Hypereport: Jamu, Cara Asyik Jaga Kesehatan dan Kece ala Indonesia
30 May 2023 |
12:30 WIB
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai, salah satunya adalah jamu. Ramuan ini telah menjadi simbol kearifan lokal yang ada di dalam negeri, memainkan peran penting dalam menjaga eksistensi kesehatan dan kebugaran masyarakat sejak zaman dahulu.
Terbuat dari bahan-bahan alami yang kaya akan khasiat, jamu telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) sejak 2018.
Dalam arti sederhana, jamu dapat dianggap sebagai obat herbal asli Indonesia yang diracik dengan menggunakan bahan-bahan alami guna menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Bahan-bahan ini mudah ditemukan di sekitar kita, seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit pohon.
Jenis-jenis jamu pun beragam, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, sachet, hingga yang tetap mengusung tradisi seperti jamu gendong. Meskipun perkembangan teknologi di bidang kesehatan begitu pesat, jamu tetap menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam perawatan tubuh.
Jamu bukanlah sekadar minuman, melainkan warisan berharga yang diturunkan oleh leluhur. Kehadirannya telah membantu mempertahankan kesehatan dan vitalitas manusia selama berabad-abad. Dengan segala manfaatnya, jamu telah mengakar dalam budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat nusantara.
Pada edisi kali ini, Hypereport mengulas perkembangan jamu dari berbagai sisi. Mulai dari eksistensi jamu gendong hingga upaya mendekatkan racikan tradisional ini kepada generasi muda.
Jamu, ramuan tradisional ini sejak lama dipercaya berkhasiat dalam menjaga kesehatan hingga mengatasi ragam penyakit masyarakat Indonesia. Muncul sejak zaman Kerajaan Mataram, minuman yang terbuat dari rempah-rempah ini memiliki racikan berbeda pada setiap daerah hingga etnik yang ada di Indonesia.
Seiring waktu, jamu pun berkembang. Bukan lagi menjadi ramuan yang dibuat sendiri untuk diminum secara mandiri, tetapi merambah ke dunia industrialisasi seiring perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat yang ingin kepraktisan. Bahkan beberapa tahun ini, marak kafe-kafe jamu untuk memperluas jangkauan ke generasi baru.
Boleh dikatakan bahwa jamu adalah aset nasional. Ramuan ini memiliki unsur budaya, pengetahuan tradisional, kearifan lokal karena interaksi masyarakat dengan tanaman sekitar. Agung Eru Wibowo, peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sejauh ini belum ada filosofi dalam konteks keilmuan yang disepakati bersama tentang jamu. Berbeda dengan pengobatan Ayurveda dari India.
Adalah Nova Dewi Setiabudi, salah satu sosok yang mulai menaikkan kelas minuman yang dulunya digendong oleh mbok-mbok dengan bakul itu. Dengan tangan dinginnya yang berwarna kuning akibat sering memeras kunyit, jamu yang semula hanya diminum nenek-nenek, kini berubah menjadi ramuan dengan berbagai ragam olahan.
Perempuan asal Surabaya itu secara aktif memang memperkenalkan jamu pada generasi muda agar tetap lestari. Di kedainya yang berada di Jakarta Selatan, minuman kunyit asem atau beras kencur pun bisa bisa dinikmati dengan campuran es atau diseduh panas.
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman adalah cukilan lirik dari lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu. Lagu yang dirilis pada 1970 silam bercerita tentang suburnya tanah di Indonesia. Ya, Indonesia memiliki lahan subur sehingga cocok ditanami tanaman, termasuk bahan-bahan untuk membuat jamu.
Keadaan ini membuat jamu menjadi kian potensial untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan. Inggid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), menuturkan bahwa berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki tanah subur dan cocok ditanam dengan berbagai tanaman obat membuat potensi jamur di berbagai wilayah sangat baik.
Sebagai contoh di Semarang. Salah satu wilayah di Indonesia ini cocok untuk tanaman temulawak, dan kualitas terbaik tanaman itu saat ini memang berada di daerah yang menjadi ibu kota Jawa Tengah itu.
Kesederhanaan mbok jamu punya ceritanya sendiri. Berbekal alat gendong dengan kain bercorak batik, botol-botol plastik dijajakan dalam bakul besar. Dengan kebaya dan lilitan kain sebagai rok, mereka berkeliling menawarkan jamu dari rumah ke rumah. Masih segar di ingatan saat antusiasnya warga menyambut kedatangan mbok jamu dahulu kala.
Sekali teriak ‘jamu’, dua hingga tiga orang mulai menghampiri penjaja jamu keliling ini. Beberapa di antaranya justru datang dari kalangan anak-anak. Namun sekarang, mari menghitung dengan jari. Ada berapa orang mbok jamu yang rajin mondar-mandir mengitari lorong atau gang rumah kita?
Satu, dua, atau mungkin tak ada. Tidak bisa dimungkiri, eksistensi tukang jamu gendong kian merosot di perkotaan besar. Bahkan jika kita spesifik melihat tukang jamu membawa dagangannya, rasanya hanya segelintir saja yang masih menggendong bakul jamu tersebut. Sebagian besar di antaranya beralih menggunakan gerobak dorong, mengayuh sepeda, bahkan dengan motor. Tentu saja supaya mempermudah saat mengangkut botol-botol jamu mereka.
Terbuat dari bahan-bahan alami yang kaya akan khasiat, jamu telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) sejak 2018.
Dalam arti sederhana, jamu dapat dianggap sebagai obat herbal asli Indonesia yang diracik dengan menggunakan bahan-bahan alami guna menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Bahan-bahan ini mudah ditemukan di sekitar kita, seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit pohon.
Jenis-jenis jamu pun beragam, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, sachet, hingga yang tetap mengusung tradisi seperti jamu gendong. Meskipun perkembangan teknologi di bidang kesehatan begitu pesat, jamu tetap menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam perawatan tubuh.
Jamu bukanlah sekadar minuman, melainkan warisan berharga yang diturunkan oleh leluhur. Kehadirannya telah membantu mempertahankan kesehatan dan vitalitas manusia selama berabad-abad. Dengan segala manfaatnya, jamu telah mengakar dalam budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat nusantara.
Pada edisi kali ini, Hypereport mengulas perkembangan jamu dari berbagai sisi. Mulai dari eksistensi jamu gendong hingga upaya mendekatkan racikan tradisional ini kepada generasi muda.
1. Racikan Tradisi & Inovasi Bikin Jamu Indonesia Makin Tokcer
Jamu, ramuan tradisional ini sejak lama dipercaya berkhasiat dalam menjaga kesehatan hingga mengatasi ragam penyakit masyarakat Indonesia. Muncul sejak zaman Kerajaan Mataram, minuman yang terbuat dari rempah-rempah ini memiliki racikan berbeda pada setiap daerah hingga etnik yang ada di Indonesia.Seiring waktu, jamu pun berkembang. Bukan lagi menjadi ramuan yang dibuat sendiri untuk diminum secara mandiri, tetapi merambah ke dunia industrialisasi seiring perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat yang ingin kepraktisan. Bahkan beberapa tahun ini, marak kafe-kafe jamu untuk memperluas jangkauan ke generasi baru.
Boleh dikatakan bahwa jamu adalah aset nasional. Ramuan ini memiliki unsur budaya, pengetahuan tradisional, kearifan lokal karena interaksi masyarakat dengan tanaman sekitar. Agung Eru Wibowo, peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sejauh ini belum ada filosofi dalam konteks keilmuan yang disepakati bersama tentang jamu. Berbeda dengan pengobatan Ayurveda dari India.
2. Upaya Membawa Jamu Tradisional Naik Kelas & Makin Luas
Adalah Nova Dewi Setiabudi, salah satu sosok yang mulai menaikkan kelas minuman yang dulunya digendong oleh mbok-mbok dengan bakul itu. Dengan tangan dinginnya yang berwarna kuning akibat sering memeras kunyit, jamu yang semula hanya diminum nenek-nenek, kini berubah menjadi ramuan dengan berbagai ragam olahan.Perempuan asal Surabaya itu secara aktif memang memperkenalkan jamu pada generasi muda agar tetap lestari. Di kedainya yang berada di Jakarta Selatan, minuman kunyit asem atau beras kencur pun bisa bisa dinikmati dengan campuran es atau diseduh panas.
3. Menggali & Memanfaatkan Potensi Jamu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman adalah cukilan lirik dari lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu. Lagu yang dirilis pada 1970 silam bercerita tentang suburnya tanah di Indonesia. Ya, Indonesia memiliki lahan subur sehingga cocok ditanami tanaman, termasuk bahan-bahan untuk membuat jamu.
Keadaan ini membuat jamu menjadi kian potensial untuk terus dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan. Inggid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), menuturkan bahwa berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki tanah subur dan cocok ditanam dengan berbagai tanaman obat membuat potensi jamur di berbagai wilayah sangat baik.
Sebagai contoh di Semarang. Salah satu wilayah di Indonesia ini cocok untuk tanaman temulawak, dan kualitas terbaik tanaman itu saat ini memang berada di daerah yang menjadi ibu kota Jawa Tengah itu.
4. Mbok Jamu Riwayatmu Kini
Kesederhanaan mbok jamu punya ceritanya sendiri. Berbekal alat gendong dengan kain bercorak batik, botol-botol plastik dijajakan dalam bakul besar. Dengan kebaya dan lilitan kain sebagai rok, mereka berkeliling menawarkan jamu dari rumah ke rumah. Masih segar di ingatan saat antusiasnya warga menyambut kedatangan mbok jamu dahulu kala.Sekali teriak ‘jamu’, dua hingga tiga orang mulai menghampiri penjaja jamu keliling ini. Beberapa di antaranya justru datang dari kalangan anak-anak. Namun sekarang, mari menghitung dengan jari. Ada berapa orang mbok jamu yang rajin mondar-mandir mengitari lorong atau gang rumah kita?
Satu, dua, atau mungkin tak ada. Tidak bisa dimungkiri, eksistensi tukang jamu gendong kian merosot di perkotaan besar. Bahkan jika kita spesifik melihat tukang jamu membawa dagangannya, rasanya hanya segelintir saja yang masih menggendong bakul jamu tersebut. Sebagian besar di antaranya beralih menggunakan gerobak dorong, mengayuh sepeda, bahkan dengan motor. Tentu saja supaya mempermudah saat mengangkut botol-botol jamu mereka.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.