Dukungan distribusi dan pendanaan terhadap film dokumenter masih minim (Sumber gambar: Gr Stocks/Unsplash)

Film Dokumenter Indonesia Berkembang, Tapi Dukungan Pendanaan & Distribusi Masih Minim

05 June 2023   |   16:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Like
Meski perfilman Indonesia cenderung didominasi oleh film-film fiksi, perkembangan film dokumenter tak boleh dipandang sebelah mata. Perkembangan film dokumenter di Tanah Air sejak era kolonialisme memiliki catatan sejarah yang panjang dan mengalami capaian baik dari segi bentuk maupun pendekatan hingga saat ini.

Sejarah film dokumenter di Indonesia dimulai pada masa kolonialisme awal abad ke-20 dengan munculnya film-film yang menggambarkan perjalanan raja dan ratu Belanda sebagai media propaganda. Kala itu, film dokumenter bersifat sebagai media saluran informasi, tetapi di sisi lain juga bisa memberikan pemahaman yang justru manipulatif terhadap fakta yang ada.

Tahun 1940-an saat era pendudukan Jepang, produktivitas pembuatan film cenderung merosot seiring dengan pelarangan  yang diberlakukan kala itu. Selama masa pendudukan Jepang inilah, film dokumenter mulai secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda politik, yang secara garis besar menonjolkan kegagahan Negeri Sakura.

Begitupun pada zaman Orde Lama, film dokumenter masih bersifat propaganda untuk tujuan membangun rasa nasionalisme masyarakat. Hal itu berlanjut pada era Orde Baru dimana film dokumenter dipahami secara sempit sebagai film dengan muatan materi sejarah, flora dan fauna, termasuk penyuluhan program dan propaganda pemerintahan Orde Baru.

Babak baru film dokumenter Indonesia dimulai pada akhir tahun 1990-an. Pada masa ini, film dokumenter berkembang dan muncul dengan beragam bentuk mulai dari advokasi sosial-politik, seni dan eksperimental, perjalanan dan petualangan, komunitas dan alternatif di bidang seni dan audio-visual. Pada titik ini, film dokumenter berubah menjadi satu genre seni audio visual yang bersifat demokratis sekaligus personal.

Film dokumenter kemudian memberikan kesempatan bagi semua orang untuk menampilkan diri, baik film yang mampu memunculkan karya yang unik, original dan khas. Dengan karakteristik yang demikian itu, film dokumenter menjadi karya yang bersifat alternatif, baik dari segi ideologi, isi, maupun bentuk sehingga mampu menarik minat masyarakat umum.

Kritikus Film Hikmat Darmawan mengatakan era 1990-an menjadi tonggak baru untuk film dokumenter Indonesia karena adanya capaian dari segi bentuk dan penyajian yakni dengan munculnya narasi, distrukturkan menjadi sebuah cerita namun non-fiksi, serta ada semacam wahana untuk berekspresi untuk menyampaikan tentang realitas.

Baca juga: Begini Insentif Perfilman yang Ideal Menurut Pengamat Film Hikmat Darmawan

"Dokumenter itu bisa menjadi statement seniman bahwa dia punya pernyataan dalam melihat satu hal," katanya dalam wawancara via telepon oleh Hypeabis.id.

Perkembangan itu terus berlanjut pada tahun 2000-an dimana film dokumenter mulai bermunculan dalam bentuk yang panjang dan ditayangkan di bioskop misalnya Jalanan (2013) karya Daniel Ziv, Nyanyian Akar Rumput (2020) karya Yuda Kurniawan, dan Banda, The Dark Forgotten Trail (2017) karya Jay Subiakto.
 

Cuplikan film dokumenter You and I (Sumber gambar: KawanKawan Media)

Cuplikan film dokumenter You and I (Sumber gambar: KawanKawan Media)


Distribusi & Pendanaan

Hikmat menilai saat ini film dokumenter di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan baik dari segi subjek yang ditampilkan maupun metode pendekatan seperti observasional, stilistik, ataupun naratif. Menurutnya, sebagai satu wahana untuk menampilkan realitas, bentuk film dokumenter kini telah menyentuh banyak aspek yang cenderung tergolong sebagai elemen dari film-film fiksi.

Meski sejumlah film dokumenter telah tayang di bioskop, kehadirannya masih terbilang minim jika dibandingkan dengan film-film fiksi yang memang memiliki nilai komersial lebih tinggi. Walhasil, film-film dokumenter cenderung mengambil jalur-jalur distribusi alternatif seperti tayang di ajang festival nasional dan internasional, ruang-ruang pemutaran alternatif, ataupun di platform OTT.

Menurut Hikmat, hal itu tidak terlepas dari kebijakan infrastruktur bioskop di Indonesia yang cenderung menciptakan pasar perfilman yang tunggal, dimana hanya memberikan tempat yang luas bagi film-film yang berpotensi menjadi box office. Padahal, lanjutnya, jika berkaca pada negara-negara lain, pangsa pasar film dokumenter cukup potensial selama memang didukung dari segi infrastruktur distribusinya.

"Jadi kalau di Indonesia selama tidak ada infrastruktur bioskop untuk pasar [film] yang majemuk, ya akan susah hanya beberapa film dokumenter saja yang bisa masuk," kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta itu.

Hampir senada, sutradara Fanny Chotimah menilai bahwa minimnya infrastruktur gedung bioskop dan belum terbentuknya ekosistem perfilman di Indonesia secara sistematis, membuat film dokumenter cenderung sulit diakses oleh masyarakat. Menurutnya, hal inilah yang membuat masyarakat menjadi tidak begitu karib dengan karya-karya dokumenter.

Sebaliknya, lanjutnya, masyarakat justru mulai akrab dengan konten-konten film dokumenter dari negara-negara lain seperti Hollywood dan Korea Selatan yang kini sudah banyak tayang di platform OTT. "Film fiksi di Indonesia itu juga masih bersaing sama film-film luar negeri di bioskop, apalagi film dokumenter," katanya.

Di tengah kondisi yang menantang seperti itu, Fanny mengatakan sudah saatnya para filmmaker dokumenter bisa untuk menyajikan film-film dengan pendekatan yang lebih kekinian juga mengangkat isu-isu yang relevan dan dekat dengan keseharian masyarakat sehingga bisa lebih akrab dengan mereka. Misalnya fillm-film dokumenter  pendek yang disampaikan dengan gaya khas anak muda.
 
"Bisa juga membawa isu-isu sosial tapi penyampaiannya jangan serius supaya mereka tidak bosan. Jadi kalau emang targetnya anak muda, kita harus pakai bahasa mereka. Misalnya kritis tapi dengan pendekatan satir," imbuh sutradara yang menggarap film You and I itu.

Belum terbentuknya budaya menonton film dokumenter di masyarakat membuat para filmmaker juga kerap menemui jalan terjal terkait pendanaan. Hanya segelintir investor yang mau menyokong pendanaan produksi film dokumenter yang umumnya membutuhkan proses riset dan penggarapan yang cukup lama, sehingga membutuhkan dana yang relatif besar.

Kondisi itu acapkali membuat filmmaker akhirnya mengikuti forum-forum pitching pendanaan di sejumlah program funding yang dibuka oleh laboratorium atau festival film internasional di berbagai negara, untuk mendapatkan sokongan dana produksi. Kendati demikian, untuk mendapatkannya, mereka harus tetap bersaing dengan sejumlah filmmaker lain dari berbagai negara.

Oleh karena itu, menurut Fanny, sudah seharusnya pemerintah juga memberikan perhatian yang sama terhadap film dokumenter sama seperti jenis film-film lain. Salah satunya jika pemerintah memiliki program Dana Indonesiana yang belum lama ini dicanangkan, sudah semestinya film-film dokumenter juga mendapatkan porsi yang sama.

Baca juga: Begini Skema Pendanaan dari Pemerintah untuk Film-film di Festival Dunia

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Pamungkas Merilis Album Audio Live Konser Tur Birdy

BERIKUTNYA

Ingin Beralih ke Dunia Digital? Berikut 10 Profesi yang Paling Diminati

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: