Melihat Pergulatan & Harapan Perupa Suvi Wahyudianto dalam Pameran Di Antara Tapal
04 April 2023 |
14:56 WIB
Sebagai seniman, Suvi Wahyudianto telah menekuni dunia seni rupa sejak medio 2010. Namun, namanya kian mendapatkan sorotan ketika seniman muda asal Bangkalan, Madura, ini mendapatkan penghargaan UOB Painting of The Year 2018 di tingkat nasional dan internasional (Asia Tenggara) untuk karyanya yang berjudul Ang'st.
Lukisan abstrak dengan teknik media campuran (mixed media) itu menyajikan perspektifnya tentang sejarah konflik etnis antara masyarakat asli suku Dayak dan suku Madura yang terjadi di Sambas dan Sampit pada 1999 dan 2001 silam. Karyanya ini merefleksikan berbagai peristiwa kekerasan dan pergolakan kemanusiaan yang mempengaruhi kesadaran diri Suvi sebagai manusia.
Baca juga: Pameran Tunggal Di Antara Tapal Jadi Ajang Pembuktian Seniman Muda Suvi Wahyudianto
Ya, sebagai perupa, praktik artistik Suvi selama ini mencakup upaya penjelajahan bahasa visual melalui pendekatan puitik untuk meluaskan kemungkinan interpretasi atas peristiwa-peristiwa tragis, yang berkaitan dengan ketegangan sosial-budaya pada masa lalu dan hari ini, juga mengurai isu-isu terkait politik identitas.
Begitupun yang tampak pada pameran tunggalnya bertajuk Di Antara Tapal yang dihelat di Can's Gallery hingga 6 April 2023. Pengalaman traumatis karena mengalami konflik etnis, ditambah dengan riset dan penjelajahan sejarah melalui arsip-arsip selama residensi di Yogyakarta dan Kalimantan, Suvi membuka narasi sekaligus mendekonstruksinya ke dalam 24 karya dengan beragam medium.
Karya-karya dalam pameran ini tidak lagi bicara tentang emosi kemarahan Suvi terhadap sejarah konflik identitas yang menjadi bagian dari masa lalu traumatisnya. Sebaliknya, karya-karyanya ini menjadi semacam upaya rekonsiliasi yang tampak mencoba berdamai dengan masa lalu, dan lebih menonjolkan makna tentang kemanusiaan dan solidaritas.
"Kami mengemban warisan traumatis sejarah dan tidak ingin itu terjadi lagi. Melalui kesenian, ini bisa menjadi cara yang halus untuk menyuarakan semangat rekonsiliasi," kata Suvi kepada Hypeabis.id.
Jika diartikan, nama 'tapal' sendiri berarti batas. Seperti judulnya, pameran Di Antara Tapal menyiratkan pesan bahwa kehidupan sejatinya berada di antara batas masa lalu, saat ini, dan masa depan. Suatu batas terkadang harus ada dan tinggal di dalam kehidupan, tetapi terkadang suatu batas juga harus dilewati atau ditinggalkan tanpa harus melupakannya karena akan selalu menjadi bagian dari kehidupan.
Permenungan Suvi tentang batas antara masa lalu dan masa depan ini tampak pada beberapa lukisannya yang menggunakan elemen pagar yang terbuat dari besi. Pagar menjadi simbol batas. Meski begitu, secara visual, lukisan-lukisannya itu menampilkan gambar langit seperti simbol utopia baru yang lebih luas dan menyimpan harapan yang lebih cerah.
Lukisan-lukisan ini tampak demikian bersahaja, seperti seseorang yang merekam waktu-waktu pada masa pergantian, menunggu apa yang entah akan datang. Hal ini bisa dilihat diantaranya dalam karya Lanskap Border Menjelang Pagi (2023), Lanskap Border Setelah Hujan (2023), dan Lanskap Border Burung Beterbangan (2023).
Di beberapa karya lain, Suvi seperti sedang bermain dengan gaya gambar diam (still life), dengan buah-buahan atau bebatuan, meskipun sesungguhnya metafora sederhana yang ditampilkan masih memiliki relasi yang mendalam dengan narasi tentang tragedi yang muncul dalam karya instalasi yang lebih kompleks.
Nanas, misalnya, yang muncul dalam karya Yang Manis Yang Silam dan Harapan (2023) merupakan buah yang ditanam di Desa Madani, tempat tinggal baru dari para pengungsi keluarga Madura pasca kerusuhan. Di sebelahnya, adalah buah jeruk yang dulu menjadi sumber penghidupan masyarakat Sambas, tetapi luluh lantak akibat kerusuhan.
Nanas menjadi simbol bagi harapan dan tatapan yang baru tentang kehidupan, sementara jeruk menjadi metafor dari ingatan atas masa lalu. Demikian pula karya berjudul Yang Berlalu di Spion Kaca (2023), di mana Suvi menampilkan fragmen kecil dalam perjalanan ziarah.
Dia merefleksikan kisah yang didengarnya dalam sejarah dan dari sayup kegentingan pada masa kecilnya, hingga menjadi sebuah fase hidup yang telah dilampaui oleh para penyintas konflik, untuk berjalan menuju masa depan.
Tak hanya lukisan, hasil perjalanan Suvi menelusuri sejarah kelam konflik etnis Dayak dan Madura juga tertuang dalam karya instalasinya. Pada instalasi fotografi berjudul Telepresence After 20 Years misalnya, dia merekam beberapa tempat yang dia kunjungi, orang-orang-orang yang dia temui, dengan membangun sebuah narasi tentang tragedi dan kehilangan, dan bagaimana dirinya sebagai orang Madura secara langsung terhubung dengan peristiwa tersebut.
Instalasi ini menunjukkan bagaimana Suvi menggunakan teknologi untuk terhubung kembali dengan tanah-tanah yang pernah dia tapak, seperti melakukan ziarah melalui ruang virtual. Dengan teknologi Google Maps, dia membuat citra gambar ini seperti dia sedang merentang waktu.
Siluet dirinya diletakkan di sana, seperti menembus ruang dan waktu. Suvi kemudian mencetak citra gambar ini pada kertas polaroid; sebuah simbol atas nostalgia, suatu masa yang telah berlalu. Di sini, dia menyandingkan kompleksitas teknologi digital dan analog, masa lalu dan masa kini, ruang nyata dan ruang terbayang.
Repetisi yang sengaja dimunculkan secara tidak langsung menciptakan perasaan 'kekosongan' dan 'pengabaian' dari sebuah sudut kota yang pernah mengalami gejolak, seperti memasuki lorong sejarah penuh hantu masa lalu. Namun, pada saat yang sama, semua itu menjadi titik untuk membangun sesuatu yang baru.
Suvi mengatakan proses penciptaan karyanya berawal dari catatan-catatan kecil yang cenderung puitik yang disusunnya selama melakukan riset dan penelusurannya akan sejarah konflik etnis Dayak dan Madura. Baginya, proses perjalanan tersebut tak ubahnya seperti sedang mengalami sebuah puisi.
Narasi puitik itu lantas membantunya untuk membangun pemahaman terhadap dunia hingga menciptakan karya-karya seninya. "Saya mengalami betul bagaimana melankolia dan emosi karena saya sebagai Madura adalah identitas yang terlibat," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Alia Swastika selaku kurator mengatakan kekuatan Suvi sebagai seniman terletak pada kemampuannya menemukan metafora dan memutuskan medium yang tepat untuk berbicara tentang puisinya, dan mengajak audiens memasuki melankolianya.
"Suvi berpindah dengan leluasa di antara gambar, lukisan, foto, instalasi, teks atau video, atau menggabungkan seluruhnya menjadi satu ruangan piranti dan objek-objek pajangan," katanya.
Menurut Alia, pameran ini menjadi penanda penting bagi perjalanan penciptaan Suvi yang dalam satu dekade terakhir; di mana peristiwa-peristiwa personal berkelindan dengan narasi sejarah dan lanskap antropologis yang lebih besar dalam kehidupan sosial.
Kerja kesenimanan Suvi, lanjutnya, tidak hanya perkara membongkar politik dan kontestasi identitasnya sebagai bagian dari kelompok etnis dengan sejarah peminggiran dan represi yang panjang, untuk membayangkan rekonsiliasi atas beragam tragedi, tetapi juga mencoba membahasakan kegelisahan dan kemarahan dalam puisi-puisi gambar dan instalasi.
"Dan secara perlahan, dia membayangkan utopia yang menjadi jalan yang melintas di tapal batas," katanya.
Lukisan abstrak dengan teknik media campuran (mixed media) itu menyajikan perspektifnya tentang sejarah konflik etnis antara masyarakat asli suku Dayak dan suku Madura yang terjadi di Sambas dan Sampit pada 1999 dan 2001 silam. Karyanya ini merefleksikan berbagai peristiwa kekerasan dan pergolakan kemanusiaan yang mempengaruhi kesadaran diri Suvi sebagai manusia.
Baca juga: Pameran Tunggal Di Antara Tapal Jadi Ajang Pembuktian Seniman Muda Suvi Wahyudianto
Ya, sebagai perupa, praktik artistik Suvi selama ini mencakup upaya penjelajahan bahasa visual melalui pendekatan puitik untuk meluaskan kemungkinan interpretasi atas peristiwa-peristiwa tragis, yang berkaitan dengan ketegangan sosial-budaya pada masa lalu dan hari ini, juga mengurai isu-isu terkait politik identitas.
Begitupun yang tampak pada pameran tunggalnya bertajuk Di Antara Tapal yang dihelat di Can's Gallery hingga 6 April 2023. Pengalaman traumatis karena mengalami konflik etnis, ditambah dengan riset dan penjelajahan sejarah melalui arsip-arsip selama residensi di Yogyakarta dan Kalimantan, Suvi membuka narasi sekaligus mendekonstruksinya ke dalam 24 karya dengan beragam medium.
Karya-karya dalam pameran ini tidak lagi bicara tentang emosi kemarahan Suvi terhadap sejarah konflik identitas yang menjadi bagian dari masa lalu traumatisnya. Sebaliknya, karya-karyanya ini menjadi semacam upaya rekonsiliasi yang tampak mencoba berdamai dengan masa lalu, dan lebih menonjolkan makna tentang kemanusiaan dan solidaritas.
"Kami mengemban warisan traumatis sejarah dan tidak ingin itu terjadi lagi. Melalui kesenian, ini bisa menjadi cara yang halus untuk menyuarakan semangat rekonsiliasi," kata Suvi kepada Hypeabis.id.
Yang Manis Yang Silam dan Harapan, 2023, 145,5cm x 88 cm. (Sumber gambar: Can's Gallery)
Permenungan Suvi tentang batas antara masa lalu dan masa depan ini tampak pada beberapa lukisannya yang menggunakan elemen pagar yang terbuat dari besi. Pagar menjadi simbol batas. Meski begitu, secara visual, lukisan-lukisannya itu menampilkan gambar langit seperti simbol utopia baru yang lebih luas dan menyimpan harapan yang lebih cerah.
Lukisan-lukisan ini tampak demikian bersahaja, seperti seseorang yang merekam waktu-waktu pada masa pergantian, menunggu apa yang entah akan datang. Hal ini bisa dilihat diantaranya dalam karya Lanskap Border Menjelang Pagi (2023), Lanskap Border Setelah Hujan (2023), dan Lanskap Border Burung Beterbangan (2023).
Di beberapa karya lain, Suvi seperti sedang bermain dengan gaya gambar diam (still life), dengan buah-buahan atau bebatuan, meskipun sesungguhnya metafora sederhana yang ditampilkan masih memiliki relasi yang mendalam dengan narasi tentang tragedi yang muncul dalam karya instalasi yang lebih kompleks.
Nanas, misalnya, yang muncul dalam karya Yang Manis Yang Silam dan Harapan (2023) merupakan buah yang ditanam di Desa Madani, tempat tinggal baru dari para pengungsi keluarga Madura pasca kerusuhan. Di sebelahnya, adalah buah jeruk yang dulu menjadi sumber penghidupan masyarakat Sambas, tetapi luluh lantak akibat kerusuhan.
Nanas menjadi simbol bagi harapan dan tatapan yang baru tentang kehidupan, sementara jeruk menjadi metafor dari ingatan atas masa lalu. Demikian pula karya berjudul Yang Berlalu di Spion Kaca (2023), di mana Suvi menampilkan fragmen kecil dalam perjalanan ziarah.
Dia merefleksikan kisah yang didengarnya dalam sejarah dan dari sayup kegentingan pada masa kecilnya, hingga menjadi sebuah fase hidup yang telah dilampaui oleh para penyintas konflik, untuk berjalan menuju masa depan.
Lanskap Ziarah pada Kehilangan, 2022, variable dimension. (Sumber gambar: Can's Gallery)
Instalasi ini menunjukkan bagaimana Suvi menggunakan teknologi untuk terhubung kembali dengan tanah-tanah yang pernah dia tapak, seperti melakukan ziarah melalui ruang virtual. Dengan teknologi Google Maps, dia membuat citra gambar ini seperti dia sedang merentang waktu.
Siluet dirinya diletakkan di sana, seperti menembus ruang dan waktu. Suvi kemudian mencetak citra gambar ini pada kertas polaroid; sebuah simbol atas nostalgia, suatu masa yang telah berlalu. Di sini, dia menyandingkan kompleksitas teknologi digital dan analog, masa lalu dan masa kini, ruang nyata dan ruang terbayang.
Repetisi yang sengaja dimunculkan secara tidak langsung menciptakan perasaan 'kekosongan' dan 'pengabaian' dari sebuah sudut kota yang pernah mengalami gejolak, seperti memasuki lorong sejarah penuh hantu masa lalu. Namun, pada saat yang sama, semua itu menjadi titik untuk membangun sesuatu yang baru.
Suvi mengatakan proses penciptaan karyanya berawal dari catatan-catatan kecil yang cenderung puitik yang disusunnya selama melakukan riset dan penelusurannya akan sejarah konflik etnis Dayak dan Madura. Baginya, proses perjalanan tersebut tak ubahnya seperti sedang mengalami sebuah puisi.
Narasi puitik itu lantas membantunya untuk membangun pemahaman terhadap dunia hingga menciptakan karya-karya seninya. "Saya mengalami betul bagaimana melankolia dan emosi karena saya sebagai Madura adalah identitas yang terlibat," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Alia Swastika selaku kurator mengatakan kekuatan Suvi sebagai seniman terletak pada kemampuannya menemukan metafora dan memutuskan medium yang tepat untuk berbicara tentang puisinya, dan mengajak audiens memasuki melankolianya.
"Suvi berpindah dengan leluasa di antara gambar, lukisan, foto, instalasi, teks atau video, atau menggabungkan seluruhnya menjadi satu ruangan piranti dan objek-objek pajangan," katanya.
Menurut Alia, pameran ini menjadi penanda penting bagi perjalanan penciptaan Suvi yang dalam satu dekade terakhir; di mana peristiwa-peristiwa personal berkelindan dengan narasi sejarah dan lanskap antropologis yang lebih besar dalam kehidupan sosial.
Kerja kesenimanan Suvi, lanjutnya, tidak hanya perkara membongkar politik dan kontestasi identitasnya sebagai bagian dari kelompok etnis dengan sejarah peminggiran dan represi yang panjang, untuk membayangkan rekonsiliasi atas beragam tragedi, tetapi juga mencoba membahasakan kegelisahan dan kemarahan dalam puisi-puisi gambar dan instalasi.
"Dan secara perlahan, dia membayangkan utopia yang menjadi jalan yang melintas di tapal batas," katanya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.