Asal-usul Tradisi Salam Tempel yang Penuh Penantian
08 April 2023 |
16:46 WIB
1
Like
Like
Like
Selain kuliner yang menggugah selera dan bermaaf-maafan, momen salam tempel dan berbagi uang selalu dinantikan oleh semua orang, terutama anak-anak, saat merayakan Idulfitri. Dalam tradisi yang lazim terjadi, orang tua seringkali membeli barang baru yang kemudian diberikan pada anak-anak, saudara, atau keponakan mereka.
Meskipun demikian, terdapat nilai-nilai mulia yang terkandung di balik tindakan tersebut yang ingin ditanamkan oleh orang tua pada anak-anak penerima uang tunai tersebut.
Dikutip dari laman Cash Matters, tradisi berbagi uang tunai ini sudah ada sejak awal abad pertengahan. Pada saat itu, kekhalifahan Fatimiyah di Afrika Utara mulai membagikan uang, pakaian, atau permen kepada rakyat pada hari pertama Idulfitri.
Baca juga: Salam Tempel hingga Baju Baru, Ini 8 Tradisi Lebaran di Indonesia
Tradisi itu juga tercatat pada akhir era Ottoman atau sekitar lima abad kemudian dari masa kekhalifan Fathimiyah. Kebiasaan berbagai yang terdapat di era Ottoman mirip dengan kegiatan berbagi yang dilakukan oleh banyak keluarga sampai saat ini.
Saat menjalankan tradisi, anak-anak penerima uang tersebut lebih menyukai uang kertas baru dibandingkan dengan yang lama dan lusuh. Kondisi ini membuat banyak bank dibanjiri pelanggan yang ingin melakukan penarikan menjelang Idulfitri.
Laman itu juga menuliskan memberikan uang tunai kepada anak adalah cara yang menyenangkan bagi orang tua guna memperkenalkan dasar-dasar pendidikan keuangan dan tanggung jawab. Anak mendapatkan kebebasan memilih waktu dan cara membelanjakan atau menyimpannya.
Tidak hanya itu, memberikan uang tunai kepada anak juga memiliki tujuan memperkenalkan generasi muda tentang betapa penting zakat atau amal yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Dalam aturannya, seseorang harus memberikan 2,5 persen sebagai amal ketika memiliki pendapatan.
Selain berbagai uang tunai, ada banyak cara bagi masyarakat beragama Islam di dalam negeri dalam merayakan hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama 29 – 30 hari.
Berdasarkan laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), salah satu tradisi yang ada adalah baraan di Bengkalis, Provinsi Riau. Tradisi ini berupa kegiatan saling mengunjungi jirang tetangga secara beramai-ramai pada saat bulan Syawal.
Dengan membawa sebagian atau seluruh anggota keluarga, mereka mengunjungi rumah setiap orang yang ikut dalam kegiatan tersebut. Jika di satu desa terdapat 100 rumah, para peserta baraan akan mengunjungi 100 rumah itu.
Contoh tradisi lainnya adalah Grebeg Syawal. Dalam laman pdktjateng.go.id, tradisi ini adalah hajatan yang berupa syukuran guna mengakhiri Ramadan. Acara ini diselenggarakan pada Syawal, yakni bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah dan penanggalan Jawa.
Tradisi ini diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta setiap tahun dan menggunakan simbol dua gunungan yang dipenuhi hasil bumi dan makanan yang selalu diperebutkan masyarakat di akhir upacara.
Kedua gunungan digunakan sebagai simbol rasa syukur raja, kawula, dan seluruh abdi dalem Keraton yang sudah berhasil menyelesaikan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Tradisi tersebut merupakan warisan turun temurun dari Sultan Agung pada jaman kerajaan Mataram yang kemudian terus dilestarikan hingga saat ini.
Grebeg berasal dari bahasa Jawa, yakni dari kata gembrebeg atau gumerebeg yang berarti sergap atau juga bermakna kegaduhan. Di setiap akhir tradisi terjadi kegaduhan lantaran masyarakat berebut gunungan dengan saling dorong, teriakan, dan suara tawa yang mengiringin puncak acara itu.
Kegiatan saling berebut itu memiliki makna untuk mendapatkan berkah dan keselamatan melalui simbol beraneka ragam hasil bumi dan makanan yang menghiasi gunungan.
Baca juga: 7 Momen Hangat Silaturahim Hari Raya di Berbagai Negara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Meskipun demikian, terdapat nilai-nilai mulia yang terkandung di balik tindakan tersebut yang ingin ditanamkan oleh orang tua pada anak-anak penerima uang tunai tersebut.
Dikutip dari laman Cash Matters, tradisi berbagi uang tunai ini sudah ada sejak awal abad pertengahan. Pada saat itu, kekhalifahan Fatimiyah di Afrika Utara mulai membagikan uang, pakaian, atau permen kepada rakyat pada hari pertama Idulfitri.
Baca juga: Salam Tempel hingga Baju Baru, Ini 8 Tradisi Lebaran di Indonesia
Tradisi itu juga tercatat pada akhir era Ottoman atau sekitar lima abad kemudian dari masa kekhalifan Fathimiyah. Kebiasaan berbagai yang terdapat di era Ottoman mirip dengan kegiatan berbagi yang dilakukan oleh banyak keluarga sampai saat ini.
Saat menjalankan tradisi, anak-anak penerima uang tersebut lebih menyukai uang kertas baru dibandingkan dengan yang lama dan lusuh. Kondisi ini membuat banyak bank dibanjiri pelanggan yang ingin melakukan penarikan menjelang Idulfitri.
Laman itu juga menuliskan memberikan uang tunai kepada anak adalah cara yang menyenangkan bagi orang tua guna memperkenalkan dasar-dasar pendidikan keuangan dan tanggung jawab. Anak mendapatkan kebebasan memilih waktu dan cara membelanjakan atau menyimpannya.
Tidak hanya itu, memberikan uang tunai kepada anak juga memiliki tujuan memperkenalkan generasi muda tentang betapa penting zakat atau amal yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Dalam aturannya, seseorang harus memberikan 2,5 persen sebagai amal ketika memiliki pendapatan.
Selain berbagai uang tunai, ada banyak cara bagi masyarakat beragama Islam di dalam negeri dalam merayakan hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa selama 29 – 30 hari.
Berdasarkan laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), salah satu tradisi yang ada adalah baraan di Bengkalis, Provinsi Riau. Tradisi ini berupa kegiatan saling mengunjungi jirang tetangga secara beramai-ramai pada saat bulan Syawal.
Dengan membawa sebagian atau seluruh anggota keluarga, mereka mengunjungi rumah setiap orang yang ikut dalam kegiatan tersebut. Jika di satu desa terdapat 100 rumah, para peserta baraan akan mengunjungi 100 rumah itu.
Contoh tradisi lainnya adalah Grebeg Syawal. Dalam laman pdktjateng.go.id, tradisi ini adalah hajatan yang berupa syukuran guna mengakhiri Ramadan. Acara ini diselenggarakan pada Syawal, yakni bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah dan penanggalan Jawa.
Tradisi ini diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta setiap tahun dan menggunakan simbol dua gunungan yang dipenuhi hasil bumi dan makanan yang selalu diperebutkan masyarakat di akhir upacara.
Kedua gunungan digunakan sebagai simbol rasa syukur raja, kawula, dan seluruh abdi dalem Keraton yang sudah berhasil menyelesaikan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Tradisi tersebut merupakan warisan turun temurun dari Sultan Agung pada jaman kerajaan Mataram yang kemudian terus dilestarikan hingga saat ini.
Grebeg berasal dari bahasa Jawa, yakni dari kata gembrebeg atau gumerebeg yang berarti sergap atau juga bermakna kegaduhan. Di setiap akhir tradisi terjadi kegaduhan lantaran masyarakat berebut gunungan dengan saling dorong, teriakan, dan suara tawa yang mengiringin puncak acara itu.
Kegiatan saling berebut itu memiliki makna untuk mendapatkan berkah dan keselamatan melalui simbol beraneka ragam hasil bumi dan makanan yang menghiasi gunungan.
Baca juga: 7 Momen Hangat Silaturahim Hari Raya di Berbagai Negara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.