Ilustrasi Inhaler (sunber gambar Unsplash/ Sincerly Media)

Penderita Asma Disarankan Kurangi Penggunaan Inhaler, Ini Alasannya

10 May 2023   |   19:51 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Penderita asma biasanya tidak bisa lepas dari inhaler, alat pelega untuk mengatasi sesak napas yang datang tiba-tiba. Nebulizer ini merupakan janis dari Short-Acting Beta-Agonist (SABA) yang banyak digunakan masyarakat Indonesia.

Namun, penggunaan inhaler justru sering menjadi berlebihan di masyarakat. Alih-alih dapat meredakan, justru semakin memperparah penyakit tersebut, karena dapat membuat lebih banyak peradangan pada saluran napas pasien.

Baca juga: Kenali Gejala PPOK, Mirip Asma Tetapi Lebih Berbahaya

Dokter spesialis paru, HM Yanuar Fajar mengatakan, obat pelega jenis SABA memang dapat membantu saat terjadi serangan asma, tapi tidak efektif untuk pengobatan. Namun penggunaan inhaler pelega SABA juga berisiko tinggi membuat pasien mengalami serangan asma. 

"Pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, karena SABA tidak dapat mengatasi peradangan yang mendasari asma," kata Yanuar dalam talkshow  bertajuk Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma yang diikuti secara daring pada Rabu, (10/5/23).

Asma adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan akibat radang kronis yang menyebabkan penyempitan pada saluran napas. Penyebab asma juga beragam, mulai dari riwayat keluarga, alergi, pajanan kerja akibat zat kimia, uap atau asap, rokok hingga polusi udara.

"Biasanya gejala yang dirasakan penderita berupa sesak napas, sulit bernapas, batuk, batuk timbul hilang ketika malam hari, mengi, dan dada terasa berat," imbuhnya. 

Asma memerlukan pengobatan yang lebih tepat alih-alih hanya mengandalkan inhaler.Sebagai gantinya, pasien asma menurut Yanuar harus mendapat pengobatan yang mengandung ICS atau anti radang dan anti inflamasi. Misalnya lewat kombinasi ICS-Formoterol, untuk mengurangi risiko serangan asma. 

Selain itu, pasien asma juga dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat. "Jadi, bukan hanya mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul," jelas Yanuar.

Berdasarkan data dalam Studi Global Burden of Disease (GBD) pada 2019 diperkirakan terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, dengan faktor penting di mana inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit. 

Di Indonesia hingga saat ini masih banyak sekali pasien asma cenderung memilih untuk menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan dengan inhaler dengan kandungan ICS (anti-inflamasi melalui inhaler). 

“Berdasarkan studi SABINA (SABA Use in Asthma) menunjukkan bahwa 37 persen pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega SABA kurang dari atau sama dengan tiga kanister per tahun, yang justru dapat meningkatkan risiko serangan asma yang lebih parah,” katanya. 

Dari sinilah dia pun mengimbau pasien asma untuk mulai melepas ketergantungan terhadap obat inhaler SABA. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien asma di Indonesia

"Kampanye ini bertujuan untuk mengukur risiko ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA dan untuk menjembatani diskusi antara tenaga kesehatan profesional dan pasien asma untuk pengobatan asma yang optimal," kata Yanuar.

Baca juga: Manfaat Olahraga Bagi Penderita Asma & Obesitas

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

aespa Bakal Gelar Konser Perdana di Jakarta pada Juni 2023, Catat Tanggalnya

BERIKUTNYA

Profil Drummer Coldplay Will Champion, Anak Arkeolog yang Kepincut Musik

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: