Mengenal Motif-motif Kain Tenun Ikat "Tama Lu'a" dari Palue
17 October 2023 |
18:50 WIB
2
Likes
Like
Likes
Ikat tenun merupakan salah satu karya seni anak bangsa. Beberapa motif yang dihadirkan dalam tenunan memberikan gambaran terkait situasi alam maupun kondisi sosial masyarakat setempat. Selain itu, motif yang dihadirkan juga menjadi penambah nilai keindahan dalam sebuah kain.
Salah satu kain tenun Indonesia ialah yang berasal dari Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepada tim Hypeabis.id, Natalia Sopu, seorang penenun kain Paulue menjelaskan nilai sejarah serta motif yang digunakan dalam kain tenunannya.
Baca juga: Mengenal Tenun Ikat Sikka, Wastra Asli dari Nusa Tenggara Timur
“Kain tenun ini sudah menjadi turun temurun bagi kami warga pulau Palue sejak dulu. Selain itu, kain tenun ini juga kami gunakan ketika acara adat dan untuk dijual” tutur Natalia ketika diwawancara Hypeabis melalui sambungan WhatsApp.
Tenun adat Palue merupakan seni yang diturunkan oleh nenek moyang Masyarakat Palue yang digunakan sebagai kain adat dan juga sumber mata pencaharian. Masyarakat pulau ini meyakini bahwa dalam menenun seorang penenun dilarang untuk mengeluarkan kata-kata kotor.
Dijelaskan oleh Natalia, motif yang diciptakan dalam kain menjadi informasi dan juga nilai dari tatanan hidup masyarakat Palue. Salah satu contoh motif yang memiliki nilai yang besar adalah motif gambar kaki ayam. Motif ini menunjukan budaya setempat yang menggunakan ayam sebagai hewan kurban ketika akan membuka sebuah kebun baru.
Tidak hanya itu, motif lain yang digunakan adalah motif kenari sebagai simbol kesuburan dari pulau Palue, motif busur yang menjadi simbol keperkasaan laki-laki Palue, motif kepiting, yang menggambarkan kehidupan kekal, serta motif segitiga yang memberi gambaran terkait gunung sebagai simbol yang tertinggi yakini Tuhan dan leluhur.
"Biasanya kami sebagai penenun sering menggunakan kekayaan alam yang ada di sekitar kami sebagai motifnya", tutur Natalia.
Terinspirasi dari letak geografisnya yang terletak di tengah lautan lepas, masyarakat Palue juga membuat motif dari kapal, motif lautan atau ombak, dan juga motif daratan. Motif-motif ini dijelaskan oleh natalia sebagai gambaran kehidupan baik sosial maupun keadaan alam di Pulau Palue.
Selain nilai dari motifnya, kain adat Palue juga menjadi salah satu faktor untuk menilai seorang perempuan. Hal ini dikarenakan, kain-kain tenun ini dibuat oleh perempuan Palue akan menjadi simbol kehormatan dari seorang wanita dengan menghasilkan tenunan sendiri.
Namun, dijelaskan oleh Natalia konsep tradisi ini telah mengalami perubahan dengan didorongnya perkembangan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu. Saat ini sebagian masyarakat Palue tidak menggunakan standar tersebut untuk mengukur kualitas seorang perempuan.
Natalia menjelaskan sejak dahulu nenek moyang Masyarakat Palue menggunakan beberapa motif yang masih digunakan oleh sebagai penenun hingga saat ini. Beberapa motif yang digunakan oleh masyarakat Palue zaman dahulu diantaranya, Motif Wua Wela, Widi Mata, Bhejo, Saloi, Cabu Songgo, Loka, Nae.
Namun, karena keterbatasan informasi terkait kain dengan motif motif wua wela, widi mata, bhejo, saloi, cabu songgo, loka, nae ini, akhirnya para anak muda yang tergabung dalam kelompok tenun Mbola So, menghadirkan kain dengan motif terbaru namun tidak meninggalkan kain-kain dengan ragam pada zaman dahulu.
“Iya, karena nenek moyang yang mau mencerita kan kami sejarah dulu suda tidak lagi, hanya tahu sedikit-sedikit saja, makanya kami cipta lagi yang baru,” tutur Natalia.
Salah satunya adalah para pengungsi Palue yang tinggal di Desa Hewuli, Maumere dan membentuk kelompok tenun yang dinamakan Mbola So atau Terima Kasih. Salah satu anggota yang tergabung dalam kelompok tenun Mbola So adalah Natalia.
Selain itu, bagi masyarakat juga perahu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan atau mencari sumber kehidupan lainnya. Simbol perahu juga dimaknai oleh para pengrajin untuk melambangkan ikat tenun dengan warna alam sebagai pegangan hidup para penenun.
Ayam bagi masyarakat Palue merupakan hewan kurban yang digunakan pada beberapa acara adat. Selain itu, ayam juga digunakan sebagai alarm bagi masyarakat Palue untuk segera Bersiap-siap bekerja jika ayam sudah berkokok. Hal ini juga yang digunakan oleh para penenun di Desa Hewuli terkhususnya bagi kelompok Mbola So agar segera Bersiap-siap untuk menenun jika sudah terdengar suara ayam yang berkokok.
Baca juga: Mengenal Proses Pembuatan Kain Tenun dari Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Salah satu kain tenun Indonesia ialah yang berasal dari Pulau Palue, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepada tim Hypeabis.id, Natalia Sopu, seorang penenun kain Paulue menjelaskan nilai sejarah serta motif yang digunakan dalam kain tenunannya.
Baca juga: Mengenal Tenun Ikat Sikka, Wastra Asli dari Nusa Tenggara Timur
“Kain tenun ini sudah menjadi turun temurun bagi kami warga pulau Palue sejak dulu. Selain itu, kain tenun ini juga kami gunakan ketika acara adat dan untuk dijual” tutur Natalia ketika diwawancara Hypeabis melalui sambungan WhatsApp.
Nilai dan sejarah Kain Tenun Palue
Ilustrasi seorang penenun dari Sikka, Nusa Tenggara Timur (Sumber gambar: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Dijelaskan oleh Natalia, motif yang diciptakan dalam kain menjadi informasi dan juga nilai dari tatanan hidup masyarakat Palue. Salah satu contoh motif yang memiliki nilai yang besar adalah motif gambar kaki ayam. Motif ini menunjukan budaya setempat yang menggunakan ayam sebagai hewan kurban ketika akan membuka sebuah kebun baru.
Tidak hanya itu, motif lain yang digunakan adalah motif kenari sebagai simbol kesuburan dari pulau Palue, motif busur yang menjadi simbol keperkasaan laki-laki Palue, motif kepiting, yang menggambarkan kehidupan kekal, serta motif segitiga yang memberi gambaran terkait gunung sebagai simbol yang tertinggi yakini Tuhan dan leluhur.
"Biasanya kami sebagai penenun sering menggunakan kekayaan alam yang ada di sekitar kami sebagai motifnya", tutur Natalia.
Terinspirasi dari letak geografisnya yang terletak di tengah lautan lepas, masyarakat Palue juga membuat motif dari kapal, motif lautan atau ombak, dan juga motif daratan. Motif-motif ini dijelaskan oleh natalia sebagai gambaran kehidupan baik sosial maupun keadaan alam di Pulau Palue.
Selain nilai dari motifnya, kain adat Palue juga menjadi salah satu faktor untuk menilai seorang perempuan. Hal ini dikarenakan, kain-kain tenun ini dibuat oleh perempuan Palue akan menjadi simbol kehormatan dari seorang wanita dengan menghasilkan tenunan sendiri.
Namun, dijelaskan oleh Natalia konsep tradisi ini telah mengalami perubahan dengan didorongnya perkembangan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu. Saat ini sebagian masyarakat Palue tidak menggunakan standar tersebut untuk mengukur kualitas seorang perempuan.
Natalia menjelaskan sejak dahulu nenek moyang Masyarakat Palue menggunakan beberapa motif yang masih digunakan oleh sebagai penenun hingga saat ini. Beberapa motif yang digunakan oleh masyarakat Palue zaman dahulu diantaranya, Motif Wua Wela, Widi Mata, Bhejo, Saloi, Cabu Songgo, Loka, Nae.
Namun, karena keterbatasan informasi terkait kain dengan motif motif wua wela, widi mata, bhejo, saloi, cabu songgo, loka, nae ini, akhirnya para anak muda yang tergabung dalam kelompok tenun Mbola So, menghadirkan kain dengan motif terbaru namun tidak meninggalkan kain-kain dengan ragam pada zaman dahulu.
“Iya, karena nenek moyang yang mau mencerita kan kami sejarah dulu suda tidak lagi, hanya tahu sedikit-sedikit saja, makanya kami cipta lagi yang baru,” tutur Natalia.
Motif-Motif pada Kain Tenun Palue Terbaru
1. Mudhu atau Gunung
Motif mudhu merupakan simbol dari gunung Rokatenda, satu-satunya gunung berapi di Pulau Palue. Pada 2013, Gunung Rokatenda meletus yang membuat sebagian besar warga berbondong-bondong pindah dari pulau tersebut. Oleh karena peristiwa meletusnya Gunung Rokatenda tersebut, masyarakat mengabadikan momennya melalui motif kain tenun mudhu ini.2. Watu No’o Tana atau Batu dan Tanah
Masih terinspirasi dari letusan Gunung Rokatenda, masyarakat menggunakan kerikil dan batu yang bertebaran sebagai simbol dari terpisah-pisahnya masyarakat saat itu dan kemudian membentuk berbagai kelompok di tempat pengungsian yang baru.Salah satunya adalah para pengungsi Palue yang tinggal di Desa Hewuli, Maumere dan membentuk kelompok tenun yang dinamakan Mbola So atau Terima Kasih. Salah satu anggota yang tergabung dalam kelompok tenun Mbola So adalah Natalia.
3. Pou atau Perahu
Para penenun termasuk Natalia seringkali menggunakan motif pou atau perahu. Desain perahu diciptakan untuk mengingatkan kepada masyarakat saat proses mengungsi dari Palue menuju Desa Hewuli.Selain itu, bagi masyarakat juga perahu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan atau mencari sumber kehidupan lainnya. Simbol perahu juga dimaknai oleh para pengrajin untuk melambangkan ikat tenun dengan warna alam sebagai pegangan hidup para penenun.
4. Kunda atau Kalung Adat
Selain terinspirasi dari keadaan alam, para penenun juga menggunakan salah satu warisan budaya berupa kalung adat untuk dijadikan motif. Kunda merupakan benda sakral yang disimpan secara baik dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Kunda terbuat dari manik-manik yang disatukan menggunakan tali. Kunda menjadi simbol bagi para anggota kelompok tenun Mbola So yang terikat satu sama lainnya.5. Welu atau Kemiri
Pulau Palue menjadi salah satu penghasil kemiri, biasanya bumbu dapur yang satu ini akan dipasarkan. Namun, Natalia menjelaskan kemiri digunakan sebagai perminyakan benang dalam proses pewarnaan alam. Oleh karena itu, untuk mengenang salah satu bahan pembuatan sarung, para pengrajin mengabadikan pohon kemiri dalam sebuah motif sarung.
6. Manu atau Ayam
Ayam bagi masyarakat Palue merupakan hewan kurban yang digunakan pada beberapa acara adat. Selain itu, ayam juga digunakan sebagai alarm bagi masyarakat Palue untuk segera Bersiap-siap bekerja jika ayam sudah berkokok. Hal ini juga yang digunakan oleh para penenun di Desa Hewuli terkhususnya bagi kelompok Mbola So agar segera Bersiap-siap untuk menenun jika sudah terdengar suara ayam yang berkokok.7. Koma atau Anting Adat
Dijelaskan oleh Natalia, Koma merupakan sebutan bagi anting adat masyarakat Palue. Bagi Natalia dan anggota Mbola So, motif ini menggambarkan jati diri mereka sebagai wanita berdaya seperti emas yang akan memberikan kesejahteraan bagi diri sendiri dan juga anggota keluarga mereka.Baca juga: Mengenal Proses Pembuatan Kain Tenun dari Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.