Film dokumenter Pesantren (2022). (Sumber foto: Lola Amaria Production)

Cerita Sutradara Shalahuddin Siregar Berikan Sudut Pandang Lain dari Dalam Pesantren

26 May 2023   |   11:11 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Setelah sempat tayang di bioskop, film dokumenter Pesantren kini menemui penontonnya di platform Bioskop Online. Karya sutradara Shalahuddin Siregar ini akan mengajak penonton menyusuri kehidupan para santri di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat.

Film ini mencoba menawarkan perspektif yang luas dan berbeda tentang kehidupan pesantren. Para santri di pondok pesantren tersebut dididik untuk berpikir kritis, mendukung kesetaraan gender, dan menghargai keberagaman, alih-alih menjadi individu yang fanatik akan agama. 

Baca juga: Berkenalan dengan Shalahuddin Siregar, Sutradara Film Pesantren

Penggambaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi orang yang penuh perasaan, atau perempuan mampu menjadi pemimpin, membuat film ini berhasil menampilkan kehidupan di dalam pesantren dari sudut pandang berbeda. Banyak nilai baik yang diajarkan bahwa agama Islam itu baik, damai, sejuk, moderat, toleran dan merangkul. 
 

Shalahuddin Siregar selaku sutradara film dokumenter Pesantren mengatakan inspirasi awalnya menggarap film ini adalah karena salah satu karakter yang ada dalam film dokumenter panjang pertamanya berjudul Negeri di Bawah Kabut (2011) yakni Arifin. Anak laki-laki berusia 12 tahun itu ingin masuk SMP Negeri tetapi orang tuanya terlalu miskin untuk membayar pendaftaran sekolah yang mahal.

Akhirnya, mereka mengirim Arifin ke pesantren. Namun, ada sejumlah pihak yang menyayangkan keputusan mengirimkan Arifin ke pesantren karena mereka mengira sang anak akan dididik menjadi teroris. Pesantren dituduh kolot dan tidak berkembang.

"Saya terganggu dengan stigma ini. Meskipun beragama Islam, saya tidak punya pengetahuan yang cukup tentang pesantren. Karena itulah saya membuat film ini, untuk mencari tahu seperti apa sebenarnya kehidupan di pesantren," katanya dalam acara screening film Pesantren di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Dia pun memilih pesantren Pondok Kebon Jambu di Cirebon, yang merupakan salah satu pesantren tradisional di Indonesia. Berbeda dari pondok pesantren kebanyakan, Pondok Kebon Jambu Al-Islamy dipimpin oleh perempuan. Hal yang terbilang jarang ditemukan sebuah pesantren dengan santri laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh perempuan.

Melalui film ini, penonton juga akan diajak untuk menyelami kehidupan pondok pesantren yang tak kalah menarik jika dibandingkan dengan kegiatan para siswa yang belajar di sekolah biasa. Selain belajar mengaji, para santri dalam film ini juga memperlihatkan berbagai kegiatan kompetensi diri seperti seni yang meliputi tari, musik, hingga stand up comedy dalam pondok pesantren.
 

Pria yang akrab disapa Udin itu menuturkan penggarapan film Pesantren memakan waktu hingga tahun mulai dari tahun 2017 hingga 2019. Sebelum akhirnya tayang di bioskop pada tahun lalu, film ini tayang perdana di Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019. Selain itu, film ini juga telah tayang di Madani International Film Festival dan sempat ditayangkan di The University of British Columbia pada Maret 2022.

Diakui olehnya bahwa salah satu tantangan terbesar dalam menggarap film ini adalah dari segi pendanaan. Pasalnya, menurutnya, tidak banyak investor yang tertarik untuk mendanai produksi film dokumenter karena selama ini dinilai tidak memiliki nilai komersil. Walhasil, dia pun mencari bantuan sokongan dana dari sejumlah laboratorium film di luar negeri dan melakukan ko-produksi dengan sineas mancanegara.

"Akhirnya kami bisa bekerja sama dengan NHK dari Jepang dan tertutuplah semua biaya produksi itu film Pesantren," ucap sutradara yang juga menggarap film dokumenter Lima itu.

Udin juga menuturkan bahwa melalui film Pesantren, dia ingin menunjukkan tentang Islam melalui sudut pandang perempuan. Menurutnya, di tengah dunia yang cenderung maskulin dan patriarkis, hal itu jarang diangkat dan menjadi diskusi di tengah masyarakat. Latar belakang inilah yang baginya menjadi urgensi untuk menggarap film ini.

"Seksisme, misoginis, dan patriarkis itu kan bukan cuma persoalan di Indonesia tapi di dunia. Hal itu semua menjadi akar dari banyak persoalan bagi perempuan seperti KDRT dan ketidakadilan," ujar pria berusia 44 tahun itu.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Hadir ke Festival Film Cannes 2023, Bos MVP Pictures Raam Punjabi Cari Film & Benchmark Platform OTT

BERIKUTNYA

Cara Membuat AI Cover Song, Mengubah Lagu dengan Sampel Suara Orang Lain

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: