Review Buku Nyanyian Sang Siren, Kisah Jurnalis Menguak Kasus Pembunuhan
27 June 2023 |
16:17 WIB
Dalam mitologi Yunani kuno, ada makhluk bernama Siren yang wujudnya menyerupai wanita cantik dan memiliki ekor seperti ikan. Di tengah lautan yang sunyi dia akan bernyanyi. Suara merdunya mampu memikat dan mengacaukan para awak kapal hingga tersesat, menabrak batuan karang lalu tenggelam.
Namun, dalam novel The Confession of The Sirens atau Nyanyian Sang Siren karya Shichiri Nakayama sama sekali tidak menceritakan hikayat sang putri duyung jahat tersebut. Dalam bukunya, Siren merupakan analogi yang dicetuskan oleh detektif Kudou saat melihat seorang jurnalis bernama Takami.
Baca juga: Warisan Literasi Cormac McCarthy, Novelis di Balik The Road dan No Country for Old Men
Menurutnya, jurnalis layaknya Siren yang memikat para audiens ke dalam pusaran kecurigaan dan prasangka. Terlebih saat itu sedang terjadi kasus penculikan yang berujung pada pembunuhan di sebuah pabrik bekas di wilayah Yotsugi, Jepang. Kasus ini langsung membuat masyarakat setempat heboh dan menebak-nebak siapa pelakunya dan apa motifnya?
Di sisi lain, Takami Asakuran adalah seorang jurnalis wanita yang bekerja untuk program berita Afternoon JAPAN. Tak terima profesinya direndahkan oleh Detektif Kudou, dia bertekad untuk menguak kebenaran terkait kasus tersebut bersama seniornya, Satoya.
Bagi Takami, seorang jurnalis hadir sebagai penunjuk jalan bagi masyarakat yang memerlukan informasi. Namun, kasus tersebut justru membawanya pada kenyataan pahit akan sisi gelap dunia jurnalisme. Takami yang naif pun dihadapkan pada keraguan mengenai apakah pekerjaan yang dijalannya selama ini merupakan hal yang benar?
Shichiri Nakayama sebagai penulis novel The Confession of The Sirens sukses memutar otak pembaca untuk memecahkan teka-teki mengenai siapakah gerangan pelaku kasus pembunuhan di Yotsugi.
Dia juga begitu luwes menghidupkan karakter Takami dan semangatnya yang menggebu-gebu sebagai jurnalis, meskipun sang penulis sekalipun tak pernah berkecimpung dalam dunia pemberitaan.
Selain mengajak pembaca untuk menemukan otak pelaku kriminal di Yotsugi, Nakayama juga menggambarkan seperti apa situasi yang dihadapi awak media dan aparat kepolisian. Serta ketegangan di antara mereka yang menangani kasus tersebut.
Takami dan Satoya juga akan dihadapkan dengan etika saat meliput kasus penculikan dan pembunuhan. Misalnya seperti ketentuan embargo, yakni larangan untuk tidak mempublikasikan berita apapun saat berjalannya proses penyelidikan.
Hal itu dilakukan supaya tidak menimbulkan kebingungan saat proses pencarian pelaku, serta untuk memastikan keselamatan korban penculikan.
Penulis juga memperlihatkan seperti apa pendekatan yang dilakukan kedua jurnalis saat mewawancarai korban, serta bagaimana mereka menguraikan benang merah yang mengaitkan antara korban satu dengan korban lainnya.
Dalam buku ini juga akan menyingkap sisi gelap dunia jurnalisme, di mana kebebasan pers yang selalu digaungkan para awak media sebetulnya tidak banyak membantu dalam mengungkap kebenaran atau meredakan duka yang dialami korban.
Terlebih ketika ada kepentingan pihak-pihak yang bermain di dalamnya. Realita dari siaran komersial yang memperhatikan rating dan sponsor, akhirnya membuat program berita mempertontonkan duka para korban sebagai hiburan.
Seperti kata Satoya pada Takami, “Bau busuk yang hanya dihasilkan oleh mayat, pemandangan yang mengerikan, dan pekerjaan yang tak bisa diselesaikan. Kalau kau tak tahu kenyataan seperti itu, semua liputan yang kau lakukan hanya akan jadi kebohongan belaka,”
Baca juga: Ulasan Novel The Black Cat & Other Stories, Kisah Kucing Hitam Misterius Penuh Teka-teki
Novel ini terbagi ke dalam lima babak, di antaranya Berita Penculikan, Pencabutan Persetujuan, Kekeliruan Informasi Fatal, Pembersihan, dan Pengakuan yang menjadi penutup kisahnya. Masing-masing babak mampu membawa pembaca menyelami ceritanya, seperti pesona siren yang mampu menghipnotis manusia.
Editora: Fajar Sidik
Namun, dalam novel The Confession of The Sirens atau Nyanyian Sang Siren karya Shichiri Nakayama sama sekali tidak menceritakan hikayat sang putri duyung jahat tersebut. Dalam bukunya, Siren merupakan analogi yang dicetuskan oleh detektif Kudou saat melihat seorang jurnalis bernama Takami.
Baca juga: Warisan Literasi Cormac McCarthy, Novelis di Balik The Road dan No Country for Old Men
Menurutnya, jurnalis layaknya Siren yang memikat para audiens ke dalam pusaran kecurigaan dan prasangka. Terlebih saat itu sedang terjadi kasus penculikan yang berujung pada pembunuhan di sebuah pabrik bekas di wilayah Yotsugi, Jepang. Kasus ini langsung membuat masyarakat setempat heboh dan menebak-nebak siapa pelakunya dan apa motifnya?
Di sisi lain, Takami Asakuran adalah seorang jurnalis wanita yang bekerja untuk program berita Afternoon JAPAN. Tak terima profesinya direndahkan oleh Detektif Kudou, dia bertekad untuk menguak kebenaran terkait kasus tersebut bersama seniornya, Satoya.
Bagi Takami, seorang jurnalis hadir sebagai penunjuk jalan bagi masyarakat yang memerlukan informasi. Namun, kasus tersebut justru membawanya pada kenyataan pahit akan sisi gelap dunia jurnalisme. Takami yang naif pun dihadapkan pada keraguan mengenai apakah pekerjaan yang dijalannya selama ini merupakan hal yang benar?
Shichiri Nakayama sebagai penulis novel The Confession of The Sirens sukses memutar otak pembaca untuk memecahkan teka-teki mengenai siapakah gerangan pelaku kasus pembunuhan di Yotsugi.
Dia juga begitu luwes menghidupkan karakter Takami dan semangatnya yang menggebu-gebu sebagai jurnalis, meskipun sang penulis sekalipun tak pernah berkecimpung dalam dunia pemberitaan.
Selain mengajak pembaca untuk menemukan otak pelaku kriminal di Yotsugi, Nakayama juga menggambarkan seperti apa situasi yang dihadapi awak media dan aparat kepolisian. Serta ketegangan di antara mereka yang menangani kasus tersebut.
Takami dan Satoya juga akan dihadapkan dengan etika saat meliput kasus penculikan dan pembunuhan. Misalnya seperti ketentuan embargo, yakni larangan untuk tidak mempublikasikan berita apapun saat berjalannya proses penyelidikan.
Hal itu dilakukan supaya tidak menimbulkan kebingungan saat proses pencarian pelaku, serta untuk memastikan keselamatan korban penculikan.
Penulis juga memperlihatkan seperti apa pendekatan yang dilakukan kedua jurnalis saat mewawancarai korban, serta bagaimana mereka menguraikan benang merah yang mengaitkan antara korban satu dengan korban lainnya.
Dalam buku ini juga akan menyingkap sisi gelap dunia jurnalisme, di mana kebebasan pers yang selalu digaungkan para awak media sebetulnya tidak banyak membantu dalam mengungkap kebenaran atau meredakan duka yang dialami korban.
Terlebih ketika ada kepentingan pihak-pihak yang bermain di dalamnya. Realita dari siaran komersial yang memperhatikan rating dan sponsor, akhirnya membuat program berita mempertontonkan duka para korban sebagai hiburan.
Seperti kata Satoya pada Takami, “Bau busuk yang hanya dihasilkan oleh mayat, pemandangan yang mengerikan, dan pekerjaan yang tak bisa diselesaikan. Kalau kau tak tahu kenyataan seperti itu, semua liputan yang kau lakukan hanya akan jadi kebohongan belaka,”
Baca juga: Ulasan Novel The Black Cat & Other Stories, Kisah Kucing Hitam Misterius Penuh Teka-teki
Novel ini terbagi ke dalam lima babak, di antaranya Berita Penculikan, Pencabutan Persetujuan, Kekeliruan Informasi Fatal, Pembersihan, dan Pengakuan yang menjadi penutup kisahnya. Masing-masing babak mampu membawa pembaca menyelami ceritanya, seperti pesona siren yang mampu menghipnotis manusia.
Editora: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.