Hypereport: Cerita-Cerita Tak Terungkap tentang Mudik
15 April 2023 |
16:10 WIB
Kota yang penuh dan sesak, tempat para perantau mencari nafkah itu perlahan sepi. Jalanan utama Jakarta yang terasa padat mulai terlihat longgar. Orang-orang mulai bergerak meninggalkan kota menuju desa untuk menemui keluarga tercintanya. Setidaknya itulah gambaran yang biasa terlihat ketika musim mudik tiba.
Arus pergerakan penduduk memang terbilang padat menjelang hari raya Idulfitri. Bahkan, tak sedikit yang rela menempuh perjalanan satu malam demi berkumpul bersama sanak, serta keluarga merayakan momen kemenangan di kampung halaman.
Mobilitas yang besar ini membuat mudik disebut-sebut sebagai budaya nasional. Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia menjadikan hari raya Idulfitri sebagai momen untuk kembali ke desa tempat orang dilahirkan dan dibesarkan.
Tak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini terjadi. Namun, ada pendapat yang menyebut bahwa tradisi ini sebetulnya bermula dari para asisten rumah tangga (ART) yang hendak pulang ke desanya setelah bekerja di kota.
Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi menjelaskan fenomena ini diperkirakan terjadi berkisar 1940 hingga 1950-an. “Mudik itu tradisi yang diberikan oleh majikan kepada para pembantu mereka, untuk memberi istirahat dan tengok keluarga biasanya selama satu minggu, pada 3 hari sebelum lebaran dan 3 hari setelahnya,” jelas Sigit kepada Hypeabis.id.
Fenomena mudik semakin membudaya ketika fase industrialisasi semakin merebak di kota-kota Indonesia. Industrialisasi besar-besaran ini terjadi pada 1970 hingga 1980-an, menyebabkan orang desa bepergian ke kota untuk mencari pekerjaan.
“Tradisi yang mulanya diberikan untuk ART itu kemudian diikuti oleh para buruh yang ada di kota-kota,” lanjutnya. Apalagi, momen kembali ke kampung halaman ini berkaitan dengan perayaan Idulfitri yang merupakan waktu tepat untuk saling bermaafan dengan kerabat terdekat," tambah Sigit.
Dengan besarnya angka perantau di kota, maka mudik menjadi momen pergerakan arus manusia yang besar di hari raya. Sigit menyebut, sekitar 120 juta manusia bergerak kembali ke desa menjelang hari Lebaran.
Kemas Ari Panji, Dewan Pembina Adat & IGI Kota Palembang sekaligus Dosen UIN Raden Fatah Palembang menilai bahwa gerakan massal ini terjadi, karena momen libur bersama yang dimiliki hampir rata-rata pekerja. “Tidak saat momen Lebaran pun pasti ada yang pulang kampung, tapi gerakan bersama inilah yang menciptakan budaya nasional,” jelas Kemas kepada Hypeabis.id.
Menurut Kemas, ada semacam perasaan yang belum komplit ketika para perantau tidak melakukan mudik di mana hal ini terjadi secara masal. Maka terdoronglah mudik sebagai tradisi yang terus membudaya hingga saat ini.
“Ada perasaan yang tidak pas, seperti kurang lengkap kalau tidak pulang kampung. Apalagi ini berkenaan dengan konsep saling memaafkan dengan kerabat terdekat,” imbuh Kemas.
Meski memang kental dengan unsur temu kangen, nyatanya tradisi ini memiliki dampak sosial yang besar lebih dari sekedar tegur sapa kerabat. Sigit menyebut, mudik bisa membuka langkah pertemuan bisnis antar orang-orang desa hingga membuat rencana matang dalam memajukan desa. Misalnya, melakukan perhutanan sosial, membangun desa menjadi desa pariwisata, atau melakukan pemberdayaan sumber daya manusia di desa.
Di sisi lain, Pemerhati Budaya dan Kaum Adat Minangkabau, Indrawan Rajo Taduang menuturkan, sebagai suku yang dikenal memiliki solidaritas erat, Minang kerap membuka perkumpulan besar untuk mengadakan mudik bersama atau yang dikenal dengan istilah pulang basamo. Tradisi pulang basamo sudah dimulai sejak 1960-an oleh masyarakat Minang.
“[Pulang basamo] ini menjadi tradisi lain yang lahir dari tradisi para lelaki di Minang yakni merantau. Sudah dibenamkan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Bagi para lelaki, hidup mereka lebih banyak di luar sebelum akhirnya menginjak dewasa dan diharuskan merantau. Ini sudah seperti ‘kewajiban’ bagi anak laki-laki Minang," jelas Indra kepada Hypeabis.id.
“Banyak kelompok perantau yang mudik bersama berhasil melakukan pembangunan yang terkadang tidak terjangkau oleh pemerintah. MIsalnya membangu jembatan, sekolah, hingga masjid di pelosok-pelosok desa,” imbuh Indra.
Ridwan Harun selaku Tokoh Berpengaruh Minang sekaligus Ketua Umum DPP IKMAL menyebut pentingnya pengenalan budaya asli daerah kepada perantau, khususnya yang telah menikah, melahirkan, dan membesarkan anak-anaknya di perantauan.
Bahwa pengetahuan mengenai kebudayan daerah harus tetap ditanamkan kepada anak dan cucu meski dalam masa perantauan. “Sehingga mereka ini mengetahui, di mana tanah kelahiran orang tuanya dan siapa saudaranya di kampung,” terang Ridwan kepada Hypeabis.id.
Tokoh Minang berupaya mendorong pemuda perantau untuk mendapat pendidikan yang baik, sehingga diharapkan perekonomiannya akan baik. Sehingga pada momen lebaran, para pemuda ini akan menceritakan kesuksesannya kepada pemuda desa untuk mendorong pendidikan dan prestasi di daerah.
“Anak muda perantau kita kumpulkan dalam sebuah acara untuk menceritakan tentang prestasinya di sekolah dan kesuksesan mereka di rantau. Setelah itu mereka akan memutuskan kontribusi seperti apa yang mereka bisa diberikan untuk kampung, apakah dari segi nilai ekonominya, seperti membuka bisnis dan lainnya yang bisa mendorong perekonomian di desa,” tambah Ridwan.
Ridwan menyebut, ada pula yang sengaja merencanakan pesta dan pernikahan anak atau keluarganya di kampung halaman setelah lebaran. Kemajuan ekonomi di kampung ini bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui di samping momen silaturahmi. Banyak orang yang berbelanja di kampung halaman yang membuat perekonomian menjadi hidup.
“Oleh karena itu, orang tua punya peran penting untuk memberitahukan kondisi kampung, baik terkait suasananya, ekonominya, dan sebagainya. Sehingga sang anak punya kesadaran untuk mencintai dan membantu tempat asalnya. Saya rasa ini bisa terjadi karena kita punya adat yang besar,” jelas Ridwan.
Terlepas dari sejarah panjangnya, mudik yang sudah mengakar dan membudaya ini semakin menunjukkan dampak positif. Selain perputaran dana besar yang menghidupkan perekonomian negara, desa-desa pun menantikan momen satu tahun sekali ini.
Belum lagi pengusaha transportasi, usaha kecil dan menengah di sepanjang perjalanan mudik, hingga bisnis kuliner oleh-oleh di daerah yang turut kecipratan rezeki dari tradisi tahunan ini. Terbukti bahwa mudik yang mulanya dikira sebagai ajang silaturahmi saja kini telah memperlihatkan makna yang lebih luas dalam hal kebersamaan dalam memajukan desa.
Baca juga: Inilah 10 Kota Populer Tujuan Mudik 2023, Ada Kampung Halamanmu?
Editor: Dika Irawan
Arus pergerakan penduduk memang terbilang padat menjelang hari raya Idulfitri. Bahkan, tak sedikit yang rela menempuh perjalanan satu malam demi berkumpul bersama sanak, serta keluarga merayakan momen kemenangan di kampung halaman.
Mobilitas yang besar ini membuat mudik disebut-sebut sebagai budaya nasional. Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia menjadikan hari raya Idulfitri sebagai momen untuk kembali ke desa tempat orang dilahirkan dan dibesarkan.
Tak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini terjadi. Namun, ada pendapat yang menyebut bahwa tradisi ini sebetulnya bermula dari para asisten rumah tangga (ART) yang hendak pulang ke desanya setelah bekerja di kota.
Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi menjelaskan fenomena ini diperkirakan terjadi berkisar 1940 hingga 1950-an. “Mudik itu tradisi yang diberikan oleh majikan kepada para pembantu mereka, untuk memberi istirahat dan tengok keluarga biasanya selama satu minggu, pada 3 hari sebelum lebaran dan 3 hari setelahnya,” jelas Sigit kepada Hypeabis.id.
Fenomena mudik semakin membudaya ketika fase industrialisasi semakin merebak di kota-kota Indonesia. Industrialisasi besar-besaran ini terjadi pada 1970 hingga 1980-an, menyebabkan orang desa bepergian ke kota untuk mencari pekerjaan.
“Tradisi yang mulanya diberikan untuk ART itu kemudian diikuti oleh para buruh yang ada di kota-kota,” lanjutnya. Apalagi, momen kembali ke kampung halaman ini berkaitan dengan perayaan Idulfitri yang merupakan waktu tepat untuk saling bermaafan dengan kerabat terdekat," tambah Sigit.
Dengan besarnya angka perantau di kota, maka mudik menjadi momen pergerakan arus manusia yang besar di hari raya. Sigit menyebut, sekitar 120 juta manusia bergerak kembali ke desa menjelang hari Lebaran.
Kemas Ari Panji, Dewan Pembina Adat & IGI Kota Palembang sekaligus Dosen UIN Raden Fatah Palembang menilai bahwa gerakan massal ini terjadi, karena momen libur bersama yang dimiliki hampir rata-rata pekerja. “Tidak saat momen Lebaran pun pasti ada yang pulang kampung, tapi gerakan bersama inilah yang menciptakan budaya nasional,” jelas Kemas kepada Hypeabis.id.
Menurut Kemas, ada semacam perasaan yang belum komplit ketika para perantau tidak melakukan mudik di mana hal ini terjadi secara masal. Maka terdoronglah mudik sebagai tradisi yang terus membudaya hingga saat ini.
“Ada perasaan yang tidak pas, seperti kurang lengkap kalau tidak pulang kampung. Apalagi ini berkenaan dengan konsep saling memaafkan dengan kerabat terdekat,” imbuh Kemas.
Meski memang kental dengan unsur temu kangen, nyatanya tradisi ini memiliki dampak sosial yang besar lebih dari sekedar tegur sapa kerabat. Sigit menyebut, mudik bisa membuka langkah pertemuan bisnis antar orang-orang desa hingga membuat rencana matang dalam memajukan desa. Misalnya, melakukan perhutanan sosial, membangun desa menjadi desa pariwisata, atau melakukan pemberdayaan sumber daya manusia di desa.
Di sisi lain, Pemerhati Budaya dan Kaum Adat Minangkabau, Indrawan Rajo Taduang menuturkan, sebagai suku yang dikenal memiliki solidaritas erat, Minang kerap membuka perkumpulan besar untuk mengadakan mudik bersama atau yang dikenal dengan istilah pulang basamo. Tradisi pulang basamo sudah dimulai sejak 1960-an oleh masyarakat Minang.
“[Pulang basamo] ini menjadi tradisi lain yang lahir dari tradisi para lelaki di Minang yakni merantau. Sudah dibenamkan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Bagi para lelaki, hidup mereka lebih banyak di luar sebelum akhirnya menginjak dewasa dan diharuskan merantau. Ini sudah seperti ‘kewajiban’ bagi anak laki-laki Minang," jelas Indra kepada Hypeabis.id.
Pengenalan Budaya
Senada dengan yang disampaikan Sigit sebagai sosiolog, Indra menyebut mudik bagi masyarakat Minang bukan sekedar pulang menemui orang tua saja. Selain memiliki tujuan untuk mengenalkan budaya asli Minang kepada anak, momen kembalinya perantau ke desa-desa ini dinantikan oleh pemerintah daerah setempat.“Banyak kelompok perantau yang mudik bersama berhasil melakukan pembangunan yang terkadang tidak terjangkau oleh pemerintah. MIsalnya membangu jembatan, sekolah, hingga masjid di pelosok-pelosok desa,” imbuh Indra.
Ridwan Harun selaku Tokoh Berpengaruh Minang sekaligus Ketua Umum DPP IKMAL menyebut pentingnya pengenalan budaya asli daerah kepada perantau, khususnya yang telah menikah, melahirkan, dan membesarkan anak-anaknya di perantauan.
Bahwa pengetahuan mengenai kebudayan daerah harus tetap ditanamkan kepada anak dan cucu meski dalam masa perantauan. “Sehingga mereka ini mengetahui, di mana tanah kelahiran orang tuanya dan siapa saudaranya di kampung,” terang Ridwan kepada Hypeabis.id.
Tokoh Minang berupaya mendorong pemuda perantau untuk mendapat pendidikan yang baik, sehingga diharapkan perekonomiannya akan baik. Sehingga pada momen lebaran, para pemuda ini akan menceritakan kesuksesannya kepada pemuda desa untuk mendorong pendidikan dan prestasi di daerah.
“Anak muda perantau kita kumpulkan dalam sebuah acara untuk menceritakan tentang prestasinya di sekolah dan kesuksesan mereka di rantau. Setelah itu mereka akan memutuskan kontribusi seperti apa yang mereka bisa diberikan untuk kampung, apakah dari segi nilai ekonominya, seperti membuka bisnis dan lainnya yang bisa mendorong perekonomian di desa,” tambah Ridwan.
Ridwan menyebut, ada pula yang sengaja merencanakan pesta dan pernikahan anak atau keluarganya di kampung halaman setelah lebaran. Kemajuan ekonomi di kampung ini bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui di samping momen silaturahmi. Banyak orang yang berbelanja di kampung halaman yang membuat perekonomian menjadi hidup.
“Oleh karena itu, orang tua punya peran penting untuk memberitahukan kondisi kampung, baik terkait suasananya, ekonominya, dan sebagainya. Sehingga sang anak punya kesadaran untuk mencintai dan membantu tempat asalnya. Saya rasa ini bisa terjadi karena kita punya adat yang besar,” jelas Ridwan.
Terlepas dari sejarah panjangnya, mudik yang sudah mengakar dan membudaya ini semakin menunjukkan dampak positif. Selain perputaran dana besar yang menghidupkan perekonomian negara, desa-desa pun menantikan momen satu tahun sekali ini.
Belum lagi pengusaha transportasi, usaha kecil dan menengah di sepanjang perjalanan mudik, hingga bisnis kuliner oleh-oleh di daerah yang turut kecipratan rezeki dari tradisi tahunan ini. Terbukti bahwa mudik yang mulanya dikira sebagai ajang silaturahmi saja kini telah memperlihatkan makna yang lebih luas dalam hal kebersamaan dalam memajukan desa.
Baca juga: Inilah 10 Kota Populer Tujuan Mudik 2023, Ada Kampung Halamanmu?
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.