Inhaler merupakan salah satu alat paling banyak dipakai penderita asma (Sumber gambar: Unsplash/Sahej Brar)

Berisiko Ketergantungan, Inhaler Sudah Tidak Direkomendasikan Bagi Pasien Asma

11 May 2023   |   08:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Asma merupakan salah satu penyakit yang banyak menjangkiti masyarakat. Data Studi Global Burden of Disease (GBD) mencatat, pada 2019 diperkirakan terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, dengan faktor penting di mana inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit. 

Sementara itu, di Indonesia jumlah penderita asma diperkirakan mencapai 18 juta orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun menyatakan, sebanyak 57,5 persen pasien asma di Tanah Air pun masih berisiko mengalami serangan asma berdasarkan data yang dihimpun dalam Riskesdas 2018. 

“Kita harus bergandengan tangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang asma,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Eva Susanti belum lama ini.

Baca juga: Penderita Asma Disarankan Kurangi Penggunaan Inhaler, Ini Alasannya

Salah satu penyebab tingginya angka tersebut dikarenakan sebesar 37 persen pasien asma di Indonesia, diresepkan inhaler pelega Short-Acting Beta-Agonist (SABA) sekitar tiga kanister per tahun. Namun Eva menyatakan, berdasarkan studi SABINA (SABA Use in Asthma), jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih parah. 

Laporan strategi dari Global Initiative for Asthma (GINA) pada 2019-2022 pun menyatakan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin,  bahkan hanya dalam satu atau dua minggu, justru kurang efektif dan menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan. 

“Ketika pasien asma terlalu bergantung pada inhaler pelega SABA, mereka berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, dan dalam beberapa kasus mengalami kematian,” imbuh Eva. 

Sementara itu, dokter spesialis paru, HM Yanuar Fajar mengatakan, obat pelega jenis SABA memang dapat membantu saat terjadi serangan asma, tapi tidak efektif untuk pengobatan. Namun, penggunaan inhaler pelega SABA juga berisiko tinggi membuat pasien mengalami serangan asma. 

"Pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, karena SABA tidak dapat mengatasi peradangan yang mendasari asma," kata Yanuar.

Menurutnya para ahli asma percaya bahwa "paradoks asma" merupakan faktor penting dalam tantangan penanganan asma. Menurut Yanuar, ketergantungan yang berlebihan terhadap inhaler pelega SABA telah dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit karena obat jenis ini telah menjadi lini pertama terapi asma selama lebih dari setengah abad. 

Oleh karenanya, alih-alih hanya mengandalkan inhaler, dia meminta masyarakat untuk juga mendapat pengobatan yang mengandung ICS atau anti radang dan anti inflamasi, misalnya lewat kombinasi ICS-Formoterol. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko serangan asma. 

Kemenkes pun, tutur Eva saat akan terus berupaya melakukan transformasi pada sistem kesehatan di Tanah Air. Dia pun berharap keterlibatan pihak swasta dalam mensosialisasikan terkait pengobatan yang baik bagi penderita asma bisa meningkatkan kualitas hidup pasien agar lebih sehat dan produktif.

“Kampanye setop ketergantungan merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang asma. Kami berharap kampanye ini dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di Indonesia untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik, jelas Eva. 

Baca juga: Kenali Gejala PPOK, Mirip Asma Tetapi Lebih Berbahaya

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah

SEBELUMNYA

Profil Goenawan Mohamad Penyair Multitalenta Indonesia

BERIKUTNYA

Rampung Digelar, Cek 6 Pengumuman Terbesar di Ajang Google I/O 2023

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: