Hari Sarung Nasional: Sejarah, Simbol Perjuangan & Filosofinya di Indonesia
03 March 2023 |
14:05 WIB
Sarung merupakan salah satu busana yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Kain sarung makin naik kelas saat Presiden Joko Widodo menetapkan 3 Maret sebagai Hari Sarung Nasional pada 2019 di acara Sarung Fest di Gelora Bung Karno.
Kiwari, sarung juga ikut masuk dalam berbagai gelaran fesyen yang dikreasikan para desainer terkenal. Jadi, kain persegi panjang seperti selongsong tabung itu kini tak hanya berfungsi sebagai pelengkap saat beribadah dan beraktivitas, tapi juga telah merambah ke industri mode.
Namun, sebelum sampai di tahap ini, kain sarung juga mengalami perjalanan panjang hingga akhirnya menjadi pelengkap busana di acara-acara adat dan keagamaan resmi. Simbol budaya dan keragaman Indonesia yang terus mengikuti zaman ini ternyata merentang jauh hingga ke negeri Timur Tengah.
Baca juga: Dorong Kreativitas Wanita Muslim, Indonesia Hijabfest Bakal Digelar untuk ke-11 Kalinya
Berdasarkan sejumlah catatan, sarung disebut berasal dari Yaman. Pada awalnya, sarung dipakai suku badui yang tinggal di Yaman. Namun saat itu sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel, pewarna kain hitam untuk membuatnya agar tidak cepat terlihat kotor.
Adapun, di negeri Timur Tengah itu sarung dikenal dengan nama futah, izaar atau ma'awis. Di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar. Semantara itu, bagi orang Arab menamainya dengan izaar yang kelak juga terus mengalami transformasi motif.
Seiring waktu, penggunaan sarung akhirnya ikut meluas ke berbagai wilayah di dunia yang dibawa oleh mereka yang berasal dari Semenanjung Arab. Tak hanya itu, persebarannya juga mencapai ke Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Di Nusantara, sarung masuk pertama kali diperkirakan pada abad ke-14. Saat itu sarung dibawa oleh para saudagar Gujarat dan Arab yang juga turut menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu dalam perkembangannya sarung identik dengan kebudayaan Islam.
Sementara itu, dikutip dari buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2005) karya Denys Lombard, dalam memoar Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, menunjukkan bahwa sampai sekitar 1902, masyarakat Jawa masih memakai sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar.
Kendati demikian, kebudayaan bersarung kemungkinan sudah ada di berbagai suku di Indonesia jauh sebelum itu. Beberapa di antaranya dapat dilihat dari berbagai daerah yang mewariskan peradaban ini, misalnya suku Bugis di Sulawesi Selatan, atau masyarakat Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Ketika itu, masyarakat santri merupakan salah satu golongan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Padahal, pada saat yang sama kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan busana ini dan menggantinya dengan celana formal yang dianggap lebih praktis dan modern.
Sikap konsisten ini salah satunya dijalankan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdlatul Ulama (NU). Syahdan, dia diundang Presiden Soekarno ke Istana Negara yang memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi saat berkunjung.
Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, dia justru datang menggunakan jas tetapi bawahannya mengenakan kain sarung. Padahal, umumnya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sikap sang kiai saat mengenakan sarung adalah ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.
Halaman selanjutnya: Ciri Khas & Filosofi Sarung Indonesia
Kiwari, sarung juga ikut masuk dalam berbagai gelaran fesyen yang dikreasikan para desainer terkenal. Jadi, kain persegi panjang seperti selongsong tabung itu kini tak hanya berfungsi sebagai pelengkap saat beribadah dan beraktivitas, tapi juga telah merambah ke industri mode.
Namun, sebelum sampai di tahap ini, kain sarung juga mengalami perjalanan panjang hingga akhirnya menjadi pelengkap busana di acara-acara adat dan keagamaan resmi. Simbol budaya dan keragaman Indonesia yang terus mengikuti zaman ini ternyata merentang jauh hingga ke negeri Timur Tengah.
Baca juga: Dorong Kreativitas Wanita Muslim, Indonesia Hijabfest Bakal Digelar untuk ke-11 Kalinya
Sejarah Sarung di Indonesia
Berdasarkan sejumlah catatan, sarung disebut berasal dari Yaman. Pada awalnya, sarung dipakai suku badui yang tinggal di Yaman. Namun saat itu sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel, pewarna kain hitam untuk membuatnya agar tidak cepat terlihat kotor.Adapun, di negeri Timur Tengah itu sarung dikenal dengan nama futah, izaar atau ma'awis. Di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar. Semantara itu, bagi orang Arab menamainya dengan izaar yang kelak juga terus mengalami transformasi motif.
Seiring waktu, penggunaan sarung akhirnya ikut meluas ke berbagai wilayah di dunia yang dibawa oleh mereka yang berasal dari Semenanjung Arab. Tak hanya itu, persebarannya juga mencapai ke Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Di Nusantara, sarung masuk pertama kali diperkirakan pada abad ke-14. Saat itu sarung dibawa oleh para saudagar Gujarat dan Arab yang juga turut menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu dalam perkembangannya sarung identik dengan kebudayaan Islam.
Sementara itu, dikutip dari buku Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan (2005) karya Denys Lombard, dalam memoar Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, menunjukkan bahwa sampai sekitar 1902, masyarakat Jawa masih memakai sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar.
Kendati demikian, kebudayaan bersarung kemungkinan sudah ada di berbagai suku di Indonesia jauh sebelum itu. Beberapa di antaranya dapat dilihat dari berbagai daerah yang mewariskan peradaban ini, misalnya suku Bugis di Sulawesi Selatan, atau masyarakat Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Sarung Sebagai Simbol Perjuangan
Saat pemerintah kolonial Belanda masih menjajah Indonesia, sarung juga identik dengan simbol perjuangan melawan budaya barat. Saat itu, para santri di bawah kungkungan Belanda menggunakan sarung sebagai bentuk nasionalisme.Ketika itu, masyarakat santri merupakan salah satu golongan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung. Padahal, pada saat yang sama kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan busana ini dan menggantinya dengan celana formal yang dianggap lebih praktis dan modern.
Sikap konsisten ini salah satunya dijalankan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdlatul Ulama (NU). Syahdan, dia diundang Presiden Soekarno ke Istana Negara yang memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi saat berkunjung.
Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, dia justru datang menggunakan jas tetapi bawahannya mengenakan kain sarung. Padahal, umumnya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang. Sikap sang kiai saat mengenakan sarung adalah ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.
Halaman selanjutnya: Ciri Khas & Filosofi Sarung Indonesia
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.