Menelusuri Ruang Imajiner Perupa Rahayu Retnaningrum dalam Pameran Tension Attention
25 April 2023 |
13:15 WIB
1
Like
Like
Like
Proses deurbanisasi yang dialami oleh perupa Rahayu Retnaningrum membawanya pada pengalaman, pandangan, dan permenungan baru dalam hidupnya. Pindah dari lingkungan hiruk pikuk di perkotaan yang merupakan tempat tinggalnya sejak kecil ke suasana pedesaan yang dekat dengan alam, membuatnya mengalami proses pendewasaan.
Hasilnya, dia tuangkan ke dalam 12 karya lukisan terbarunya yang ditampilkan dalam pameran tunggal Tension Attention yang dihelat di Artsphere Gallery. Seluruh koleksi lukisannya merupakan perpaduan antara bidang-bidang geometris dan bentuk-bentuk organis dengan warna yang menyala.
Tiap lukisannya merupakan sebuah ruang imajiner sang seniman yang menggabungkan pandangan serta memorinya tentang kehidupan gemerlap perkotaan dan suasana yang lekat dengan alam seperti yang saat ini dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Di atas kanvas, dia lukiskan ketegangan itu dengan lembut namun di sisi lain tampak seperti visual futuristik.
Baca juga: Perupa Rahayu Retnaningrum Gelar Pameran Tunggal Perdana Tension Attention di Artsphere Gallery
Karya-karya lukisan Rahayu dalam koleksi pameran ini amat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Lahir dan tumbuh di Jakarta yang sesak oleh gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai gaya dan ukuran, dia berusaha mendekati lanskap tersebut secara mendalam dengan mengamati detail konstruksinya. Pendekatan tersebut tampak pada karya-karya awal Rahayu, dengan lanskap arsitekturalnya yang demikian rinci dan presisi.
Lingkungan berikutnya adalah tempat tinggalnya di Cimanggu, Cilacap. Sebuah daerah yang terletak di kaki perbukitan yang subur dan hijau. Di sana, dia menyaksikan alam yang sama sekali berbeda dari lingkungan sebelumnya di Jakarta. Dia takjub dengan bentuk-bentuk alam organik dari tekstur pohon dan bebatuan, kicau burung-burung, wajah bulan di punggung bukit, hingga langit senja yang megah dan rupawan.
Pertemuan dua lanskap alam yang berbeda tersebut lantas melahirkan visualisasi berupa karya-karya yang tampil dalam pameran ini. Bidang-bidang geometris yang sebelumnya dia saksikan pada gedung-gedung di Jakarta dipadukan dengan lingkungan alam di pegunungan Cimanggu.
Kontras tersebut lantas menciptakan daya tarik tersendiri dari lukisan-lukisannya, sebagaimana tampak pada hubungan yang saling memotong antar berbagai bidang, figur, cahaya dan suasana. Bidang-bidang geometris yang hadir menjadi simbol dari perkotaan, sementara bentuk-bentuk organik seperti pohon, gunung, sungai, bebatuan, hingga tebing mewakili suasana pedesaan itu sendiri.
Rahayu mengatakan bahwa ketegangan antara lanskap perkotaan dan perdesaan dalam karya-karyanya berawal dari banyaknya orang di desa tempat tinggalnya saat ini yang menganggap bahwa gemerlap perkotaan merupakan keindahan bagi mereka. Sementara baginya, sebagai seseorang yang lama tinggal di kota, keindahan yang sejati justru ada pada lanskap alam di pedesaan yang asri.
Perbedaan perspektif inilah yang dia rangkum seperti judul pameran ini yaitu Tension Attention, ketegangan dari perhatian atau sudut pandang yang berbeda. "Dalam karya-karya ini, aku menggabungkan dua perspektif bagaimana orang desa melihat kota begitupun orang kota melihat desa. Keindahan versi masyarakat desa dan urban," katanya kepada Hypeabis.id.
Dalam beberapa karya, dua perspektif yang kontras itu tampak jelas. Misalnya dalam lukisan berjudul Full Moon Dinner, Hallway dan Quarter Moon yang semuanya dibuat pada tahun 2022. Lukisan-lukisan tersebut memadukan berbagai unsur bidang geometris dengan berbagai ukuran, namun di salah satu sisinya menampilkan lanskap pegunungan khas pedesaan lengkap dengan sungai lengkap dengan berbagai tanaman.
Koleksi karya di pameran tunggal ini juga menjadi kali pertama bagi Rahayu untuk bereksplorasi dengan warna-warna neon yang menyala. Pada karya-karya sebelumnya yang mengulik tentang bentuk-bentuk elemen konstruksi bangunan didominasi oleh warna-warna monokrom yang tampak muram.
Bukan tanpa alasan, warna-warna monokrom itu merupakan hasil dari tangkapan visual sang seniman yang melihat ruang-ruang perkotaan yang padat. Pergerakan kota yang cepat dan polusi kendaraan yang tak terhindarkan tertuang dalam karya-karya terdahulunya.
Namun, pandemi yang terjadi dan membuat ruang gerak sosial nya terbatas kala itu membuat Rahayu mulai merasa jenuh dengan warna-warna monokrom yang selama ini dieksplorasinya. Akhirnya, sejak tahun 2020, dia mulai bermain dengan warna-warna yang menyala dalam membuat karya-karyanya. "Itu [warna] menjadi mediaku untuk mengurangi stres," ucap perupa lulusan Institut Teknologi Bandung itu.
Di samping itu, lanskap pedesaan yang asri dan menawarkan nuansa alam yang indah juga menjadi inspirasi Rahayu untuk melukis dengan warna-warna yang menyala dan kontras. Dia bisa melihat langit senja dengan warna jingga yang menyala, begitupun ketika malam masih bisa melihat bulan dan bintang yang berpijar. Semua hasil tangkapan visualnya itu, dia tuangkan ke dalam karya-karyanya.
Menariknya, Rahayu juga tampak memberikan sorotan kepada figur hewan kucing dalam karya-karyanya ini, di samping hadir pula binatang lain seperti burung. Ada alasan tersendiri mengapa dia menghadirkan hewan peliharaan populer itu dalam karya-karyanya.
Awalnya, sang seniman takut dengan kucing. Namun, sejak tinggal di desa dimana banyak kucing yang berkeliaran, dia justru menjadi memiliki ketertarikan pada hewan yang sering disebut anabul (anak bulu) itu. Dari kucinglah, dia mengaku belajar arti kelembutan dan kesabaran, dua sifat yang bertolak belakang dengan kehidupannya di perkotaan yang menuntutnya serba cepat.
Selain itu, menurut Rahayu, kucing juga memiliki sifat sebagai hewan yang kemanapun mereka pergi, selalu memiliki kesadaran untuk pulang ke rumah pemiliknya. Begitupun dirinya, sejauh apapun dia pergi meninggalkan tempat tinggalnya, dia akan selalu memiliki tempat yang disebutnya sebagai rumah yang memberikan kenyamanan.
Pada kesempatan terpisah, Kurator Faisal Kamandobat menilai karya-karya Rahayu dalam pameran Tension Attention merupakan hasil kontemplasi yang intens tentang alam, baik alam yang masih bertahan kemurnian dan kesakralannya maupun alam yang berubah seiring dengan perkembangan arsitektur modern dalam mewarnai peradaban.
Dua lanskap alam tersebut, paparnya, disatukan dengan penuh perhitungan mulai dari tema, komposisi, akustik hingga tahapan abstraksinya. Hasilnya adalah karya-karya yang seimbang antara elemen organik dan geometris, juga antara unsur realis dan fantastis yang senantiasa mengajak audiens 'bermeditasi' di tengah ruang-ruang puitisnya.
Dengan latar belakang seperti itu, Faisal melihat karya-karya Rahayu lebih dari sekadar potret realitas natural dan arsitektural tertentu, melainkan sebuah realitas baru yang lahir dari usahanya yang sungguh-sungguh dalam mengalami, menjalani, dan memberi makna terhadap alam di sekitar sang seniman.
"Dalam melukis, Rahayu telah menjadi subjek yang aktif di hadapan dunia serta berbagai fenomena yang mengiringinya," katanya.
Baca juga: Melihat Pergulatan & Harapan Perupa Suvi Wahyudianto dalam Pameran Di Antara Tapal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Hasilnya, dia tuangkan ke dalam 12 karya lukisan terbarunya yang ditampilkan dalam pameran tunggal Tension Attention yang dihelat di Artsphere Gallery. Seluruh koleksi lukisannya merupakan perpaduan antara bidang-bidang geometris dan bentuk-bentuk organis dengan warna yang menyala.
Tiap lukisannya merupakan sebuah ruang imajiner sang seniman yang menggabungkan pandangan serta memorinya tentang kehidupan gemerlap perkotaan dan suasana yang lekat dengan alam seperti yang saat ini dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Di atas kanvas, dia lukiskan ketegangan itu dengan lembut namun di sisi lain tampak seperti visual futuristik.
Baca juga: Perupa Rahayu Retnaningrum Gelar Pameran Tunggal Perdana Tension Attention di Artsphere Gallery
Karya-karya lukisan Rahayu dalam koleksi pameran ini amat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Lahir dan tumbuh di Jakarta yang sesak oleh gedung-gedung pencakar langit dengan berbagai gaya dan ukuran, dia berusaha mendekati lanskap tersebut secara mendalam dengan mengamati detail konstruksinya. Pendekatan tersebut tampak pada karya-karya awal Rahayu, dengan lanskap arsitekturalnya yang demikian rinci dan presisi.
Lingkungan berikutnya adalah tempat tinggalnya di Cimanggu, Cilacap. Sebuah daerah yang terletak di kaki perbukitan yang subur dan hijau. Di sana, dia menyaksikan alam yang sama sekali berbeda dari lingkungan sebelumnya di Jakarta. Dia takjub dengan bentuk-bentuk alam organik dari tekstur pohon dan bebatuan, kicau burung-burung, wajah bulan di punggung bukit, hingga langit senja yang megah dan rupawan.
Pertemuan dua lanskap alam yang berbeda tersebut lantas melahirkan visualisasi berupa karya-karya yang tampil dalam pameran ini. Bidang-bidang geometris yang sebelumnya dia saksikan pada gedung-gedung di Jakarta dipadukan dengan lingkungan alam di pegunungan Cimanggu.
Kontras tersebut lantas menciptakan daya tarik tersendiri dari lukisan-lukisannya, sebagaimana tampak pada hubungan yang saling memotong antar berbagai bidang, figur, cahaya dan suasana. Bidang-bidang geometris yang hadir menjadi simbol dari perkotaan, sementara bentuk-bentuk organik seperti pohon, gunung, sungai, bebatuan, hingga tebing mewakili suasana pedesaan itu sendiri.
Beberapa koleksi karya dalam pameran Tension Attention di Artsphere Gallery, Jakarta. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Perbedaan perspektif inilah yang dia rangkum seperti judul pameran ini yaitu Tension Attention, ketegangan dari perhatian atau sudut pandang yang berbeda. "Dalam karya-karya ini, aku menggabungkan dua perspektif bagaimana orang desa melihat kota begitupun orang kota melihat desa. Keindahan versi masyarakat desa dan urban," katanya kepada Hypeabis.id.
Dalam beberapa karya, dua perspektif yang kontras itu tampak jelas. Misalnya dalam lukisan berjudul Full Moon Dinner, Hallway dan Quarter Moon yang semuanya dibuat pada tahun 2022. Lukisan-lukisan tersebut memadukan berbagai unsur bidang geometris dengan berbagai ukuran, namun di salah satu sisinya menampilkan lanskap pegunungan khas pedesaan lengkap dengan sungai lengkap dengan berbagai tanaman.
Koleksi karya di pameran tunggal ini juga menjadi kali pertama bagi Rahayu untuk bereksplorasi dengan warna-warna neon yang menyala. Pada karya-karya sebelumnya yang mengulik tentang bentuk-bentuk elemen konstruksi bangunan didominasi oleh warna-warna monokrom yang tampak muram.
Bukan tanpa alasan, warna-warna monokrom itu merupakan hasil dari tangkapan visual sang seniman yang melihat ruang-ruang perkotaan yang padat. Pergerakan kota yang cepat dan polusi kendaraan yang tak terhindarkan tertuang dalam karya-karya terdahulunya.
Namun, pandemi yang terjadi dan membuat ruang gerak sosial nya terbatas kala itu membuat Rahayu mulai merasa jenuh dengan warna-warna monokrom yang selama ini dieksplorasinya. Akhirnya, sejak tahun 2020, dia mulai bermain dengan warna-warna yang menyala dalam membuat karya-karyanya. "Itu [warna] menjadi mediaku untuk mengurangi stres," ucap perupa lulusan Institut Teknologi Bandung itu.
Beberapa koleksi karya dalam pameran Tension Attention di Artsphere Gallery, Jakarta. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Luke Andaresta)
Menariknya, Rahayu juga tampak memberikan sorotan kepada figur hewan kucing dalam karya-karyanya ini, di samping hadir pula binatang lain seperti burung. Ada alasan tersendiri mengapa dia menghadirkan hewan peliharaan populer itu dalam karya-karyanya.
Awalnya, sang seniman takut dengan kucing. Namun, sejak tinggal di desa dimana banyak kucing yang berkeliaran, dia justru menjadi memiliki ketertarikan pada hewan yang sering disebut anabul (anak bulu) itu. Dari kucinglah, dia mengaku belajar arti kelembutan dan kesabaran, dua sifat yang bertolak belakang dengan kehidupannya di perkotaan yang menuntutnya serba cepat.
Selain itu, menurut Rahayu, kucing juga memiliki sifat sebagai hewan yang kemanapun mereka pergi, selalu memiliki kesadaran untuk pulang ke rumah pemiliknya. Begitupun dirinya, sejauh apapun dia pergi meninggalkan tempat tinggalnya, dia akan selalu memiliki tempat yang disebutnya sebagai rumah yang memberikan kenyamanan.
Pada kesempatan terpisah, Kurator Faisal Kamandobat menilai karya-karya Rahayu dalam pameran Tension Attention merupakan hasil kontemplasi yang intens tentang alam, baik alam yang masih bertahan kemurnian dan kesakralannya maupun alam yang berubah seiring dengan perkembangan arsitektur modern dalam mewarnai peradaban.
Dua lanskap alam tersebut, paparnya, disatukan dengan penuh perhitungan mulai dari tema, komposisi, akustik hingga tahapan abstraksinya. Hasilnya adalah karya-karya yang seimbang antara elemen organik dan geometris, juga antara unsur realis dan fantastis yang senantiasa mengajak audiens 'bermeditasi' di tengah ruang-ruang puitisnya.
Dengan latar belakang seperti itu, Faisal melihat karya-karya Rahayu lebih dari sekadar potret realitas natural dan arsitektural tertentu, melainkan sebuah realitas baru yang lahir dari usahanya yang sungguh-sungguh dalam mengalami, menjalani, dan memberi makna terhadap alam di sekitar sang seniman.
"Dalam melukis, Rahayu telah menjadi subjek yang aktif di hadapan dunia serta berbagai fenomena yang mengiringinya," katanya.
Baca juga: Melihat Pergulatan & Harapan Perupa Suvi Wahyudianto dalam Pameran Di Antara Tapal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.