Menyusuri Memori Tubuh Perempuan dalam Pameran Kolektif Sharira
03 May 2023 |
07:26 WIB
1
Like
Like
Like
Delapan patung figur perempuan menyita perhatian di ruang pameran di Cemara 6 Galeri-Toeti Heraty Museum. Bentuk-bentuk patung yang terbuat dari material resin dengan berbagai ukuran itu menampilkan berbagai gestur dan ekspresi perempuan.
Oleh sang perupa, Labaika Adkha Maharani, seri karya ini diberi judul Perempuan dan Kekerasan. Seperti judulnya, patung-patung ini tampak secara gamblang menampilkan berbagai ekspresi dan gestur yang merupakan respons manakala perempuan mendapatkan kekerasan mulai dari takut, sedih, panik, marah, tertekan, hingga depresi. Tak sulit untuk menangkap emosi dari tiap-tiap patung yang begitu kuat.
Baca juga: Cek 5 Pameran Seni Rupa Sepanjang Mei 2023
Bagi Labaika, kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Selain menjadi hantu yang menggentayangi hidup perempuan pasca kejadian, ingatan mengenai pengalaman sebagai korban kekerasan seksual juga menjadikan hidup korban tidak akan lagi sama seperti sebelumnya.
Dalam membuat karyanya ini, Labaika menemukan dan mencatat beberapa dampak psikologis perempuan korban kekerasan seksual yang diantaranya adalah depresi jangka panjang, gangguan stres pasca trauma, mencelakai diri sendiri, sikap disosiatif dan serangan panik.
"Seri karya patung ini menampilkan gambaran dari pengalaman perempuan [yang mengalami] kekerasan seksual yang ditampilkan secara verbal melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh," katanya.
Patung itu hanyalah satu dari 21 karya yang dipamerkan dalam eksibisi kolektif bertajuk Sharira yang digagas oleh Cemara 6 Galeri-Toeti Heraty Museum dengan Girls Pay The Bills, kelompok perempuan yang bergerak di bidang seni. Nama Sharira sendiri diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti tubuh.
Melalui pameran ini, lima perupa perempuan yang terlibat kembali membuka diskusi tentang tubuh, pengalaman, dan cara mereka memotret serta upaya penerjemahannya ke dalam karya sesi. Kelima perupa tersebut yakni Aulia Murid Sasongko, Labaika Adkha Maharani, Poppy Indah Yanuar, Ressa Rizky Mutiara, dan Shavira Mada.
Pameran ini berangkat dari kesadaran dan atensi para perupa pada ingatan personal dan temuan tentang ketidakadilan atas tubuh mereka maupun individu di sekitarnya. Latar belakang yang berbeda dan ingatan yang beragam dihimpun untuk menciptakan momen ‘bangun’ bersama.
Pasalnya, sejak dulu, perjalanan perempuan dan tubuhnya telah mengalami berbagai tantangan dan perubahan sepanjang sejarah. Dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai milik pria dan diperlakukan sebagai objek seksual semata. Hal ini bermuara pada rasa tidak nyaman dan tidak aman yang dirasakan oleh para perempuan dalam melihat dan mengekspresikan tubuh mereka sendiri.
Melalui karya seni, pameran ini menantang pandangan patriarki yang mempersempit definisi kecantikan dan idealisasi tubuh perempuan, serta mengekspos tekanan sosial yang ditempatkan pada perempuan untuk memenuhi standar tersebut. Bahwa tubuh perempuan tidak hanya seonggok anatomi tubuh yang menjadi objek fantasi atau birahi laki-laki.
Misalnya dalam seri karya lukisan bertajuk Shasli karya perupa Shavira Mada. Karya-karyanya berawal dari keresahan sang perupa yang melihat adanya ketidakadilan di dalam masyarakat atas kasus-kasus yang menimpa para calon ibu yang harus mengalami keguguran saat mengandung.
Ketidakadilan tersebut berangkat dari stigma masyarakat yang kerap menyalahkan sang ibu ketika hal tersebut terjadi. Di sisi lain, calon ibu juga mesti berjuang dengan perasaan sedih atas kehilangan calon bayinya. Beban yang bertumpuk yang dialami ibu di ranah domestik inilah yang menggugah Shavira untuk mengangkat isu ini ke permukaan.
Melalui seri karya Shasli, Mada menciptakan sebuah semesta alternatif dimana para jiwa yang gagal hidup di Bumi manusia, dapat memiliki rumah yang aman dan nyaman. Semesta yang senantiasa merawat siapa pun yang hidup di dalamnya. Hal ini tampak pada beberapa karyanya seperti Shasli In The Sun (2022), Sore Hari Bersama Shasli (2021), dan Ibu Rawa (2021).
Ekspresi lain tentang tubuh juga tertuang dalam karya lukis perupa Poppy Indah Yanuar berjudul The Truth Seeker (2023). Dalam lukisan berdimensi 100 cm x 90 cm itu, sang perupa mencoba mengurai beragam pertanyaan tentang nilai-nilai perempuan dalam sudut pandang sosial, sesederhana bagaimana perempuan dinilai berdasarkan penampilan semata.
Tiga sosok perempuan yang ditampilkannya dengan bentuk, sudut pandang dan tempat yang berbeda tampak mewakili cara perempuan beradaptasi dengan penilaian-penilaian tentang tubuh yang berasal dari luar diri mereka sendiri. Sementara raut wajah pada ketiga sosok itu tampak menyiratkan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai perempuan yang kerap berkecamuk dalam diri mereka.
Tak hanya dalam bentuk karya patung dan lukisan, wujud keresahan perupa juga tampil dalam bentuk pertunjukan seni. Koreografer Ressa Rizky Mutiara, dalam karya perfomans-nya berjudul PT ASI. Tbk, menampilkan pergulatan ibu menyusui di lingkup ruang kerja.
Ressa kerap menjumpai bahwa perempuan yang memiliki beban ganda untuk bekerja sekaligus tetap memastikan kebutuhan air susu ibu (ASI) bagi anaknya kerap mendapatkan stigma yang memberatkan seperti dianggap membuat dinamika kerja tidak seimbang. Ironisnya, di tengah stigma itu, perempuan juga masih dituntut untuk memenuhi kebutuhan ASI secara penuh dan maksimal.
Berangkat dari pergulatan itu, sang seniman membuat karya performans yang menggambarkan beban ganda seorang perempuan di tengah dinamika bekerja dan memberi ASI dengan representasi buruh pabrik susu. Dalam pertunjukannya, Ressa menjadi sosok ibu memakai pakaian pabrik dan ‘mengemas’ ASI secara konstan dalam durasi satu jam.
Melalui karyanya ini, sang seniman menggambarkan kontinuitas produksi ASI di lingkup kerja, dengan segala tekanannya untuk mengemas susu sebanyak-banyaknya. “Karya ini mempertanyakan soal hakikat seorang ibu dan kelayakannya dalam lingkup professional maupun lingkup domestik," kata Ressa.
Art Director Pameran Sharira, Bagus Purwoadi, mengatakan melalui pameran Sharira, pihaknya ingin memberikan ruang yang luas bagi perupa perempuan dalam menampilkan karya-karya seni mereka. Hal ini juga sejalan dengan gagasan Cemara 6 Galeri yang didirikan budayawan Toeti Heraty yakni untuk mendukung para perupa perempuan yang cenderung tidak masif muncul ke permukaan.
"Jadi sampai kesini-sini, secara politis, program-program [Cemara 6 Galeri] keberpihakannya pada perupa-perupa perempuan," terangnya.
Bagus menilai bahwa tema tubuh yang diangkat dalam pameran ini cukup penting untuk menjadi bahan diskusi bersama di tengah masyarakat. Pasalnya, jika berkaca pada sejarah seni rupa di Indonesia, potret tubuh perempuan dalam karya seni dengan berbagai medium, kerap digambarkan melalui mata atau sudut pandang laki-laki sebagai subjek yang elok.
Sebaliknya, dalam pameran ini, kelima perupa perempuan justru menampilkan potret perempuan dengan sudut pandang dan pengalaman yang dilihat atau dialami oleh mereka sendiri dengan berbagai problematika yang menyertainya. Dengan kata lain, melalui karya seni, para perupa mencoba mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai perempuan.
Meskipun, tak dipungkiri, Bagus menerangkan bahwa upaya menghimpun dan menelusuri ingatan personal para perupa yang terlibat dalam pameran ini bukanlah sesuatu yang ringan. "Percakapan intens dengan para perupa membangkitkan emosi yang kuat, seringkali pendengar dapat merasakan rasa pilu atas kejadian-kejadian yang mendasari penciptaan karya," jelasnya.
Baca juga: Menelusuri Ruang Imajiner Perupa Rahayu Retnaningrum dalam Pameran Tension Attention
Editor: Gita Carla
Oleh sang perupa, Labaika Adkha Maharani, seri karya ini diberi judul Perempuan dan Kekerasan. Seperti judulnya, patung-patung ini tampak secara gamblang menampilkan berbagai ekspresi dan gestur yang merupakan respons manakala perempuan mendapatkan kekerasan mulai dari takut, sedih, panik, marah, tertekan, hingga depresi. Tak sulit untuk menangkap emosi dari tiap-tiap patung yang begitu kuat.
Baca juga: Cek 5 Pameran Seni Rupa Sepanjang Mei 2023
Bagi Labaika, kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Selain menjadi hantu yang menggentayangi hidup perempuan pasca kejadian, ingatan mengenai pengalaman sebagai korban kekerasan seksual juga menjadikan hidup korban tidak akan lagi sama seperti sebelumnya.
Dalam membuat karyanya ini, Labaika menemukan dan mencatat beberapa dampak psikologis perempuan korban kekerasan seksual yang diantaranya adalah depresi jangka panjang, gangguan stres pasca trauma, mencelakai diri sendiri, sikap disosiatif dan serangan panik.
"Seri karya patung ini menampilkan gambaran dari pengalaman perempuan [yang mengalami] kekerasan seksual yang ditampilkan secara verbal melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh," katanya.
Koleksi karya di pameran kolektif Sharira (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Melalui pameran ini, lima perupa perempuan yang terlibat kembali membuka diskusi tentang tubuh, pengalaman, dan cara mereka memotret serta upaya penerjemahannya ke dalam karya sesi. Kelima perupa tersebut yakni Aulia Murid Sasongko, Labaika Adkha Maharani, Poppy Indah Yanuar, Ressa Rizky Mutiara, dan Shavira Mada.
Pameran ini berangkat dari kesadaran dan atensi para perupa pada ingatan personal dan temuan tentang ketidakadilan atas tubuh mereka maupun individu di sekitarnya. Latar belakang yang berbeda dan ingatan yang beragam dihimpun untuk menciptakan momen ‘bangun’ bersama.
Pasalnya, sejak dulu, perjalanan perempuan dan tubuhnya telah mengalami berbagai tantangan dan perubahan sepanjang sejarah. Dalam masyarakat patriarki, tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai milik pria dan diperlakukan sebagai objek seksual semata. Hal ini bermuara pada rasa tidak nyaman dan tidak aman yang dirasakan oleh para perempuan dalam melihat dan mengekspresikan tubuh mereka sendiri.
Melalui karya seni, pameran ini menantang pandangan patriarki yang mempersempit definisi kecantikan dan idealisasi tubuh perempuan, serta mengekspos tekanan sosial yang ditempatkan pada perempuan untuk memenuhi standar tersebut. Bahwa tubuh perempuan tidak hanya seonggok anatomi tubuh yang menjadi objek fantasi atau birahi laki-laki.
Misalnya dalam seri karya lukisan bertajuk Shasli karya perupa Shavira Mada. Karya-karyanya berawal dari keresahan sang perupa yang melihat adanya ketidakadilan di dalam masyarakat atas kasus-kasus yang menimpa para calon ibu yang harus mengalami keguguran saat mengandung.
Ketidakadilan tersebut berangkat dari stigma masyarakat yang kerap menyalahkan sang ibu ketika hal tersebut terjadi. Di sisi lain, calon ibu juga mesti berjuang dengan perasaan sedih atas kehilangan calon bayinya. Beban yang bertumpuk yang dialami ibu di ranah domestik inilah yang menggugah Shavira untuk mengangkat isu ini ke permukaan.
Melalui seri karya Shasli, Mada menciptakan sebuah semesta alternatif dimana para jiwa yang gagal hidup di Bumi manusia, dapat memiliki rumah yang aman dan nyaman. Semesta yang senantiasa merawat siapa pun yang hidup di dalamnya. Hal ini tampak pada beberapa karyanya seperti Shasli In The Sun (2022), Sore Hari Bersama Shasli (2021), dan Ibu Rawa (2021).
Koleksi karya di pameran kolektif Sharira (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Tiga sosok perempuan yang ditampilkannya dengan bentuk, sudut pandang dan tempat yang berbeda tampak mewakili cara perempuan beradaptasi dengan penilaian-penilaian tentang tubuh yang berasal dari luar diri mereka sendiri. Sementara raut wajah pada ketiga sosok itu tampak menyiratkan pertanyaan-pertanyaan tentang nilai perempuan yang kerap berkecamuk dalam diri mereka.
Tak hanya dalam bentuk karya patung dan lukisan, wujud keresahan perupa juga tampil dalam bentuk pertunjukan seni. Koreografer Ressa Rizky Mutiara, dalam karya perfomans-nya berjudul PT ASI. Tbk, menampilkan pergulatan ibu menyusui di lingkup ruang kerja.
Ressa kerap menjumpai bahwa perempuan yang memiliki beban ganda untuk bekerja sekaligus tetap memastikan kebutuhan air susu ibu (ASI) bagi anaknya kerap mendapatkan stigma yang memberatkan seperti dianggap membuat dinamika kerja tidak seimbang. Ironisnya, di tengah stigma itu, perempuan juga masih dituntut untuk memenuhi kebutuhan ASI secara penuh dan maksimal.
Berangkat dari pergulatan itu, sang seniman membuat karya performans yang menggambarkan beban ganda seorang perempuan di tengah dinamika bekerja dan memberi ASI dengan representasi buruh pabrik susu. Dalam pertunjukannya, Ressa menjadi sosok ibu memakai pakaian pabrik dan ‘mengemas’ ASI secara konstan dalam durasi satu jam.
Melalui karyanya ini, sang seniman menggambarkan kontinuitas produksi ASI di lingkup kerja, dengan segala tekanannya untuk mengemas susu sebanyak-banyaknya. “Karya ini mempertanyakan soal hakikat seorang ibu dan kelayakannya dalam lingkup professional maupun lingkup domestik," kata Ressa.
Art Director Pameran Sharira, Bagus Purwoadi, mengatakan melalui pameran Sharira, pihaknya ingin memberikan ruang yang luas bagi perupa perempuan dalam menampilkan karya-karya seni mereka. Hal ini juga sejalan dengan gagasan Cemara 6 Galeri yang didirikan budayawan Toeti Heraty yakni untuk mendukung para perupa perempuan yang cenderung tidak masif muncul ke permukaan.
"Jadi sampai kesini-sini, secara politis, program-program [Cemara 6 Galeri] keberpihakannya pada perupa-perupa perempuan," terangnya.
Bagus menilai bahwa tema tubuh yang diangkat dalam pameran ini cukup penting untuk menjadi bahan diskusi bersama di tengah masyarakat. Pasalnya, jika berkaca pada sejarah seni rupa di Indonesia, potret tubuh perempuan dalam karya seni dengan berbagai medium, kerap digambarkan melalui mata atau sudut pandang laki-laki sebagai subjek yang elok.
Sebaliknya, dalam pameran ini, kelima perupa perempuan justru menampilkan potret perempuan dengan sudut pandang dan pengalaman yang dilihat atau dialami oleh mereka sendiri dengan berbagai problematika yang menyertainya. Dengan kata lain, melalui karya seni, para perupa mencoba mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai perempuan.
Meskipun, tak dipungkiri, Bagus menerangkan bahwa upaya menghimpun dan menelusuri ingatan personal para perupa yang terlibat dalam pameran ini bukanlah sesuatu yang ringan. "Percakapan intens dengan para perupa membangkitkan emosi yang kuat, seringkali pendengar dapat merasakan rasa pilu atas kejadian-kejadian yang mendasari penciptaan karya," jelasnya.
Baca juga: Menelusuri Ruang Imajiner Perupa Rahayu Retnaningrum dalam Pameran Tension Attention
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.