Menimbang Pengendalian Konsumsi Gula untuk Cegah Obesitas
06 March 2023 |
12:35 WIB
1
Like
Like
Like
Kementerian Kesehatan terus mendorong pemberlakukan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Cara ini dinilai bisa menjadi langkah awal menekan angka obesitas dan diabetes di Indonesia, terutama pada anak-anak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan bahwa pihaknya sudah menyurati Kementerian Keuangan terkait dengan cukai PMDK sejak 14 April 2022. Kedua kementerian ini juga sudah melakukan beberapa rapat untuk membahas detail aturan tersebut.
Sebab, sebuah aturan tidak bisa tiba-tiba saja diberlakukan. Perlu ada hitung-hitungan yang yang matang agar pengenaan cukai pada MBDK bisa tepat sasaran.
Baca juga: Hypereport: Intaian Gula dalam Gaya Hidup, Makanan & Minuman Viral
“Ada formulasinya, dalam arti pajaknya tuh berapa banyak. Misalnya, lebih dari berapa kilo dalam satu kemasan berapa range pembayaran pajaknya. Ini sudah didiskusikan dan dihitung-hitung,” kata Eva dalam media workshop Stop Rantai Obesitas Sedini Mungkin, beberapa waktu lalu.
Rencana aturan ini, kata Eva, diharapkan bisa menurunkan angka konsumsi gula masyarakat Indonesia. Dengan demikian, angka diabetes hingga obesitas di dalam negeri bisa menurun. Namun, Eva belum memastikan kapan kebijakan tersebut akan dilaksanakan.
Dalam survei terakhir Riset Kesehatan Dasar pada 2018, diketahui satu dari lima anak berusia lima tahun hingga 12 tahun mengalami obesitas. Sementara itu, satu dari tujuh remaja yang berusia 12 tahun hingga 18 tahun di Indonesia mengalami kelebihan berat badan.
Eva juga mengatakan bahwa dalam survei Riskesdas terbaru, yang akan dikeluarkan tahun ini, prevalensi orang terkena obesitas juga terus meningkat. Pihaknya khawatir jika tidak segera dilakukan intervensi, permasalahan obesitas akan menimbulkan efek kesehatan lanjutan secara jangka panjang.
Menurut Eva, permasalahan gizi di Indonesia memang kompleks. Di satu sisi masih ada anak yang mengalami stunting. Namun, di sisi yang lain angka obesitas juga meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, penanganan dua masalah ini mesti berjalan beriringan dan membutuhkan peran lintas sektor.
Dalam kaitannya dengan industri, pemerintah mesti memastikan makanan yang dijual di pasaran selalu aman. Termasuk, soal penyediaan akses makanan yang lebih sehat dengan rendah gula.
“Makin manis minumannya, pajaknya makin tinggi. Mudah-mudahan dengan itu, industri akan menurunkan kadar manisnya,” imbuhnya.
Di sisi lain, integrasi penurunan angka obesitas juga mesti dilakukan dengan Kementerian Pendidikan. Selain karena angkanya cukup tinggi pada anak-anak, sekolah bisa ikut berkontribusi melakukan kampanye kesehatan dan menerapkan program tertentu untuk meningkatkan budaya olahraga.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa isu obesitas di Indonesia sudah makin meningkat, meski belum setinggi negara-negara Barat.
Namun, di Indonesia angkanya sudah mulai mengarah ke potensi yang mengkhawatirkan. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya minuman kemasan manis, baik itu teh, kopi kemasan, hingga jus kemasan yang dijual bebas dan murah di pasaran.
Masalahnya, orang yang mengonsumsi minuman manis cenderung sulit mengendalikan diri. Dalam artian, minuman manis tidak memberikan rasa kenyang atau menghilangkan haus. Maka, orang akan terus mengonsumsinya dalam jumlah banyak. Umumnya, efeknya baru terasa setelah mengonsumsi dua liter atau sekitar 15 porsi.
“Padahal, satu kemasan minuman berpemanis bisa mengandung 120 kalori. Bisa dibayangkan, dari minuman saja sudah hampir 1.500 sampai 2.000 kalori, belum dari makanan yang dikonsumsinya. Akhirnya, efeknya menjadi obesitas,” jelas Hasbullah kepada Hypeabis.id.
Lantaran sifat umum manusia susah mengendalikan diri, maka sebaiknya pemerintah mencoba mengubah kebiasaan masyarakat melalui harga produk. Kalau harga lebih tinggi, orang umumnya akan berpikir dua kali sebelum mengonsumsi lebih banyak.
Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan menerapkan cukai. Nantinya, pajak dari hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk menciptakan program tertentu yang bisa mengubah perilaku masyarakat ke arah gaya hidup sehat.
Dengan menggalakkan sosialisasi dan program lain yang efektif, angka obesitas diharapkan bisa berkurang seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap bahayanya. Kemudian, hasil dari cukai juga bisa untuk menjamin kesehatan tambahan bagi masyarakat yang termasuk penerima bantuan iuran (PBI).
“Masyarakat masih banyak yang belum sadar dan tergerak untuk memperbaiki pola makannya. Padahal, pola makan atau minum yang tidak sehat, ujungnya membahayakan kesehatannya, menyedot biaya berobat, hingga kehilangan produktivitas,” imbuhnya.
Menurut Hasbullah, sudah banyak negara yang berhasil menurunkan angka konsumsi gula dengan penerapan cukai. Secara jangka panjang, angka kesehatan masyarakat juga meningkat, seperti usia harapan hidup yang lebih panjang, kebahagiaan hidup, dan produktivitas yang bertambah.
Baca juga: Konsumsi Gula Masyarakat Indonesia Tinggi, Yuk Ubah Pola Gaya Hidup!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan bahwa pihaknya sudah menyurati Kementerian Keuangan terkait dengan cukai PMDK sejak 14 April 2022. Kedua kementerian ini juga sudah melakukan beberapa rapat untuk membahas detail aturan tersebut.
Sebab, sebuah aturan tidak bisa tiba-tiba saja diberlakukan. Perlu ada hitung-hitungan yang yang matang agar pengenaan cukai pada MBDK bisa tepat sasaran.
Baca juga: Hypereport: Intaian Gula dalam Gaya Hidup, Makanan & Minuman Viral
“Ada formulasinya, dalam arti pajaknya tuh berapa banyak. Misalnya, lebih dari berapa kilo dalam satu kemasan berapa range pembayaran pajaknya. Ini sudah didiskusikan dan dihitung-hitung,” kata Eva dalam media workshop Stop Rantai Obesitas Sedini Mungkin, beberapa waktu lalu.
Rencana aturan ini, kata Eva, diharapkan bisa menurunkan angka konsumsi gula masyarakat Indonesia. Dengan demikian, angka diabetes hingga obesitas di dalam negeri bisa menurun. Namun, Eva belum memastikan kapan kebijakan tersebut akan dilaksanakan.
Dalam survei terakhir Riset Kesehatan Dasar pada 2018, diketahui satu dari lima anak berusia lima tahun hingga 12 tahun mengalami obesitas. Sementara itu, satu dari tujuh remaja yang berusia 12 tahun hingga 18 tahun di Indonesia mengalami kelebihan berat badan.
(Sumber gambar: Freepik)
Eva juga mengatakan bahwa dalam survei Riskesdas terbaru, yang akan dikeluarkan tahun ini, prevalensi orang terkena obesitas juga terus meningkat. Pihaknya khawatir jika tidak segera dilakukan intervensi, permasalahan obesitas akan menimbulkan efek kesehatan lanjutan secara jangka panjang.
Menurut Eva, permasalahan gizi di Indonesia memang kompleks. Di satu sisi masih ada anak yang mengalami stunting. Namun, di sisi yang lain angka obesitas juga meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, penanganan dua masalah ini mesti berjalan beriringan dan membutuhkan peran lintas sektor.
Dalam kaitannya dengan industri, pemerintah mesti memastikan makanan yang dijual di pasaran selalu aman. Termasuk, soal penyediaan akses makanan yang lebih sehat dengan rendah gula.
“Makin manis minumannya, pajaknya makin tinggi. Mudah-mudahan dengan itu, industri akan menurunkan kadar manisnya,” imbuhnya.
Di sisi lain, integrasi penurunan angka obesitas juga mesti dilakukan dengan Kementerian Pendidikan. Selain karena angkanya cukup tinggi pada anak-anak, sekolah bisa ikut berkontribusi melakukan kampanye kesehatan dan menerapkan program tertentu untuk meningkatkan budaya olahraga.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa isu obesitas di Indonesia sudah makin meningkat, meski belum setinggi negara-negara Barat.
Namun, di Indonesia angkanya sudah mulai mengarah ke potensi yang mengkhawatirkan. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya minuman kemasan manis, baik itu teh, kopi kemasan, hingga jus kemasan yang dijual bebas dan murah di pasaran.
Masalahnya, orang yang mengonsumsi minuman manis cenderung sulit mengendalikan diri. Dalam artian, minuman manis tidak memberikan rasa kenyang atau menghilangkan haus. Maka, orang akan terus mengonsumsinya dalam jumlah banyak. Umumnya, efeknya baru terasa setelah mengonsumsi dua liter atau sekitar 15 porsi.
“Padahal, satu kemasan minuman berpemanis bisa mengandung 120 kalori. Bisa dibayangkan, dari minuman saja sudah hampir 1.500 sampai 2.000 kalori, belum dari makanan yang dikonsumsinya. Akhirnya, efeknya menjadi obesitas,” jelas Hasbullah kepada Hypeabis.id.
Lantaran sifat umum manusia susah mengendalikan diri, maka sebaiknya pemerintah mencoba mengubah kebiasaan masyarakat melalui harga produk. Kalau harga lebih tinggi, orang umumnya akan berpikir dua kali sebelum mengonsumsi lebih banyak.
Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan menerapkan cukai. Nantinya, pajak dari hal tersebut bisa dimanfaatkan untuk menciptakan program tertentu yang bisa mengubah perilaku masyarakat ke arah gaya hidup sehat.
Dengan menggalakkan sosialisasi dan program lain yang efektif, angka obesitas diharapkan bisa berkurang seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap bahayanya. Kemudian, hasil dari cukai juga bisa untuk menjamin kesehatan tambahan bagi masyarakat yang termasuk penerima bantuan iuran (PBI).
“Masyarakat masih banyak yang belum sadar dan tergerak untuk memperbaiki pola makannya. Padahal, pola makan atau minum yang tidak sehat, ujungnya membahayakan kesehatannya, menyedot biaya berobat, hingga kehilangan produktivitas,” imbuhnya.
Menurut Hasbullah, sudah banyak negara yang berhasil menurunkan angka konsumsi gula dengan penerapan cukai. Secara jangka panjang, angka kesehatan masyarakat juga meningkat, seperti usia harapan hidup yang lebih panjang, kebahagiaan hidup, dan produktivitas yang bertambah.
Baca juga: Konsumsi Gula Masyarakat Indonesia Tinggi, Yuk Ubah Pola Gaya Hidup!
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.