Eksklusif Profil Jim Supangkat: Membaca Peta Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham
22 June 2023 |
13:00 WIB
Dalam lanskap seni rupa Indonesia dan Asia Tenggara, nama Jim Supangkat bukanlah kaleng-kaleng. Seniman yang beralih profesi sebagai kurator ini memang dikenal sebagai salah satu penggerak Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang memengaruhi geliat seni rupa modern di Indonesia.
Lelaki berdarah Klaten-Indramayu tapi lahir di Makassar pada 2 Mei 1948 ini juga dikenal sebagai pelopor kurator independen di Tanah Air. Selain itu, melalui dirinyalah kemudian banyak seniman Indonesia yang dikenal, bukan hanya di panggung lokal melainkan harum di kancah Internasional.
GSRB memang menjadi salah satu titik tolok gerakan seni rupa avant garde Indonesia sejak dia bersama perupa lain memulai pameran pada 2-7 Agustus 1975 di Jakarta Biennale, Taman Ismail Marzuki. Dari sinilah, perlahan tanda-tanda kesenian Indonesia kontemporer muncul ke permukaan hingga seperti yang kita kenal sekarang.
Baca juga: Eksklusif Raam Punjabi: Formula Jitu Multivision Merajai Jagat Sinema
Sempat aktif sebagai wartawan di majalah Aktuil, Zaman, hingga Tempo, tapi sepertinya renjana Jim memang menjadi kurator dan kritikus seni. Bersama Sanento Yuliman, Jim banyak menulis dan mengkurasi seni rupa di Indonesia baik dari segi wacana dan praktik.
Kini, di usianya yang senja, Jim kembali membuat gebrakan wacana. Penerima penghargaan Prince Claus Award itu kembali mengkritisi gerakan seni rupa global yang menurutnya tidak adil. Melalui bukunya Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham, dia melawan arus wacana terhadap hegemoni dunia Barat dalam bingkai seni rupa.
Lantas, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh kurator gaek ini dalam bukunya? Bagaimana dia melihat perkembangan seni rupa dunia dan posisi Indonesia saat ini? Ditemui Hypeabis.id dalam diskusi Setelah Empat Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia Lantas Apa? Berikut obrolan kami.
Setelah empat dekade perjalanan seni rupa kontemporer yang Anda maksud dengan gagal paham persoalan seni rupa ini?
Persoalan gagal paham ini dalam konteksnya bukan kita. Sebetulnya Barat yang gagal memahami seni rupa dunia karena mengabaikan perkembangan di luar dunia Barat. Eropa dan Amerika itu kan kecil. Kalau kita bayangkan bekas jajahan imperium itu kan mayoritas bekas koloni.
Jadi, ini sebetulnya hegemoni [seni rupa] dunia Barat mau nggak mau. Itu standar [estetika] ketentuannya mereka dan negara yang lain harus ikut. Aspirasinya dari bentangan seni rupa wilayah lain tidak pernah didengarkan.
Saat diskusi, ada peserta yang mengatakan bahwa jika kita melawan hegemoni tersebut maka akan dicap atau menjadi 'anak haram'. Bagaimana respon Anda menanggapi hal ini?
Ya memang di dalam artian bisa dibilang begitu, tapi saya nggak mau disebut anak haram. Dunia ini bukan semua punya kamu [dunia barat], kita juga punya andil dalam pengembangan [sejarah] seni rupa dunia seperti yang kita kenal seperti sekarang.
Bisa dijelaskan pesan seperti apa yang ingin disampaikan dari buku yang Anda tulis ini?
Sebetulnya melalui buku ini supaya wacana sejarah seni rupa kita [bisa] masuk dan dikenal global. Ini bukan kita berbuat apa, tapi saya menggugat dunia internasional. Buku ini bahkan sudah diminta oleh Elbert University untuk diterjemahkan dan disebarkan ke seluruh dunia, jadi kita tunggu saja gaung dari buku ini.
Dalam buku Anda menulis 75 ayat terkait seni. Apakah itu sebagai pintu masuk agar generasi muda dapat lebih mudah memahami buku yang ditulis?
Iya benar itu salah satunya karena memang usul dari buku seni rupa sebagai penerbit. Selain itu, saya pikir seniman di Indonesia memang harus mampu keluar dari zona nyaman. Harus mempercayai diri sendiri. Intinya adalah be yourself, jangan memiliki angan-angan begini-begitu tapi tidak jujur. Kalau dalam orientasinya sudah tidak jujur kemudian karyanya seperti apa.
Anda menyinggung soal Nasirun perupa Indonesia yang terkenal pada dekade-90an akibat 'bom seni rupa'. Namun di dunia internasional dia kurang begitu populer, apa faktornya?
Tradisional. Kita enggak bisa berdebat dengan mereka [ekosistem seni rupa barat]. Sehingga tidak ada tuh peluang [untuk masuk ke pasar internasional]. Itulah kondisi dominasi dari dunia Barat terhadap lanskap seni rupa wilayah lain.
Jadi, memang saya melihat ada sejumlah seniman yang menurut kita ngetop, tapi saat dibawa ke forum internasional gaungnya berkurang. Beberapa kurator mungkin berpikir mereka sesuai dengan image mereka [dunia Barat], gitu kan. Namun, orang di sana kan pedulinya hanya dengan 'format' yang mereka bilang benar sendiri.
Format yang Anda maksud benar itu seperti apa?
Ini yang saya maksud dengan ketentuan-ketentuan image umum tentang seni rupa kontemporer. Misalnya instalasi. Saat seseorang melihat lukisan, wah udah kuno nih. Jadi ada ketentuan-ketentuan yang ditentukan oleh image mereka tentang art.
Namun dalam hal ini sang perupa atau yang melukis tidak dianggap. Jadi, ada standar-standar keindahan yang mereka paksa. Kasarnya begitu.
Apa yang menjadikan hegemoni seni rupa itu akhirnya merujuk ke dunia Barat?
Ada banyak indikasinya, tadi sudah saya sebut. Memang ada banyak faktor yang tidak, misalnya mengenai pendidikan sejarah seni rupa kita buruk. Kalau dirunut ini kan menjadi salah satu penyebabnya. Lalu, akses mengenai buku bacaan di Indonesia dipersulit. Artinya untuk mendapat buku-buku [seni rupa] itu susah. Mulai dari distributornya yang tidak mengerti alur, dan yang lain.
Oleh karena itu, mungkin kegagalannya disebabkan infrastruktur [seni] kita jelek. Tapi saya ingin menunjukan bahwa meskipun infrastruktur di Indonesia jelek, kita kan juga punya sejarah dan potensi. Artinya bahwa ekosistem seperti galeri seni, pasar, auction, institusi formal itu masih jauh banget.
Namun, saya bisa mengerti bahwa seni rupa memang belum memiliki kontribusi berarti terhadap perkembangan di negara kita. Dalam artian ketika saya dikasih uang Rp1 Triliun saya mungkin juga tidak akan setuju. Sebab, apa yang bisa saya buat untuk Indonesia? Nah kalau itu dalam bentuk penelitian itu memungkinkan, tapi kan ini belum terjadi.
Dari wacana yang sudah Anda lakukan sejak 1975 dengan Gerakan seni Rupa Baru, apa sebenarnya yang bisa menjadi solusi agar seni rupa Indonesia dibaca dalam konteks global?
Ya macam-macam. Saya berada juga di forum internasional, saya meneliti jurnal, menulis di luar. Sementara sekarang tulisan saya terbanyak dari orang Indonesia di forum internasional. Ya usaha aja. Dalam hal ini saya dan kurator lain juga berhubungan dengan orang-orang yang saya bahas seperti mengikuti forum internasional.
Format seperti apa yang dibutuhkan?
Seluruh setting itu [infrastruktur seni] menurut saya kurang dalam menjejakkan posisi kita dalam percaturan seni rupa dunia. Termasuk kurangnya informasi di Indonesia. Saya bisa mengerti mengenai kolektor yang tidak bisa setiap hari memikirkan hal itu. Berbeda dengan saya karena ini pekerjaan saya, dengan mengumpulkan berbagai buku dan lain sebagainya atas inisiatif sendiri. Ini bukan preseden, ini bisa berlaku untuk semua orang.
Setelah empat dekade seni rupa Indonesia kontemporer bagaimana Anda melihat perkembangannya saat ini?
Mengenai seni atau art itu sudah populer ya sudah modern di zaman sekarang. Kemudian banyak event pameran seni internasional. Dan itu memang harus berjalan, karena sama seperti seni rupa modern berkembang juga. Namun, menurut saya Indonesia mengambil tradisi yang tidak sepenuhnya hadir [dalam percaturan seni rupa Barat].
Jadi misalnya ya tadi, ada seniman yang kita anggap besar di Indonesia tapi tidak dianggap di dunia internasional. Ini kan kejanggalan, ini karena forum itu [kurator internasional]. Oleh karena itu ada ketidakadilan di forum tersebut, ini yang coba saya wacanakan dalam buku saya.
Baca juga: Eksklusif Fryda Lucyana: Kiat Penyanyi Lawas Menggebrak Industri Musik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Lelaki berdarah Klaten-Indramayu tapi lahir di Makassar pada 2 Mei 1948 ini juga dikenal sebagai pelopor kurator independen di Tanah Air. Selain itu, melalui dirinyalah kemudian banyak seniman Indonesia yang dikenal, bukan hanya di panggung lokal melainkan harum di kancah Internasional.
GSRB memang menjadi salah satu titik tolok gerakan seni rupa avant garde Indonesia sejak dia bersama perupa lain memulai pameran pada 2-7 Agustus 1975 di Jakarta Biennale, Taman Ismail Marzuki. Dari sinilah, perlahan tanda-tanda kesenian Indonesia kontemporer muncul ke permukaan hingga seperti yang kita kenal sekarang.
Baca juga: Eksklusif Raam Punjabi: Formula Jitu Multivision Merajai Jagat Sinema
Sempat aktif sebagai wartawan di majalah Aktuil, Zaman, hingga Tempo, tapi sepertinya renjana Jim memang menjadi kurator dan kritikus seni. Bersama Sanento Yuliman, Jim banyak menulis dan mengkurasi seni rupa di Indonesia baik dari segi wacana dan praktik.
Kini, di usianya yang senja, Jim kembali membuat gebrakan wacana. Penerima penghargaan Prince Claus Award itu kembali mengkritisi gerakan seni rupa global yang menurutnya tidak adil. Melalui bukunya Seni Rupa Dunia Setelah Satu Abad Gagal Paham, dia melawan arus wacana terhadap hegemoni dunia Barat dalam bingkai seni rupa.
Lantas, apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh kurator gaek ini dalam bukunya? Bagaimana dia melihat perkembangan seni rupa dunia dan posisi Indonesia saat ini? Ditemui Hypeabis.id dalam diskusi Setelah Empat Dasawarsa Seni Rupa Kontemporer Indonesia Lantas Apa? Berikut obrolan kami.
Setelah empat dekade perjalanan seni rupa kontemporer yang Anda maksud dengan gagal paham persoalan seni rupa ini?
Persoalan gagal paham ini dalam konteksnya bukan kita. Sebetulnya Barat yang gagal memahami seni rupa dunia karena mengabaikan perkembangan di luar dunia Barat. Eropa dan Amerika itu kan kecil. Kalau kita bayangkan bekas jajahan imperium itu kan mayoritas bekas koloni.
Jadi, ini sebetulnya hegemoni [seni rupa] dunia Barat mau nggak mau. Itu standar [estetika] ketentuannya mereka dan negara yang lain harus ikut. Aspirasinya dari bentangan seni rupa wilayah lain tidak pernah didengarkan.
Saat diskusi, ada peserta yang mengatakan bahwa jika kita melawan hegemoni tersebut maka akan dicap atau menjadi 'anak haram'. Bagaimana respon Anda menanggapi hal ini?
Ya memang di dalam artian bisa dibilang begitu, tapi saya nggak mau disebut anak haram. Dunia ini bukan semua punya kamu [dunia barat], kita juga punya andil dalam pengembangan [sejarah] seni rupa dunia seperti yang kita kenal seperti sekarang.
Bisa dijelaskan pesan seperti apa yang ingin disampaikan dari buku yang Anda tulis ini?
Sebetulnya melalui buku ini supaya wacana sejarah seni rupa kita [bisa] masuk dan dikenal global. Ini bukan kita berbuat apa, tapi saya menggugat dunia internasional. Buku ini bahkan sudah diminta oleh Elbert University untuk diterjemahkan dan disebarkan ke seluruh dunia, jadi kita tunggu saja gaung dari buku ini.
Dalam buku Anda menulis 75 ayat terkait seni. Apakah itu sebagai pintu masuk agar generasi muda dapat lebih mudah memahami buku yang ditulis?
Iya benar itu salah satunya karena memang usul dari buku seni rupa sebagai penerbit. Selain itu, saya pikir seniman di Indonesia memang harus mampu keluar dari zona nyaman. Harus mempercayai diri sendiri. Intinya adalah be yourself, jangan memiliki angan-angan begini-begitu tapi tidak jujur. Kalau dalam orientasinya sudah tidak jujur kemudian karyanya seperti apa.
Jim Supangkat (sumber gambar Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya)
Tradisional. Kita enggak bisa berdebat dengan mereka [ekosistem seni rupa barat]. Sehingga tidak ada tuh peluang [untuk masuk ke pasar internasional]. Itulah kondisi dominasi dari dunia Barat terhadap lanskap seni rupa wilayah lain.
Jadi, memang saya melihat ada sejumlah seniman yang menurut kita ngetop, tapi saat dibawa ke forum internasional gaungnya berkurang. Beberapa kurator mungkin berpikir mereka sesuai dengan image mereka [dunia Barat], gitu kan. Namun, orang di sana kan pedulinya hanya dengan 'format' yang mereka bilang benar sendiri.
Format yang Anda maksud benar itu seperti apa?
Ini yang saya maksud dengan ketentuan-ketentuan image umum tentang seni rupa kontemporer. Misalnya instalasi. Saat seseorang melihat lukisan, wah udah kuno nih. Jadi ada ketentuan-ketentuan yang ditentukan oleh image mereka tentang art.
Namun dalam hal ini sang perupa atau yang melukis tidak dianggap. Jadi, ada standar-standar keindahan yang mereka paksa. Kasarnya begitu.
Apa yang menjadikan hegemoni seni rupa itu akhirnya merujuk ke dunia Barat?
Ada banyak indikasinya, tadi sudah saya sebut. Memang ada banyak faktor yang tidak, misalnya mengenai pendidikan sejarah seni rupa kita buruk. Kalau dirunut ini kan menjadi salah satu penyebabnya. Lalu, akses mengenai buku bacaan di Indonesia dipersulit. Artinya untuk mendapat buku-buku [seni rupa] itu susah. Mulai dari distributornya yang tidak mengerti alur, dan yang lain.
Oleh karena itu, mungkin kegagalannya disebabkan infrastruktur [seni] kita jelek. Tapi saya ingin menunjukan bahwa meskipun infrastruktur di Indonesia jelek, kita kan juga punya sejarah dan potensi. Artinya bahwa ekosistem seperti galeri seni, pasar, auction, institusi formal itu masih jauh banget.
Namun, saya bisa mengerti bahwa seni rupa memang belum memiliki kontribusi berarti terhadap perkembangan di negara kita. Dalam artian ketika saya dikasih uang Rp1 Triliun saya mungkin juga tidak akan setuju. Sebab, apa yang bisa saya buat untuk Indonesia? Nah kalau itu dalam bentuk penelitian itu memungkinkan, tapi kan ini belum terjadi.
Dari wacana yang sudah Anda lakukan sejak 1975 dengan Gerakan seni Rupa Baru, apa sebenarnya yang bisa menjadi solusi agar seni rupa Indonesia dibaca dalam konteks global?
Ya macam-macam. Saya berada juga di forum internasional, saya meneliti jurnal, menulis di luar. Sementara sekarang tulisan saya terbanyak dari orang Indonesia di forum internasional. Ya usaha aja. Dalam hal ini saya dan kurator lain juga berhubungan dengan orang-orang yang saya bahas seperti mengikuti forum internasional.
Format seperti apa yang dibutuhkan?
Seluruh setting itu [infrastruktur seni] menurut saya kurang dalam menjejakkan posisi kita dalam percaturan seni rupa dunia. Termasuk kurangnya informasi di Indonesia. Saya bisa mengerti mengenai kolektor yang tidak bisa setiap hari memikirkan hal itu. Berbeda dengan saya karena ini pekerjaan saya, dengan mengumpulkan berbagai buku dan lain sebagainya atas inisiatif sendiri. Ini bukan preseden, ini bisa berlaku untuk semua orang.
Setelah empat dekade seni rupa Indonesia kontemporer bagaimana Anda melihat perkembangannya saat ini?
Mengenai seni atau art itu sudah populer ya sudah modern di zaman sekarang. Kemudian banyak event pameran seni internasional. Dan itu memang harus berjalan, karena sama seperti seni rupa modern berkembang juga. Namun, menurut saya Indonesia mengambil tradisi yang tidak sepenuhnya hadir [dalam percaturan seni rupa Barat].
Jadi misalnya ya tadi, ada seniman yang kita anggap besar di Indonesia tapi tidak dianggap di dunia internasional. Ini kan kejanggalan, ini karena forum itu [kurator internasional]. Oleh karena itu ada ketidakadilan di forum tersebut, ini yang coba saya wacanakan dalam buku saya.
Baca juga: Eksklusif Fryda Lucyana: Kiat Penyanyi Lawas Menggebrak Industri Musik
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.