Jejak Cinta Edwin Makarim dalam Pameran Tunggal Tapak Katresnan
21 May 2023 |
13:54 WIB
Keterbatasan bukan menjadi hambatan bagi seniman Edwin Makarim untuk berkarya. Seniman muda ini sukses menghadirkan berbagai karya seni lukisan dan instalasi yang diapresiasi oleh para penikmat seni dalam pameran tunggal bertajuk Tapak Katresnan di Hadiprana Art Center, Kemang, Jakarta.
Lukisan berjudul P.E.T.E berukuran 70x60 cm dengan medium akrilik di atas kanvas, dan lukisan Lembah Harau (2018) berukuran 100x 100 cm, serta karya berjudul Kancing (2022) berukuran 60 x 70 cm dengan medium yang sama, adalah karya Edwin yang dapat dinikmati oleh para pencinta seni ketika berkunjung ke Hadiprana Art Centre.
Ketiga karyanya tersebut memiliki cerita yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yakni berdasarkan dari pengalaman yang dialami oleh sang seniman selama berkarya.
Baca juga: Helga Stenzel, Seniman yang Ubah Jemuran jadi Karya Unik
Seniman yang juga kerap disapa Edo itu mengatakan, pengalaman hidupnya menjadi sumber ide dalam membuat karya seni rupa. Dia mencipta sebuah karya dari kejadian-kejadian yang kerap dialami dan berada di sekitarnya.
Misalnya, lukisan berjudul P.E.T.E bercerita tentang diri pada masa kecil yang enggan makan apapun. Namun, masalah sulit makan terselesaikan ketika sang nenek menyuguhkan makanan yang sangat terkenal di Indonesia itu dengan balutan sambal yang menggugah selera. Tidak hanya dalam bentuk petai balado, hidangan yang berwarna hijau itu juga disajikan di atas meja dalam bentuk olahan lainnya.
Sementara lukisan Lembah Harau bercerita tentang salah satu destinasi wisata di Sumatra Barat. Tujuan liburan bagi para wisatawan itu menjadi salah satu objek dalam karya sang seniman Seniman kelahiran Jakarta pada 1995 silam pertama kali datang ke Lembah Harau pada saat study tour kelas 1 sekolah menengah atas (SMA) pada 2013 silam.
Saat itu, daerah yang memiliki pemandangan eksotis tersebut telah memikat hati sang seniman dan mengajak keluarga untuk kembali mengunjunginya pada 2014. Kenangan akan keindahan Lembah Harau yang tertanam di dalam hati dituangkan olehnya di atas kanvas.
Lukisan berjudul Kancing juga tidak terlepas dari pengalaman lain yang pernah dirasakan Edo. Kancing bagi sang seniman memiliki cerita tersendiri. Gangguan motorik yang dimiliki oleh sang seniman membuat kancing menjadi masalah ketika harus memasang baju. Dia juga pernah merasa phobia dengan benda kecil yang kerap terpasang di baju tersebut.
Kurator Pameran sekaligus pendamping sang seniman, Timotius Warsito menuturkan pameran yang berlangsung sampai 24 Juni 2023 itu menyajikan jejak-jejak cinta yang ditinggalkan oleh orang-orang di sekitar sang seniman. “Jejak itu tidak hilang,” katanya.
Dalam pameran ini, para penikmat karya dapat menyaksikan 15 karya besar dari sang seniman yang bersumber dari keseharian dan pengalaman yang dialami, seperti pemandangan di kampung, merespons pandemi, makanan kesukaan, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, pameran yang juga menyuguhkan instalasi pendukung sebanyak 8 karya ini menjadi penting karena dapat menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bisa menjadi seorang seniman yang hebat dan sukses dalam hidup ketika mendapatkan treatment dengan benar.
“Di pameran ini, Edo bercerita tentang proses menjadi seperti saat ini,” katanya kepada Hypeabis.id.
Dalam berkarya, sang seniman terlihat menggunakan pendekatan realis dengan ide dan komposisi kontemporer. Pendekatan realis itu juga terlihat ketika sang seniman membuat sebuah karya abstrak.
Menikmati Proses Kreatif
Pria yang juga pernah berpameran di Galeri Nasional Indonesia itu mulai diperkenalkan dengan gaya abstrak. Namun, perkenalan itu baru sebatas terapi untuk bersenang-senang. “Edo masih menikmati proses kreatif yang sifatnya realis,” katanya.
Sang seniman mampu membuat karya seni realis melalui proses yang tidak mudah mengingat saat kecil memiliki gangguan motorik yang cukup parah. Dia mampu menjadi seperti saat ini dan menghasilkan karya dengan baik lantaran latihan motorik yang dilakukan terus-menerus.
Dia menuturkan, karya yang dihasilkan oleh sang seniman merupakan hasil karya sendiri tanpa sentuhan ulang dari orang lain. Sebagai pendamping, pria yang kerap disapa Toto ini hanya memberikan sejumlah masukan kecil, seperti letak bayangan yang kurang atau penegasan di bagian tertentu.
Saat berkarya, sang seniman bisa menyelesaikan satu karya dengan beragam waktu lantaran tidak mengerjakan satu karya sampai selesai. “Jadi, dia provokasi kanvas,” katanya.
Edo bisa mengerjakan karya yang berbeda-beda dalam satu waktu. Kondisi ini membuat satu karya dapat selesai dalam waktu 3 bulan atau satu tahun. Dia bisa menyelesaikan satu karya dalam satu minggu jika senang dengannya. Menurutnya, sang seniman tidak memosisikan karya seperti sebuah pesanan. Dia memosisikan karya sebagai sebuah bentuk ungkapan perasaan dan berekspresi.
Pada saat yang sama, orang tua seniman, yakni Agus Basuki Yanuar mengungkapkan awal Edo melukis adalah ketika berusia lima tahun saat diperkenalkan dengan guru lukis. Namun, dia telah mengenal gambar sejak usia empat tahun.
Agus memperkenalkan gambar kepada sang seniman sebagai cara berkomunikasi lantaran terlambat berbicara. Diri kerap membuat gambar dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki seperti komik untuk menceritakan tentang apa yang dilihat seperti saat setelah jalan-jalan.
Edo mulai menggambar sendiri apa yang dilihat ketika sudah bisa menggambar saat belum bisa berbicara. Pada saat itu, Agus menerjemahkan apa yang dilihat oleh sang anak. “Jadi, awalnya gambar adalah bahasa komunikasi dia [Edo] yang pertama,” katanya.
Lukisan sang seniman mulai membaik ketika berkenalan dengan guru lukis. Tidak hanya itu, lukisan yang pada awalnya menjadi media komunikasi berubah menjadi media ekspresi.
Edo mulai lebih percaya diri dan mulai melukis selain mengikuti terapi yang lain. Kemudian, Agus juga membuat semacam sanggar guna mendukung sang anak di ruko yang dimiliki.
Baca juga: 5 Seniman dengan Autisme Unjuk Karya Seni dalam Pameran Amal
Selain untuk sang anak, sanggar itu juga mengundang peserta lukis lainnya, baik untuk terapi bagi individu dengan kebutuhan khusus maupun ekspresi seni peserta yang tidak memiliki kebutuhan khusus.
Sampai saat ini, sudah banyak karya yang dihasilkan oleh Edo dan beberapa di antaranya sudah menjadi koleksi kolektor. Sang seniman juga tercatat telah melakukan sejumlah pameran. Salah satunya adalah Festival Bebas Batas bertajuk Pokok di Ambang Batas di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2018 silam.
Editor: Fajar Sidik
Lukisan berjudul P.E.T.E berukuran 70x60 cm dengan medium akrilik di atas kanvas, dan lukisan Lembah Harau (2018) berukuran 100x 100 cm, serta karya berjudul Kancing (2022) berukuran 60 x 70 cm dengan medium yang sama, adalah karya Edwin yang dapat dinikmati oleh para pencinta seni ketika berkunjung ke Hadiprana Art Centre.
Ketiga karyanya tersebut memiliki cerita yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yakni berdasarkan dari pengalaman yang dialami oleh sang seniman selama berkarya.
Baca juga: Helga Stenzel, Seniman yang Ubah Jemuran jadi Karya Unik
Seniman yang juga kerap disapa Edo itu mengatakan, pengalaman hidupnya menjadi sumber ide dalam membuat karya seni rupa. Dia mencipta sebuah karya dari kejadian-kejadian yang kerap dialami dan berada di sekitarnya.
Misalnya, lukisan berjudul P.E.T.E bercerita tentang diri pada masa kecil yang enggan makan apapun. Namun, masalah sulit makan terselesaikan ketika sang nenek menyuguhkan makanan yang sangat terkenal di Indonesia itu dengan balutan sambal yang menggugah selera. Tidak hanya dalam bentuk petai balado, hidangan yang berwarna hijau itu juga disajikan di atas meja dalam bentuk olahan lainnya.
Sementara lukisan Lembah Harau bercerita tentang salah satu destinasi wisata di Sumatra Barat. Tujuan liburan bagi para wisatawan itu menjadi salah satu objek dalam karya sang seniman Seniman kelahiran Jakarta pada 1995 silam pertama kali datang ke Lembah Harau pada saat study tour kelas 1 sekolah menengah atas (SMA) pada 2013 silam.
Saat itu, daerah yang memiliki pemandangan eksotis tersebut telah memikat hati sang seniman dan mengajak keluarga untuk kembali mengunjunginya pada 2014. Kenangan akan keindahan Lembah Harau yang tertanam di dalam hati dituangkan olehnya di atas kanvas.
Lembah Harau (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Lukisan berjudul Kancing juga tidak terlepas dari pengalaman lain yang pernah dirasakan Edo. Kancing bagi sang seniman memiliki cerita tersendiri. Gangguan motorik yang dimiliki oleh sang seniman membuat kancing menjadi masalah ketika harus memasang baju. Dia juga pernah merasa phobia dengan benda kecil yang kerap terpasang di baju tersebut.
Kurator Pameran sekaligus pendamping sang seniman, Timotius Warsito menuturkan pameran yang berlangsung sampai 24 Juni 2023 itu menyajikan jejak-jejak cinta yang ditinggalkan oleh orang-orang di sekitar sang seniman. “Jejak itu tidak hilang,” katanya.
Dalam pameran ini, para penikmat karya dapat menyaksikan 15 karya besar dari sang seniman yang bersumber dari keseharian dan pengalaman yang dialami, seperti pemandangan di kampung, merespons pandemi, makanan kesukaan, dan sebagainya.
Tidak hanya itu, pameran yang juga menyuguhkan instalasi pendukung sebanyak 8 karya ini menjadi penting karena dapat menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bisa menjadi seorang seniman yang hebat dan sukses dalam hidup ketika mendapatkan treatment dengan benar.
“Di pameran ini, Edo bercerita tentang proses menjadi seperti saat ini,” katanya kepada Hypeabis.id.
Edo Makarim (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Dalam berkarya, sang seniman terlihat menggunakan pendekatan realis dengan ide dan komposisi kontemporer. Pendekatan realis itu juga terlihat ketika sang seniman membuat sebuah karya abstrak.
Menikmati Proses Kreatif
Pria yang juga pernah berpameran di Galeri Nasional Indonesia itu mulai diperkenalkan dengan gaya abstrak. Namun, perkenalan itu baru sebatas terapi untuk bersenang-senang. “Edo masih menikmati proses kreatif yang sifatnya realis,” katanya.
Sang seniman mampu membuat karya seni realis melalui proses yang tidak mudah mengingat saat kecil memiliki gangguan motorik yang cukup parah. Dia mampu menjadi seperti saat ini dan menghasilkan karya dengan baik lantaran latihan motorik yang dilakukan terus-menerus.
Dia menuturkan, karya yang dihasilkan oleh sang seniman merupakan hasil karya sendiri tanpa sentuhan ulang dari orang lain. Sebagai pendamping, pria yang kerap disapa Toto ini hanya memberikan sejumlah masukan kecil, seperti letak bayangan yang kurang atau penegasan di bagian tertentu.
Saat berkarya, sang seniman bisa menyelesaikan satu karya dengan beragam waktu lantaran tidak mengerjakan satu karya sampai selesai. “Jadi, dia provokasi kanvas,” katanya.
Edo bisa mengerjakan karya yang berbeda-beda dalam satu waktu. Kondisi ini membuat satu karya dapat selesai dalam waktu 3 bulan atau satu tahun. Dia bisa menyelesaikan satu karya dalam satu minggu jika senang dengannya. Menurutnya, sang seniman tidak memosisikan karya seperti sebuah pesanan. Dia memosisikan karya sebagai sebuah bentuk ungkapan perasaan dan berekspresi.
Lukisan Kancing (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Pada saat yang sama, orang tua seniman, yakni Agus Basuki Yanuar mengungkapkan awal Edo melukis adalah ketika berusia lima tahun saat diperkenalkan dengan guru lukis. Namun, dia telah mengenal gambar sejak usia empat tahun.
Agus memperkenalkan gambar kepada sang seniman sebagai cara berkomunikasi lantaran terlambat berbicara. Diri kerap membuat gambar dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki seperti komik untuk menceritakan tentang apa yang dilihat seperti saat setelah jalan-jalan.
Edo mulai menggambar sendiri apa yang dilihat ketika sudah bisa menggambar saat belum bisa berbicara. Pada saat itu, Agus menerjemahkan apa yang dilihat oleh sang anak. “Jadi, awalnya gambar adalah bahasa komunikasi dia [Edo] yang pertama,” katanya.
Lukisan sang seniman mulai membaik ketika berkenalan dengan guru lukis. Tidak hanya itu, lukisan yang pada awalnya menjadi media komunikasi berubah menjadi media ekspresi.
Edo mulai lebih percaya diri dan mulai melukis selain mengikuti terapi yang lain. Kemudian, Agus juga membuat semacam sanggar guna mendukung sang anak di ruko yang dimiliki.
Baca juga: 5 Seniman dengan Autisme Unjuk Karya Seni dalam Pameran Amal
Selain untuk sang anak, sanggar itu juga mengundang peserta lukis lainnya, baik untuk terapi bagi individu dengan kebutuhan khusus maupun ekspresi seni peserta yang tidak memiliki kebutuhan khusus.
Sampai saat ini, sudah banyak karya yang dihasilkan oleh Edo dan beberapa di antaranya sudah menjadi koleksi kolektor. Sang seniman juga tercatat telah melakukan sejumlah pameran. Salah satunya adalah Festival Bebas Batas bertajuk Pokok di Ambang Batas di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2018 silam.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.