Mengenal Salah Satu Tokoh Kaligrafi Indonesia Didin Sirojuddin AR
07 April 2023 |
08:16 WIB
1
Like
Like
Like
Didin Sirojuddin AR merupakan tokoh penting dalam seni kaligrafi di Indonesia. Dia tidak hanya tampil sebagai seniman yang menciptakan karya, tetapi juga guru kaligrafi yang mengajarkan kesenian ini kepada masyarakat. Satu prinsip yang selalu dipegangnya, melalui seni kaligrafi, Islam tampil lebih lembut dan bersahaja.
Pertemuan Didin dengan seni kaligrafi atau khat terjadi saat mondok di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Usai memondok, keinginannya memperdalam seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tidak direstui sang ayah. Alasannya, ayah Didin khawatir anaknya itu jauh dari agama.
Baca juga: 3 Seniman Indonesia yang Kerap Menyematkan Kaligrafi dalam Karya Lukisan
"Ayah saya berkata, di Jogjakarta ada masjid tidak Din [Didin Sirojuddin], takut murtad. Ya ada lah masjid," kata Didin mengenang perbincangan dengan sang ayah.
Akhirnya Didin melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta -- kini UIN Jakarta. Justru di ibu kota lah Didin muda mendapat pengalaman baru soal seni rupa yang tak pernah terbayang dibayangkan sebelumnya. Dia datangi pameran-pameran seni rupa di hotel-hotel, galeri-galeri seni, museum, Mitra Seni Indonesia dan Taman Ismail Marzuki.
Dari situlah, pemahaman Didin seni lukis dan kaligrafi semakin bertambah. Di kampus, dia pun giat menulis kaligrafi untuk buku-buku pelajaran agama dan dinding-dinding masjid. Kendati mahir menyambung-nyambungkan huruf tunggal Arab, tetapi Didin belum mengetahui seni kaligrafi secara teoritis.
Wawasannya kekaligrafian Didin kian berkembang, kala diminta pihak kampus mengajar dan menyusun diktat kaligrafi untuk almamaternya. Permintaan pihak kampus, Didin harus membuat diktat 40 lembar. Yang terjadi sebaliknya karena keasyikan menulis, Didin justru menyelesaikan diktatnya sebanyak 450 halaman.
"Begitu diperlihatkan ke mahasiswa tebalnya diktat itu, satu pun tak ada yang memfotokopi. Tetapi itulah buku pertama saya tentang seni kaligrafi Islam," tuturnya seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 2016.
Sejak saat itu perjalanan Didin menapaki seni kaligrafi dimulai. Waktu itu dia masih belum puas jika hanya mengajar kaligrafi di kampus. Sebab cita-citanya adalah mendirikan lembaga penampung peminat kaligrafi dan menulis buku-buku tentang seni Islam ini. Sanggar kaligrafi pada masa itu adalah sesuatu yang sulit dicari. Tak hanya di Jakarta, tetapi seluruh Indonesia.
Sejurus lamanya, impian Didin terealisasi. Tepatnya, pada 1985, dia mendirikan Lembaga Kaligrafi Al Quran (Lemka). Sempat bingung ihwal nama ini, awalnya hendak dinamakan Lembaga Kaligrafi Ciputat. Urung dilakukan karena khawatir diartikan Lembaga Komunis China.
Diusulkan nama lain, Lekra, itu pun sudah digunakan lembaga kebudayaan komunis. Setelah berdiskusi dengan rekan-rekannya, diputuskan nama Lemka yang jauh dari asosiasi-asosiasi pihak tertentu.
Pertama kali kelas kaligrafi dibuka, Didin mengajarkan semua jenis-jenis kaligrafi Naskhi, Tsuluts, Riq'ah, Diwani, Farisi, dan Kufi kepada murid-muridnya. Di luar dugaannya, para murid Didin merasa kewalahan dengan metode pengajaran Didin tersebut. Mereka memprotes gaya pengajaran tersebut hingga kelasnya pun bubar. "Pak jangan diberikan semua [pelajarannya] dicicil, pusing kami," kata Didin mengenang ucapan seorang muridnya.
Mendapat pengalaman berharga itu, Didin lalu memperbaiki tata cara pengajarannya. Pada gelombang kedua, para murid diajarkan kaligrafi secara berjenjang. Dimulai dari dasar seperti Naskhi hingga level mahir seperti Tatawarna. Metode pengajaran ini terus dipertahankan Didin hingga sekarang.
Setelah Lemka, 13 tahun kemudian, Didin mendirikan Pesantren Kaligrafi Al Qur’an Lemka di Sukabumi, Jawa Barat. Melalui dua lembaganya itu, dia memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan kaligrafi di Indonesia.
Seiring waktu, Didin berhasil mendorong didirikannya puluhan sanggar kaligrafi di berbagai wilayah Indonesia. Konsepnya pengembangan kaligrafi melalui sanggar-sanggar. Kegiatan di sanggar meliputi kursus, pelatihan kemampuan, pameran, apresiasi, diskusi wawasan seni budaya dan kewiraswastaan guna membuka akses pasar.
"Dalam mengembangkan kaligrafi saya menggunakan prinsip W.S. Rendra, bahwa seniman itu di atas angin. Karena itu saya lemparkan gagasan saya tentang kaligrafi lewat angin agar menyebar ke seluruh Tanah Air," ucapnya.
Lemka dan pesantren kaligrafi yang dirintis Didin terus berkembang dan tetap eksis sampai saat ini. Ayah satu anak ini meyakini eksistensi tersebut diraih karena berusaha untuk terus adaptasi dengan perkembangan huruf dunia. Kaligrafi bukan cuma hitam putih, melainkan ada tujuan estetis. Sehingga, dengan prinsip tersebut para muridnya dapat mengkreasikan dan menginovasikan seni kaligrafi.
Selain adaptif, Didin percaya keberhasilannya ini lantaran kesabaran dan kegigihannya mengelola dua lembaga tersebut. Filosofi yang selalu diterapkannya, menjadi murid jangan merasa bosan, lalu saat menjadi guru jangan lelah. Guru tidak boleh capai dan murid tak diperkenankan berhenti belajar. Dengan begitu sebuah lembaga pendidikan akan tetap terjaga. Sebab ada dinamika di dalamnya.
Sebagai guru kaligrafi, pria kelahiran Kuningan ini berpandangan teladan itu penting dimiliki seorang guru. Ketika menyuruh orang menulis dan melukis kaligrafi, maka dirinya mempraktikkan hal tersebut. Dengan teladan ini, murid-murid akan termotivasi untuk dapat berkembang belajar melampaui sang guru.
"Saya tetap konsisten di kaligrafi karena saya senang dengan kesenian ini. Di samping itu saya terdorong mengembangkannya untuk orang lain. Saya adalah guru kaligrafi, jadi tugas saya seumur hidup ada di sini [kaligrafi] untuk mengembangkannya," ujarnya.
Selain mengajar, Kaligrafi menjadi cara Didin berdakwah mengenalkan Islam yang lebih Indah di tengah-tengah citra radikalisme dan aksi-aksi terorisme mengatasnamakan Islam. Berkaligrafi itu memilih hidup damai dan tentram tanpa hiruk pikuk kebisingan dan pertumpahan darah. Kaligrafi tercipta karena kelembutan, kesopanan, dan kesabaran. Sementara terorisme sendiri tidak mengenal itu semua. Ajarannya sangat jauh dari nilai-nilai dalam kaligrafi.
"Kaligrafi ajang perhalus rasa dan pikiran. Tak ada kelembutan di dunia terorisme," ujarnya.
Di sela-sela kesibukannya mengurus Lemka dan pesantrennya, Didin senantiasa menyempatkan diri untuk menghasilkan lukisan-lukisan kaligrafi. Seringkali karya-karya Didin terinspirasi dari lukisan-lukisan maupun karya kaligrafi para maestro. Diambilnya inspirasi itu, diolahnya beragam warna. Jadilah lukisan kaligrafi indah kaya akan warna. "Warna itu jangan dibiarkan, tetapi diolah."
Didin terbiasa mengerjakan karya-karyanya pada malam hari. Sebab di waktu itu pikiran lebih jernih tidak terkontaminasi pikiran-pikiran lain sehingga memudahkan untuk mengolah rasa. Bangun di malam hari, dikerjakannya sebuah karya kaligrafi hingga pagi menjelang. Begitulah cara Didin menghasilkan karya-karya kaligrafinya.
Namun Didin tak sekadar menulis huruf kemudian mencampurkannya dengan warna, melainkan ada pesan yang mesti dimunculkan pada karyanya. Dia menggabungkan dua pendapat ahli tentang kaligrafi, yaitu bahwa kaligrafi berkaitan dengan cara menyambungkan huruf-huruf. Kemudian pendapat lainnya menyebut kaligrafi merupakan arsitektur rohani yang terekspresikan melalui perabotan kebendaan.
"Saya itu harus gabungan keduanya. Selain keindahan fisik, kaligrafi harus memiliki pesan atau tema," ujarnya.
Pesan-pesan itu mesti disesuaikan dengan kondisi realitas sosial seperti ajakan berjihad, menjauhi maksiat, kesalehan, dan berbakti kepada orang tua. Didin pernah membuat karya kaligrafi Arab dengan pesan Baiti Jannati artinya "Rumahku Surgaku". Karyanya itu ternyata banyak diminati orang. Selain kepentingan berdakwah, Didin mengungkapkan kaligrafi juga memiliki tujuan komersil.
"Ayat-ayat kursi dan tentang rezeki biasanya banyak diminati masyarakat. Namun ini bukan jual beli ayat, tetapi sebagai imbalan atas kerja keras menguras pikiran dan materi untuk sebuah karya. Kan beli catnya mahal, belum lagi waktu yang tersita," ujarnya.
Baca juga: Arab Saudi Jadi Tuan Rumah Biennale Seni Islam Pertama di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Pertemuan Didin dengan seni kaligrafi atau khat terjadi saat mondok di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Usai memondok, keinginannya memperdalam seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tidak direstui sang ayah. Alasannya, ayah Didin khawatir anaknya itu jauh dari agama.
Baca juga: 3 Seniman Indonesia yang Kerap Menyematkan Kaligrafi dalam Karya Lukisan
"Ayah saya berkata, di Jogjakarta ada masjid tidak Din [Didin Sirojuddin], takut murtad. Ya ada lah masjid," kata Didin mengenang perbincangan dengan sang ayah.
Akhirnya Didin melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta -- kini UIN Jakarta. Justru di ibu kota lah Didin muda mendapat pengalaman baru soal seni rupa yang tak pernah terbayang dibayangkan sebelumnya. Dia datangi pameran-pameran seni rupa di hotel-hotel, galeri-galeri seni, museum, Mitra Seni Indonesia dan Taman Ismail Marzuki.
Dari situlah, pemahaman Didin seni lukis dan kaligrafi semakin bertambah. Di kampus, dia pun giat menulis kaligrafi untuk buku-buku pelajaran agama dan dinding-dinding masjid. Kendati mahir menyambung-nyambungkan huruf tunggal Arab, tetapi Didin belum mengetahui seni kaligrafi secara teoritis.
Wawasannya kekaligrafian Didin kian berkembang, kala diminta pihak kampus mengajar dan menyusun diktat kaligrafi untuk almamaternya. Permintaan pihak kampus, Didin harus membuat diktat 40 lembar. Yang terjadi sebaliknya karena keasyikan menulis, Didin justru menyelesaikan diktatnya sebanyak 450 halaman.
"Begitu diperlihatkan ke mahasiswa tebalnya diktat itu, satu pun tak ada yang memfotokopi. Tetapi itulah buku pertama saya tentang seni kaligrafi Islam," tuturnya seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 2016.
Sejak saat itu perjalanan Didin menapaki seni kaligrafi dimulai. Waktu itu dia masih belum puas jika hanya mengajar kaligrafi di kampus. Sebab cita-citanya adalah mendirikan lembaga penampung peminat kaligrafi dan menulis buku-buku tentang seni Islam ini. Sanggar kaligrafi pada masa itu adalah sesuatu yang sulit dicari. Tak hanya di Jakarta, tetapi seluruh Indonesia.
(Sumber foto: Dika Irawan)
Diusulkan nama lain, Lekra, itu pun sudah digunakan lembaga kebudayaan komunis. Setelah berdiskusi dengan rekan-rekannya, diputuskan nama Lemka yang jauh dari asosiasi-asosiasi pihak tertentu.
Pertama kali kelas kaligrafi dibuka, Didin mengajarkan semua jenis-jenis kaligrafi Naskhi, Tsuluts, Riq'ah, Diwani, Farisi, dan Kufi kepada murid-muridnya. Di luar dugaannya, para murid Didin merasa kewalahan dengan metode pengajaran Didin tersebut. Mereka memprotes gaya pengajaran tersebut hingga kelasnya pun bubar. "Pak jangan diberikan semua [pelajarannya] dicicil, pusing kami," kata Didin mengenang ucapan seorang muridnya.
Mendapat pengalaman berharga itu, Didin lalu memperbaiki tata cara pengajarannya. Pada gelombang kedua, para murid diajarkan kaligrafi secara berjenjang. Dimulai dari dasar seperti Naskhi hingga level mahir seperti Tatawarna. Metode pengajaran ini terus dipertahankan Didin hingga sekarang.
Setelah Lemka, 13 tahun kemudian, Didin mendirikan Pesantren Kaligrafi Al Qur’an Lemka di Sukabumi, Jawa Barat. Melalui dua lembaganya itu, dia memberikan sumbangsih penting bagi perkembangan kaligrafi di Indonesia.
Seiring waktu, Didin berhasil mendorong didirikannya puluhan sanggar kaligrafi di berbagai wilayah Indonesia. Konsepnya pengembangan kaligrafi melalui sanggar-sanggar. Kegiatan di sanggar meliputi kursus, pelatihan kemampuan, pameran, apresiasi, diskusi wawasan seni budaya dan kewiraswastaan guna membuka akses pasar.
"Dalam mengembangkan kaligrafi saya menggunakan prinsip W.S. Rendra, bahwa seniman itu di atas angin. Karena itu saya lemparkan gagasan saya tentang kaligrafi lewat angin agar menyebar ke seluruh Tanah Air," ucapnya.
Lemka dan pesantren kaligrafi yang dirintis Didin terus berkembang dan tetap eksis sampai saat ini. Ayah satu anak ini meyakini eksistensi tersebut diraih karena berusaha untuk terus adaptasi dengan perkembangan huruf dunia. Kaligrafi bukan cuma hitam putih, melainkan ada tujuan estetis. Sehingga, dengan prinsip tersebut para muridnya dapat mengkreasikan dan menginovasikan seni kaligrafi.
Selain adaptif, Didin percaya keberhasilannya ini lantaran kesabaran dan kegigihannya mengelola dua lembaga tersebut. Filosofi yang selalu diterapkannya, menjadi murid jangan merasa bosan, lalu saat menjadi guru jangan lelah. Guru tidak boleh capai dan murid tak diperkenankan berhenti belajar. Dengan begitu sebuah lembaga pendidikan akan tetap terjaga. Sebab ada dinamika di dalamnya.
Sebagai guru kaligrafi, pria kelahiran Kuningan ini berpandangan teladan itu penting dimiliki seorang guru. Ketika menyuruh orang menulis dan melukis kaligrafi, maka dirinya mempraktikkan hal tersebut. Dengan teladan ini, murid-murid akan termotivasi untuk dapat berkembang belajar melampaui sang guru.
"Saya tetap konsisten di kaligrafi karena saya senang dengan kesenian ini. Di samping itu saya terdorong mengembangkannya untuk orang lain. Saya adalah guru kaligrafi, jadi tugas saya seumur hidup ada di sini [kaligrafi] untuk mengembangkannya," ujarnya.
Selain mengajar, Kaligrafi menjadi cara Didin berdakwah mengenalkan Islam yang lebih Indah di tengah-tengah citra radikalisme dan aksi-aksi terorisme mengatasnamakan Islam. Berkaligrafi itu memilih hidup damai dan tentram tanpa hiruk pikuk kebisingan dan pertumpahan darah. Kaligrafi tercipta karena kelembutan, kesopanan, dan kesabaran. Sementara terorisme sendiri tidak mengenal itu semua. Ajarannya sangat jauh dari nilai-nilai dalam kaligrafi.
"Kaligrafi ajang perhalus rasa dan pikiran. Tak ada kelembutan di dunia terorisme," ujarnya.
(Sumber foto: Dika Irawan)
Didin terbiasa mengerjakan karya-karyanya pada malam hari. Sebab di waktu itu pikiran lebih jernih tidak terkontaminasi pikiran-pikiran lain sehingga memudahkan untuk mengolah rasa. Bangun di malam hari, dikerjakannya sebuah karya kaligrafi hingga pagi menjelang. Begitulah cara Didin menghasilkan karya-karya kaligrafinya.
Namun Didin tak sekadar menulis huruf kemudian mencampurkannya dengan warna, melainkan ada pesan yang mesti dimunculkan pada karyanya. Dia menggabungkan dua pendapat ahli tentang kaligrafi, yaitu bahwa kaligrafi berkaitan dengan cara menyambungkan huruf-huruf. Kemudian pendapat lainnya menyebut kaligrafi merupakan arsitektur rohani yang terekspresikan melalui perabotan kebendaan.
"Saya itu harus gabungan keduanya. Selain keindahan fisik, kaligrafi harus memiliki pesan atau tema," ujarnya.
Pesan-pesan itu mesti disesuaikan dengan kondisi realitas sosial seperti ajakan berjihad, menjauhi maksiat, kesalehan, dan berbakti kepada orang tua. Didin pernah membuat karya kaligrafi Arab dengan pesan Baiti Jannati artinya "Rumahku Surgaku". Karyanya itu ternyata banyak diminati orang. Selain kepentingan berdakwah, Didin mengungkapkan kaligrafi juga memiliki tujuan komersil.
"Ayat-ayat kursi dan tentang rezeki biasanya banyak diminati masyarakat. Namun ini bukan jual beli ayat, tetapi sebagai imbalan atas kerja keras menguras pikiran dan materi untuk sebuah karya. Kan beli catnya mahal, belum lagi waktu yang tersita," ujarnya.
Baca juga: Arab Saudi Jadi Tuan Rumah Biennale Seni Islam Pertama di Dunia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.