6 Puisi Populer Sapardi Djoko Damono, Tokoh yang Jadi Google Doodle Hari Ini
20 March 2023 |
13:30 WIB
1
Like
Like
Like
Sapardi Djoko Damono, penyair yang merevolusi puisi liris di Indonesia ini memang tidak lekang oleh waktu. Sebagai peringatan hari kelahirannya pada 20 Maret, sosok Sapardi hadir sebagai Doodle pada laman Google, hari ini. Sapardi merupakan seorang penyair yang orisinil dan kreatif, dengan percobaan pembaharuannya yang mengejutkan.
Pujangga kelahiran Ngadijayan, Solo, Jawa Tengah ini telah menerbitkan karya yang berpengaruh besar terhadap perkembangan sastra di Tanah Air, khususnya puisi. Melalui karya-karya tersebut, Sapardi menerima banyak penghargaan skala nasional hingga internasional.
Mengutip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, peran Sapardi Djoko Damono dalam kehidupan sastra Indonesia sangat penting. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi adalah seorang cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.
Baca juga: Siapa Sapardi Djoko Damono? Sosok yang Jadi Google Doodle Hari Ini
Puisi Sapardi juga dikagumi Abdul Hadi W.M. Dia mengatakan puisi Sapardi banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang disebut simbolisme. Untuk bisa memahami karya-karya Sapardi, Abdul Hadi menyebut kita harus ingat bahwa dia dengan sengaja memilih tetap berada dalam hubungan dengan konvensi-konvensi persajakan.
Mengenal sosok sastrawan hebat yang meninggal pada 19 Juli 2020 pada usia 83 tahun itu, berikut karya-karya puisi terbaiknya. Beberapa diantaranya sering dipakai para pujangga untuk meluapkan perasaan kepada kekasihnya.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Akulah si telaga
Berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu
Biar aku yang menjaganya
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?
tanyamu. Kita abadi.
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Baca juga: Melihat Perjalanan Penyair Sapardi Djoko Damono di Pameran Urban Masters
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Pujangga kelahiran Ngadijayan, Solo, Jawa Tengah ini telah menerbitkan karya yang berpengaruh besar terhadap perkembangan sastra di Tanah Air, khususnya puisi. Melalui karya-karya tersebut, Sapardi menerima banyak penghargaan skala nasional hingga internasional.
Mengutip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, peran Sapardi Djoko Damono dalam kehidupan sastra Indonesia sangat penting. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi adalah seorang cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.
Baca juga: Siapa Sapardi Djoko Damono? Sosok yang Jadi Google Doodle Hari Ini
Puisi Sapardi juga dikagumi Abdul Hadi W.M. Dia mengatakan puisi Sapardi banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat sejak akhir abad ke-19 yang disebut simbolisme. Untuk bisa memahami karya-karya Sapardi, Abdul Hadi menyebut kita harus ingat bahwa dia dengan sengaja memilih tetap berada dalam hubungan dengan konvensi-konvensi persajakan.
Mengenal sosok sastrawan hebat yang meninggal pada 19 Juli 2020 pada usia 83 tahun itu, berikut karya-karya puisi terbaiknya. Beberapa diantaranya sering dipakai para pujangga untuk meluapkan perasaan kepada kekasihnya.
1. Aku Ingin (1989)
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
2. Hujan Bulan Juni (1989)
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
3. Akulah Si Telaga (1982)
Akulah si telaga
Berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
Sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu
Biar aku yang menjaganya
4. Pada Suatu Hari nanti (1991)
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
5. Yang Fana Adalah Waktu (1978)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?
tanyamu. Kita abadi.
6. Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Baca juga: Melihat Perjalanan Penyair Sapardi Djoko Damono di Pameran Urban Masters
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.