Proses panjang dalam melukis menjadi terapi (Sumber gambar ilustrasi: pexels/ Cristian Pădureț)

Kala Seni Tak Sekadar Berbicara Keindahan

04 April 2023   |   09:20 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Seniman Dwi Putro Mulyono Jati atau yang kerap disapa Pak Wi duduk bersama dengan seniman lainnya di bagian depan tanpa didampingi dalam pembukaan pameran seni amal bertajuk Dare to be Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love.

Bagi orang pada umumnya, keadaan itu merupakan hal yang biasa. Namun, tidak baginya. Kemampuannya untuk berada di keramaian dan tanpa pendamping merupakan sebuah perkembangan yang luar biasa lantaran pada umumnya individu dengan kondisi autisme kerap menarik diri.

Ignatius Nawa Tunggal Trahutomo yang merupakan adik Pak Wi, mengatakan perubahan yang dialami oleh Pak Wi terjadi setelah melukis. “Mungkin benar ya melukis itu terapeutik,” katanya.

 Baca juga: Kala Seniman Muda Guncang Pasar Seni Dunia

Dalam suatu kesempatan, pria yang kerap disapa Nawa itu pernah mengatakan bahwa melukis bagi sang seniman adalah sebuah sarana untuk menenangkan hati dan diri. Kondisinya pada saat ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sekitar 2000an. Ketika itu, dia mendapati Pak Wi berada di jalanan dan memunguti puntung rokok.

Selain dapat membuat kondisinya membaik, melukis juga mengantarkannya menjadi seniman dan kerap mengikuti ajang unjuk karya seni lukis. Pameran seni amal yang sedang berlangsung di Fairmont Hotel, Jakarta, merupakan salah satunya.

Sebelumnya, contoh pameran yang diikuti adalah pameran bersama Artjog bertajuk Expanding Awareness di Yogyakarta pada 2022 dan Dwi Tunggal Exhibition: Dwi Putro X Nawa Tunggal bertajuk The Comfort Trilogy di Bentara Budaya Jakarta.

Pak Wi tidak sendirian, seniman lain yang juga mengalami kemajuan setelah melukis adalah Raysha Dinar Kemal Gani. Seniman yang lahir pada 14 Januari 2004 silam itu mulai melukis pada 2020 atau ketika pandemi Covid-19 melanda.

Sang ibu, Prita Kemal Gani mengatakan Raysha yang suka dengan melakukan kegiatan di luar ruangan tidak bisa menjalani aktivitas itu karena banyak tempat tutup. Aktivitas melukis kemudian menjadi pilihan untuk sang buah hati yang tidak bisa menjalani aktivitas di luar rumah.

Sempat enggan untuk melakukannya, Raysha akhirnya mau melukis. Melukis membuat sang buah hati bisa lebih konsentrasi dan tenang. Raysha yang kerap bergerak aktif bisa duduk lebih lama ketika sedang menggoreskan kuas di atas kanvas. “Ada perkembangan dengan melukis [Sejak awal melukis],” katanya.
 

Karya seni di pameran seni amal bertajuk Dare to be Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love  (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)

Karya seni di pameran seni amal bertajuk Dare to be Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)


Meskipun begitu, perkembangan itu bukan perkembangan yang secara total kemudian dapat mengubah kondisinya. Individu perempuan dengan autisme kerap memiliki keadaan naik dan turun lantaran pengaruh hormon.

Dia menambahkan, jumlah karya yang telah dihasilkan oleh Raysha sampai saat ini berada pada kisaran 200 karya. Dalam satu minggu, sang seniman bisa menghasilkan satu karya lantaran menjadi individu yang memiliki kemauan keras untuk menyelesaikan sesuatu ketika sudah memulainya.

Guru London School Beyond Academy (LSBA), Dwi Ayu Kartika Pawidya menuturkan kegiatan melukis bisa menjadi terapi bagi individu dengan kondisi autisme lantaran proses panjang yang harus dilalui untuk menghasilkan sebuah karya.

Proses itu seperti membuat sketsa dari tidak bagus menjadi bagus setelah diulang beberapa kali; mencampur warna, dan sebagainya. “Itu proses panjang yang menjadi terapi, yang mana itu sangat bagus, apalagi untuk anak-anak kebutuhan khusus, autis tadi,” katanya.

Penggunaan seni sebagai terapi sudah terjadi sejak lama dan pelukis adalah individu yang menemukannya. Pada awalnya, metode ini digunakan untuk orang-orang yang tinggal di rumah sakit jiwa.
 

karya seni di pameran bertajuk Dare to be Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)

karya seni di pameran bertajuk Dare to be Great, Dare to Collaborate, and Dare to Love (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)


Seni bisa menjadi terapi lantaran pada dasarnya terapi adalah kegiatan melatih diri untuk memperoleh kesembuhan. “Sembuh itu kan perjalanan. Sembuh itu adalah proses, semntara membuat karya seni butuh proses. Proses yang panjang itu bisa dijadikan terapi,” katanya.

Wanita yang juga pemilik Hippos Little Art Studio itu mengatakan proses memiliki peran penting dalam pembuatan karya seni. Jadi, dia berusaha agar para muridnya bisa kuat dalam proses, berani menciptakan ide dalam berkarya, dan tidak sekedar mencontoh.

Menurutnya, kebanyakan individu kesulitan untuk menciptakan ide lantaran tidak semua orang memahami bahwa yang terpenting dalam membuat karya seni adalah proses. “Membuat karya seni adalah proses simulasi kehidupan di mana kita gagal, mulai lagi, coba lagi, sampai akhirnya berhasil,” katanya.

Dalam proses pengajaran yang dilakukannya, dia menekankan bahwa diri adalah seorang pendamping yang hanya sekedar membantu para muridnya untuk berkreasi. Dia memiliki kepercayaan bahwa semua orang bisa menggambar, termasuk mereka yang memiliki kondisi autisme.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Indonesia, Angkie Yudistia mengatakan setiap anak dengan kondisi autisme memiliki potensi dan bakat yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga tidak bisa menyamaratakannya.

Seseorang harus melihat anak dengan autisme dengan pandangan yang lebih luas dan menyeluruh. “Bagaimana cara berinteraksi dengan orang tua, apa yang dibutuhkan anaknya, apa yang dibutuhkan orang tua,” katanya.

Saat ini, tidak bisa dipungkiri, banyak orang masih belum bisa memahami bagaimana memperlakukan, memahami, dan menangani autistik. Untuk itu, selain pemerintah, semua pihak harus membantu melakukan kampanye terkait hal ini.

 Baca juga: Profil Jeff Koons, Seniman Kontemporer Masyhur & Kontroversial Asal Amerika Serikat

Masyarakat akan makin peduli ketika kampanye yang dilakukan terkait dengan autistik kian masif. Mereka dapat mengetahui cara individu dengan autisme belajar sesuatu, berinteraksi, menghidupi dirinya sendiri, keluarga saling mendukung, dan sebagainya. “Itu kenapa perlu terus menerus kampanye inklusif supaya saling memahami bagaimana meng-handle autisme,” katanya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Hari Obesitas Sedunia 4 Maret: Simak Sejarah, Tujuan & Tema Tahun Ini

BERIKUTNYA

Gokil, Single Like Crazy Jimin BTS Memuncaki Billboard Hot 100

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: