ketertarikannya untuk menekuni restorasi patung-patung yang tidak sempurna hingga menciptakan proyek Lebur, dan arti dari kegiatannya itu sebagai sebuah manifestasi dari perjalanan spiritualnya dalam menjalani dan memandang hidup. Termasuk, rencananya yang hendak menjadikan Lebur sebagai entitas seni miliknya.
Berikut petikan obrolan kami saat tim Hypeabis.id menemui Dwi Sasono di kediaman pribadinya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Bagaimana kisah awalnya Anda tertarik untuk merestorasi dan menyempurnakan patung-patung yang rusak?
Ketertarikanku ini berawal tahun 2014 ketika aku dan Widi sedang merayakan usia pernikahan kami yang ketujuh di Yogyakarta. Saat kami sedang menikmati suasana perdesaan pinggiran Yogyakarta, kami bertemu dengan seorang bapak yang menawarkan saya untuk membeli patung sapi.
Tapi patung itu tidak lengkap, hanya ada bagian badan dan kaki depan, tidak ada kepala dan ekornya. Saat itu, saya berpikir patung ini bisa menarik untuk ditaruh di pekarangan rumah di Jakarta. Tanpa disadari, sepertinya patung batu sepotong sapi itu menjadi awal ketertarikan saya untuk memperhatikan patung-patung yang tidak lengkap.
Di pekarangan rumah, di dekat patung yang kami beri nama Lembu Andini itu, saya sering bermeditasi, melakukan proses hening untuk menyehatkan diri. Setelah sekitar setahun sejak patung itu dipasang di halaman rumah, saya mulai terinspirasi untuk melengkapi sebuah patung. Bukan dengan pahatan pelengkap batu tapi menatanya dengan bahan yang berbeda.
Saya melihat patung ini bisa lengkap tapi kok sepertinya dengan elemen yang lain, dan saya membayangkannya dengan sesuatu yang berkilau. Dari sinilah konsep tentang Lebur ini mengakar dan tumbuh. Sepertinya akan menarik kalau saya melengkapi patung batu yang potong-potong itu menjadi sebuah patung yang utuh, tapi meleburkan dua elemen dasar.
Kenapa proyek ini dinamakan Lebur?
Lebur bukanlah semata sebuah rangkaian karya patung atau kriya. Bagi saya, Lebur merupakan sebuah perjalanan. Perjalanan meniti diri, menelisik masuk ke relung-relung terdalam menyapa diriku dengan sebuah pertanyaan "siapakah aku? untuk apa aku hidup di dunia ini?".
Nama Lebur ini memang diambil seperti praktiknya meleburkan patung batu dengan logam, sehingga membuat karya yang sudah indah menjadi lebih indah. Saya merasakan bagaimana proses karya ini bukanlah proses membuat, tapi proses peleburan diriku sendiri.
Peleburan kedalaman penghayatan spiritual, penataan mental, dan pengolahan rasa untuk menjadi sebuah karya yang sifatnya fisikal yakni patung batu yang dilengkapi material logam. Patung patah yang disempurnakan dengan logam yang melebur ke dalam bentuk kriyanya.
Baca juga: Eksklusif Sosok Raam Punjabi: Formula Jitu Multivision Merajai Jagat Sinema
Salah satu patung restorasi dalam proyek Lebur (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Saya sempat bertanya-tanya kepada beberapa pengrajin untuk tahu bagaimana melengkapi patung-patung patah ini. Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa yang akan lebih artistik jika patung batu ini digabungkan dengan bahan logam.
Lagipula, setelah dicari tahu, logam itu datang dari batu. Oleh sebab itu, batu bisa kok digabungkan dengan logam karena keduanya memiliki asal yang sama. Untuk menggarap ini, saya bekerja sama dengan salah satu pengrajin di Mojokerto. Beliau punya teknik sendiri untuk melengkapi patung batu yang tidak utuh dengan logam.
Untuk menentukan campuran logamnya juga menjadi perjalanan diskusi sendiri. Sampai akhirnya menemukan bahwa kuningan atau campuran kuningan-kuningan bisa menjadi alternatif terbaik untuk digabungkan dengan patung batu.
Dari mana Anda mendapatkan patung-patung rusak itu untuk kemudian disempurnakan kembali?
Kebanyakan patung-patung yang direstorasi di Lebur itu dari ajaran Hindu dan Buddha yang saya beli di beberapa pengrajin dari berbagai daerah. Muntilan, Yogyakarta, Mojokerto, hingga Bali. Saya biasanya beli patung yang memang rusak ketika di tangan pengrajin, dan belum sempat dijual. Biasanya dibiarkan begitu saja menumpuk di studio mereka.
Bagaimana proses restorasi dari patung-patung rusak tersebut hingga menjadi karya yang baru?
Dalam proyek Lebur ini, saya bertugas untuk memilih dan mengkurasi patung-patung yang akan direstorasi, termasuk membuat konsep dan melakukan penyempurnaan pada tahap akhir (finishing). Sementara untuk proses penyempurnaan patung batu dengan material logam sepenuhnya dikerjakan oleh pengrajin.
Dalam prosesnya, saya harus melakukan riset untuk mengidentifikasi patung-patung batu yang tidak sempurna tersebut, untuk menentukan wujud atau bentuk versi utuhnya. Sebab, enggak jarang saya kesulitan untuk mengenali beberapa patung karena bentuknya yang hampir sama antara satu dengan yang lain.
Prosesnya itu dimulai dari pengrajin yang akan melengkapi bagian patung yang hilang terlebih dahulu menggunakan lilin hingga menjadi satu wujud yang utuh. Jika bentuk dan ukurannya sudah sesuai, cetakan lilin tersebut akan dilapisi dengan pasir yang halus. Selanjutnya dilapisi dengan tanah yang kasar. Pada bagian tengahnya, cetakan lilin tersebut dibuat lubang untuk menaruh lelehan logam.
Ketika cairan logam panas dimasukkan, cetakan lilin otomatis akan meleleh sehingga yang tersisa adalah lapisan pasir yang berada di sisi luar. Nantinya, tutup pasir akan dibuka sehingga terbentuklah cetakan patung yang terbuat dari logam.
Untuk merestorasi satu patung, butuh waktu cukup lama mulai dari 3 sampai 6 bulan. Bagi saya, proyek ini bukan pekerjaan yang harus kejar tayang tapi menjadi semacam perjalanan spiritual. Perpaduan antara batu dan logam ini adalah sebuah ikatan meleburnya antara tubuh, jiwa, pikiran, dan spiritual. Itulah lebur.
Baca juga: Eksklusif Sosok Jim Supangkat: Membaca Peta Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham
Aktor Dwi Sasono dengan beberapa patung restorasi dalam proyek Lebur (Sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Sampai sekarang sepertinya sudah ada sekitar 50 patung yang disempurnakan. Pada awal tahun 2018, saya dan pengrajin menggarap sekitar 13 patung yang saat itu untuk pameran perdana Lebur. Patung-patung itu saya pilih karena seperti punya frekuensi dan vibrasi tersendiri dengan saya.
Saat ini, kami sedang mengerjakan sekitar 20 patung lagi dengan ukuran yang lebih besar dari karya-karya sebelumnya. Salah satunya patung Dewi Sri yang tingginya hampir dua meter.
Apakah Anda sejak lama memang menaruh perhatian atau suka dengan karya-karya patung?
Kalau ditarik ke belakang, saya sebenarnya secara tidak langsung sudah dekat dengan patung-patung. Dulu, bapak saya sering banget ajak saya untuk berkunjung ke candi-candi melihat patung-patung bersejarah Hindu dan Buddha.
Juga sejak kecil saya dan adik saya itu sering menikmati obrolan bapak soal sejarah, Kejawen, pemikiran filsuf-filsuf Jawa sekaligus cerita-cerita wayangnya. Secara tidak langsung, obrolan-obrolan ringan dengan ayah saya itu menjadi dasar pencarian saya mulai dari remaja sampai sekarang.
Sebenarnya, apa makna patung-patung restorasi ini bagi Anda?
Bagi saya, proyek Lebur merupakan hasil penerapan Kitab Sastrajenda dalam konteks yang modern. Melalui panca indera, nalar, dan rasa sejati dilebur menjadi harmonis dan saling melengkapi. Proses melengkapi inilah yang menjadikannya sempurna. Hasilnya tentu bukan hal yang sempurna, namun proses melebur atau memanunggalkan diri inilah bentuk kesempurnaannya.
Sama halnya seperti hidup saya kini yang merupakan sebuah perjalanan spiritual untuk mengekspresikan dan mengejawantahkan lebur diri saya pada karya-karya nyata yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Bentuk karya yang saya lakukan bukan lagi hanya melulu membuat karya belaka, namun menjadi sebuah refleksi atas penghayatan peleburan diri saya.
Apakah Anda akan menjual karya-karya patung restorasi ini?
Saya terbuka bagi siapa saja yang ingin mengadopsi dan membeli karya-karya patung Lebur ini. Patung-patung ini juga sudah dipamerkan di dua pameran di Art Jakarta Gardens tahun 2022 dan di pameran Artina awal tahun ini di Sarinah.
Di pameran itu banyak orang yang lebih ingin tahu tentang cerita di balik patung-patung itu, mereka tertarik. Sudah ada beberapa orang yang tertarik untuk membeli tapi memang harganya belum deal. Tapi yang penting bagi saya proyek patung-patung ini juga bisa turut membantu para pengrajin. Saya tidak terlalu memikirkan soal penjualan karya.
Ke depan, apa rencana Anda untuk mengembangkan proyek Lebur ini?
Ya, ada rencana untuk mengembangkan Lebur ini menjadi sebuah entitas seni. Saya akan buat beberapa karya lain di bawah nama Lebur selain patung, seperti produk parfum khas dengan aroma bebatuan. Saya juga punya keinginan untuk buat galeri Lebur sendiri antara di Bali atau di Yogyakarta. Semoga semua keinginan itu bisa terwujud.
Baca juga: Eksklusif Sosok Fryda Lucyana: Kiat Penyanyi Lawas Menggebrak Industri Musik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.