Salah satu ruang pamer di Lokananta. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Melihat dari Dekat Lokananta Baru, Titik Nol Musik Indonesia

05 June 2023   |   19:00 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Like
Sejarah baru tercipta di Kota Solo, Jawa Tengah. Sebuah pabrik piringan hitam baru saja dibuka. Tepatnya di kompleks Purwosari daerah Kreten. Di gedung utama pada area pabrik tersebut terdapat tulisan RRI, sedangkan di bawahnya memanjang nama Lokananta. 

Demikian laporan sebuah majalah tentang dibukanya Lokananta pada 29 Oktober 1956. Berita ini merupakan bagian dari arsip yang dipamerkan di galeri Lokananta, Solo, Jawa Tengah. 

Pameran tersebut menandai kelahiran kembali Lokananta, setelah direvitalisasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara lewat PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPT). Revitalisasi dimulai dari November 2022 dan rampung dalam waktu 6 bulan. Untuk memperbaiki wajah Lokananta, pengelola menunjuk arsitek Andra Matin.

Baca juga: Wajah Baru Lokananta, Titik Nol Musik Indonesia Kembali Menyala

Hypeabis.id  berkesempatan mengunjungi Lokananta baru, pada 5-6 Juni. Kunjungan ini atas undangan PT PPA terkait peresmian revitalisasi perusahaan rekaman studio pertama di Indonesia tersebut.

Dari Jalan A. Yani, Purwosari, Laweyan, wajah baru Lokananta sudah terlihat. Dia tampil seperti baru didirikan pada 1956. Gedung utama Lokananta itu dicat putih gading. Sebelumnya, facade gedung itu sempat dicat kuning dan krem.  

Revitalisasi ini tak mengubah secara drastis muka gedung tersebut. Mengingat Lokananta merupakan cagar budaya, sehingga keasliannya perlu dijaga.

 

Lokananta sebelum direvitalisasi (Sumber foto: Bisnis/M Faisal Nur Ikhsan)

Lokananta sebelum direvitalisasi (Sumber foto: Bisnis/M Faisal Nur Ikhsan)

Lokananta setelah direvitalisasi (Sumber foto: Hypeabis.id)

Lokananta setelah direvitalisasi (Sumber foto: Hypeabis.id)

Gedung utama ini berfungsi sebagai galeri atau museum, yang memajang arsip-arsip dan berbagai perangkat audio lawas. Dalam wajah barunya, fungsi tersebut ditingkatkan. Beragam koleksi Lokananta dipamerkan di beberapa ruang. Total ada sembilan area ruang pamer, yaitu ruang Linimasa, Gamelan, Diskografi, Bengawansolo, Anekanada, Proklamasi, Remastered, Pustaka, dan Toko. 

Untuk mengakses ruang pamer, pengunjung harus memasuki lewat pintu utama. Setelah masuk, akan disambut oleh courtyard dan kolam air infiniti berbentuk persegi panjang. Kolam ini merupakan bagian dari revitalisasi. Sebelumnya, kolam berada di tengah courtyard, dengan bentuk bundar. 

 

Area dalam sebelum direvitalisasi (Sumber foto: Google Maps/Lokananta)

Area dalam sebelum direvitalisasi (Sumber foto: Google Maps/Lokananta)

Seteah direvitalisasi (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Seteah direvitalisasi (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Di antara ruang pamer tersebut, Hypeabis.id merekomendasikan area linimasa, anekanada, dan Bengawansolo untuk disambangi. Sebab ketiga ruang itu, pengunjung dapat menyaksikan betapa megahnya Lokananta pada masa lalu. 

Diawali dari ruang Linimasa. Di dalam ruang ini, tersaji linimasa perjalanan Lokananta, dari sekadar wacana hingga terlaksana. Hal yang membuat ruang pamer ini menarik adalah, kita disuguhkan arsip-arsip dan foto-foto tentang Lokananta. 

Baca juga: Dibuat seperti M Bloc, Ini 4 Hal Menarik di Lokananta Baru

Pengunjung bisa melihat catatan R. Maladi terkait inisiasinya mendirikan Lokananta. Tidak sekadar benda, pengunjung juga disajikan informasi perjalanan Lokananta dari 1950-an hingga 2000-an. 
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Masih di ruang sama, pengunjung dapat menyaksikan koleksi piringan hitam, alat pemutar, dan microphone. Alat-alat itu biasa digunakan untuk aktivitas rekaman pada masa lalu. Berada di ruang ini membawa kita pada masa-masa kejayaan Lokananta, sebagai perusahaan rekaman di Indonesia. 

Bila di ruang linimasa pengunjung lebih banyak disuguhkan arsip dokumen, foto, dan perlengkapan musik, maka di ruang Bengawansolo pengunjung disajikan perangkat rekaman Lokananta pada masa lalu. 

Ada Gramophone His Master’s Voice keluaran 1940. Mesin gramofon buatan Inggris ini digunakan untuk memutar piringan hitam shellac 78 RPM. Mesin ini dapat digunakan tanpa listrik. Cukup memutar tuas di bagian samping. Pada masanya, Lokananta memanfaatkan alat ini untuk menguji coba piringan hitam shellac yang diproduksi selama 1960-an. 
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Gramophone His Master’s Voice (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Kemudian ada pula mixer Altec 1220 Mono Mixing Console bertahun 1970. Perangkat ini banyak digunakan oleh Lokananta saat masih merekam di studio kecil pada era 1970-an. Mixer ini memiliki fitur 10 chanel mono dengan preamp di setiap channel-nya. Selain itu, alat ini juga dilengkapi dengan kompresor serta efek gema, fitur tersebut cukup mumpuni pada masanya. Usai Lokananta memiliki studio besar, alat ini pun tidak digunakan. 
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

mixer Altec 1220 Mono Mixing Console (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Di sebelah Bengawansolo, Hypeabis.id memasuki ruang Anekanada. Di sini dipamerkan ratusan piringan hitam rilisan Lokananta. Piringan ini merupakan produk Lokananta. Sejak berdiri hingga kini, Lokananta diperkirakan telah memproduksi 5.760 rilisan. Mayoritas piringan hitam ini berisi lagu-lagu tradisi dari berbagai daerah. Bukan cuma itu, piringan hitam Indonesia Raya pertama, tiga stanza turut dipamerkan. 

Salah satu koleksi yang mencuri perhatian publik adalah piringan hitam Asian Games 1962. Piringan hitam ini berisi lagu-lagu Hallo Hallo Bandung, Anging Mamiri, Ningku Pe Nian, Nona Manis, dan Burung Kaka Tua. Dahulu piringan hitam ini merupakan souvenir bagi para kontingen peserta pesta olahraga terbesar di Asia itu.  

Beberapa piringan hitam merupakan karya-karya musisi pada masa lampau. Bagi sebagian orang, nama-nama ini terasa asing. Namun mereka adalah musisi besar Tanah Air. 
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Sudarsih (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Umpamanya, Abdul Kadir, pimpinan Orkes Melayu Sinar Kemala. Kemudian, Kabama, band kuartet yang berbasis di Surabaya pada 1966. Waldjinah, yang dijuluki sebagai Ratu Keroncong. Terakhir terdapat piringan hitam Irama Gambang, dengan penyanyi Sudarsih. Musisi ini merupakan nenek dari penyanyi Vidi Aldiano. 


Arena Pertunjukan

Selepas menelusuri ruang pamer, Hypeabis.id beranjak ke arena pertunjukan berupa amphitheater. Arena ini merupakan bagian dari revitalisasi. Selain arena pertunjukan, pengelola juga menambahkan area komersil. Dari sisi desain, terasa sekali style Andra Matin, dengan ciri bangunan sederhana dan bukaan lebar. 
 

Area pertunjukan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Area pertunjukan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Dengan demikian, penggunaan pendingin udara sangat minim. Selain itu, akses dari dan menuju arena pertunjukan, termasuk ke galeri museum, serta komersial dibuat selebar mungkin. Hal tersebut memudahkan mobilitas pengunjung ketika berada di sana. 

Kebetulan saat itu, arena pertunjukan amphitheater digunakan untuk menggelar Festival Lokananta 2023. Bagi pengunjung VIP mereka dapat menonton pertunjukan di bagian tribun, sedangkan pengunjung reguler menyaksikan di area lapangan. Terasa nyaman sekali menyaksikan konser di arena ini. 

Bagian lain yang tak boleh dilalui begitu saja adalah studio rekaman. Revitalisasi tidak mengubah wajah studio tersebut. Desain studio tetap dipertahankan. Hanya, beberapa bagian seperti pergantian pada bagian dinding dan atap. Selain sebagai ruang pertunjukan, studio ini juga difungsikan sebagai studio rekaman. Pengelola mengklaim seluruh perlengkapan rekaman sudah diperbaharui.
 

Studio rekaman yang digunakan untuk pertunjukan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Studio rekaman yang digunakan untuk pertunjukan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)


Hypeabis.id pun berkesempatan menikmati performa musisi Leilani Hermiasih atau Frau di studio tersebut. Banyak pengunjung memasuki studio itu untuk mendengarkan suara yang senantiasa membawa Oskar di atas panggung. Oskar adalalah piano, satu-satunya alat musik yang digunakannya. 

Selama 2 hari pelaksanaan Festival Lokananta 2023, terasa antusiasme pengunjung lintas generasi mendatangi tempat bersejarah ini. Mereka seakan tidak hanya ingin mendapatkan hiburan, tetapi menapaki jejak Titik Nol Musik Indonesia ini. 


Pabrik Piringan Hitam Kebanggaan Bangsa Indonesia

Lokananta memiliki catatan sejarah yang panjang bagi perkembangan musik nasional. Studio ini dianggap sebagai 'titik nol' musik Indonesia. Sebab, di sanalah musik karya anak bangsa direkam dan didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia lewat RRI. Pendirian Lokananta tak dapat dipisahkan dari gagasan Presiden Soekarno kala itu menginginkan musik Indonesia berkembang di tengah gempuran musik-musik barat. 

RRI, sebagai stasiun radio milik negara, memiliki misi besar untuk mewujudkan gagasan Bung Karno tersebut. Dua petinggi RRI Surakarta, yaitu Raden Utoyo Sumowijoyo dan Raden Ngabehi Sugoto Suryodipurno memunculkan ide pembentukan pabrik piringan hitam milik negara.
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Wacana tersebut didasari atas kebutuhan merekam dan memproduksi musik dari berbagai daerah. Sebab, RRI kesulitan untuk menyiarkan lagu-lagu nasional. Sebab 90 persen koleksi tembang yang mereka punya merupakan lagu-lagu barat, peninggalan Belanda. 

RRI secara resmi menyiapkan rencana pembangunan jangka waktu lima tahun dalam bidang program, peralatan teknik dan studio, serta personil. Rencana itu memprioritaskan pembangunan studi-studio di daerah. Termasuk pendirian Lokananta sebagai rencana strategis mereka kala itu. 

Akhirnya pada 29 Oktober 1956, Lokananta diresmikan sebagai pabrik piringan hitam Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Satu sosok penting dibalik pendirian Lokananta adalah Direktur Jenderal RRI Raden Maladi. 

Dia memilih Solo sebagai lokasi Lokananta, karena ingin menjadikan kota tersebut sebagai pusat kegiatan industri media, serta perekaman musik dan budaya Indonesia. 
 

Arsip yang dipamerkan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Arsip yang dipamerkan (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Pada masa awal berdiri, Lokananta hanya dioperasikan oleh rima orang dari RRI Solo. Termasuk R. Utoyo Sumowijoyo yang juga merangkap sebagai direktur Lokananta, dan R. N. Sugoto Suryodipuro sebagai pengarah teknis produksi. 

Sebagai perusahaan rekaman, saat itu sejatinya sudah berdiri tiga perusahaan rekaman di Indonesia, yaitu Irama, Mesra, dan Remarco. Namun pembeda Lokananta dari tiga perusahaan tersebut adalah, perusahaan rekaman pertama di Indonesia yang mempunyai mesin produksi master molding, atau pembuat cetakan piringan hitam saat itu. 

Di sisi lain, seiring kehadiran Lokananta, Indonesia termasuk satu di antara lima negara yang mempunyai pabrik piringan hitam. 


Produksi Piringan Hitam 

Kehadiran mesin produksi master moulding pun memberikan pengaruh pada kian singkatnya proses, dan berkurangnya biaya produksi piringan hitam. Sebagai gambaran, untuk membuat piringan hitam, perusahaan rekaman, begitu pula dengan RRI harus memesan dari luar negeri. Mereka lebih dahulu  merekam lagu-lagu dengan tape recorder. Setelah itu pita tape dikirimkan ke luar negeri, agar dibuatkan piringan hitamnya. 

Akan tetapi cara ini membutuhkan waktu lama dan biaya yang tak sedikit. Sebab, pabrik pembuatan piringan hitam berada di Belanda. Kemudian, proses pengerjaan hingga pengiriman ke Indonesia memakan waktu  selama 3 bulan.  

Dengan demikian, label rekaman waktu itu harus merogoh kocek sebesar Rp600. Namun, dengan hadirnya Lokananta, mereka bisa menghemat waktu dan biaya. Lokanata menawarkan pembuatan vinil sebesar Rp98, dengan durasi pengerjaan 3 hari. 

Selama kurun waktu 1956 dan 1957, Lokananta hanya mengeluarkan piringan hitam yang diberi label Indravox yang tidak tersedia untuk dijual kepada publik. Piringan hitam dengan label Indravox didesain untuk digunakan secara internal guna memenuhi kebutuhan stasiun-stasiun RRI di berbagai kota dalam penyiaran musik.

Nama ini awalnya diajukan sebagai pilihan utama, tetapi ditolak oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlalu berbau barat. Indravox adalah singkatan dari Indonesia Raya Vox, yang berarti suara Indonesia Raya.
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Dari sisi bisnis, piringan hitam menjadi pemasukan bagi Lokananta, juga negara. Pada 1959, Lokananta memulai penjualan piringan hitam secara komersial. Distribusi penjualan ini menggunakan jaringan Koperasi Pegawai RRI, sehingga rekaman rilisan Lokananta dapat diakses oleh masyarakat di seluruh stasiun RRI di Indonesia.


Mengorbitkan Musisi

Sebagai perusahaan pelat merah, Lokananta diarahkan untuk mengembangkan musik-musik Indonesia. Oleh sebab itu, mereka merilis rekaman yang berisi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh pemenang sayembara Bintang Radio. Kolaborasi antara Lokananta dan RRI bertujuan untuk membangun citra Indonesia sebagai negara yang berdaulat dalam bidang kebudayaan.

Ajang pencarian bakat penyanyi tahunan itu dimulai oleh RRI sejak 1951 dan masih berlanjut hingga saat ini. Bintang Radio diikuti oleh penyanyi yang mewakili 10 kota di berbagai provinsi.
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Sejumlah nama terkenal seperti Sam Saimun, Bing Slamet, Waldjinah, Norma Sanger, dan Titiek Puspa adalah mantan peserta Bintang Radio yang kemudian menjadi penyanyi terkemuka dalam berbagai rekaman Lokananta di masa depan.

Dekade 1950-an hingga 1980-an, merupakan masa-masa kejayaan Lokananta. Selama masa kejayaannya, Lokananta getol merekam kaya-karya anak negeri. Di antaranya, Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. 

Jumlah master rekaman yang dimiliki Lokananta diperkirakan 5.000 rekaman. Selain lagu, koleksi berisi pidato-pidato kenegaraan. Tak terkecuali rekaman suara Bung Karno pada 17 Agustus 1945. 

Baca juga: Kenangan Titiek Puspa di Lokananta, Pernah Rekaman & Teringat Glenn Fredly

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Cek Jadwal Singapore Open 2023, Daftar Pemain Indonesia & Unggulan yang Ikut Bertanding

BERIKUTNYA

Raih Rp3,1 Triliun, Spider-Man: Across the Spider-Verse Masuk 10 Besar Film Terlaris Global

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: