Sejarawan JJ Rizal Sebut Penamaan Penerbit Indie Keliru, Ini Alasannya
24 April 2023 |
11:17 WIB
Industri perbukuan di Indonesia tercatat terus mengalami pertumbuhan dalam beberapa waktu terakhir. Menurut hasil riset Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020, terdapat lebih dari 5.200 entitas yang menerbitkan buku di Indonesia.
Secara rata-rata, dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 3.280 entitas merupakan perusahaan penerbitan dengan orientasi bisnis baik skala kecil, menengah, maupun besar. Sementara dari jumlah judul buku yang terbit terjadi pertumbuhan secara konsisten dalam 3 tahun terakhir dan dalam persentase yang cukup signifikan.
Dari tahun 2017 ke 2018 terjadi pertambahan jumlah judul buku terbit sebanyak 16.162 judul atau naik 25,8 persen. Sedangkan dari tahun 2018 ke 2019 terjadi pertambahan judul buku terbit sebanyak 16.749 judul atau tumbuh 21,2 persen.
Baca juga: Jadi Oase Buat Penulis, Ini Keuntungan Menerbitkan Buku di Penerbit Independen
Kini, industri perbukuan di Indonesia juga diramaikan dengan kehadiran penerbit independen atau penerbit indie yang kian menjamur. Penerbit indie menjadi pilihan alternatif untuk menerbitkan buku yang bisa dilakukan secara mandiri oleh penulis.
Penerbit independen (indie) atau penerbit mandiri adalah cara alternatif untuk menerbitkan buku atau media yang bisa dilakukan secara mandiri oleh penulis. Pada umumnya, dalam hal penjualan, penerbit independen memiliki pasar yang lebih kecil dibandingkan dengan penerbit mayor atau penerbit besar.
Jumlah penerbit independen semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi penerbitan, termasuk di dalamnya xerografi (fotokopi), sistem print on demand/publish on demand yang memungkinkan seseorang mencetak buku sesuai dengan jumlah permintaan, dan juga situs website.
Ilustrasi buku-buku (Sumber gambar: YJ Lee/Unsplash)
Meski memiliki pangsa pasar yang lebih kecil, penerbit indie umumnya menawarkan fleksibilitas dalam proses penerbitan buku, termasuk memungkinkan untuk mencetak beragam konten buku yang mungkin jarang atau tidak diterbitkan oleh penerbit mayor atau besar.
Kendati demikian, menurut sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Bambu, JJ Rizal, penamaan independen atau indie yang disematkan kepada sejumlah penerbit justru membuat jarak yang semakin menganga antara buku dengan pembacanya atau masyarakat luas.
Seolah ada anggapan bahwa buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit indie adalah koleksi yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir kalangan lantaran kerap menerbitkan buku-buku dengan konten yang tidak umum atau populer.
"Problem-nya buku dianggap barang aneh dengan istilah indie. Buku yang diterbitkan dianggap barang kelas elite atau hanya untuk pemikir berat. Ini keliru," kata pria yang akrab disapa Rizal itu.
Padahal, menurutnya, seluruh penerbit dalam skala apapun tetap dianggap sebagai sebuah industri karena menjalani pola kerja produksi penerbitan buku seperti pada umumnya yang membutuhkan tim profesional mulai dari penulis, penerjemah, biaya hak cipta dan royalti, editor, jasa desain sampul dan layout, hingga biaya promosi.
"Setiap penerbit mengambil risiko yang besar secara modal, juga mereka seperti meraba karena tidak memiliki fasilitas untuk tumbuh kembang sebagai sebuah bisnis. Itu problem-nya," ujarnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.