Virus Penyebab Covid-19 Bermutasi, Apa Sebabnya & Seberapa Besar Bahayanya?
11 July 2021 |
07:37 WIB
Munculnya virus SARS CoV-2 varian Delta disebut-sebut sebagai penyebab dari melonjaknya kasus Covid-19 di Tanah Air belakangan ini. Mutasi dari virus SARS CoV-2 yang ditemukan pertama kali di India itu kabarnya memiliki kemampuan transmisi atau penularan jauh lebih tinggi dari varian lainnya.
Seperti diketahui, virus SARS CoV-2 memiliki beberapa varian yang dibagi dalam dua kategori, yakni variant of concern (VoC) dan variant of interest (VoI) menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Lantas, apa sebenarnya yang membuat virus, termasuk virus SARS CoV-2 bisa bermutasi sampai akhirnya melahirkan varian-varian baru dengan kemampuan lebih?
Menurut ahli patologi klinis sekaligus Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Universitas Sebelas Maret Surakarta Tonang Dwi Ardyanto, pada dasarnya virus apapun rentan bermutasi. Mutasi terjadi akibat kegagalan mekanisme check-point saat bereplikasi.
Khusus untuk virus SARS CoV-2, sejauh ini dilaporkan sudah terjadi lebih dari 4.000 mutasi virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu.
"Hanya hampir semuanya tidak signifikan berpengaruh bagi manusia. Hanya sebagian kecil yang signifikan. Ini yang kita kenal VoI dan VoC," katanya dalam sebuah grup diskusi belum lama ini.
Tonang menjelaskan sebagian kecil mutasi yang menjadi signifikan ini terjadi karena adanya tekanan (selection pressure) virus harus berusaha bagaimana caranya tetap bisa menginfeksi. Di luar faktor perubahan alami, selection pressure bisa karena faktor tindakan pencegahan penularan atau protokol kesehatan, pemberian terapi atau vaksinasi.
"Virus dengan mutasi-mutasi tertentu yang signifikan akan bisa menghindar atau escape and evade dari hal-hal tersebut. Maka sering juga disebut escape mutation," tuturnya.
Virus bisa bermutasi bila bereplikasi. Virus hanya bisa bereplikasi bila berada dalam sel manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya agar virus tak memiliki kesempatan untuk masuk atau berada di dalam sel tubuh manusia.
Saat cakupan vaksinasi baru sedikit mulai ada selection pressure terhadap virus. Hal tersebut mendorong virus bermutasi saat bisa masuk ke sel manusia yang belum tervaksin. Kemudian menyebarkan hasil mutasi itu ke yang lain.
"Karena itulah pada titik tersebut, pilihan strategi adalah protokol kesehatan. Sampai nanti perlahan cakupan vaksinasi makin tinggi, dan makin mampu menahan sebaran infeksi. Itu terjadi karena yang sudah tervaksin akan menjadi benteng pelindung bagi yang belum tervaksinasi," tegas Tonang.
Kemudian setelah sudah banyak yang tervaksinasi, apakah mungkin masih terjadi mutasi virus?
Menurut Tonang, hal itu masih bisa terjadi, tetapi peluangnya makin kecil dan variasi mutasinya menjadi lebih terbatas. Umumnya mengarah ke berusaha mempertahankan penyebaran, bukan menambah keganasan.
"Contoh mudah tentu virus influenza. Vaksin influenza secara berkala dilakukan perubahan menyesuaikan mutasi terkini," ungkapnya
Contoh lain, vaksinasi Hepatitis B sudah mulai sejak 1982. Makin berkembang sejak 1986. Sejak itu semakin banyak yang divaksinasi sejak baru lahir. Selection pressure sangat tinggi, mendorong mutasi.
"Tapi escape mutation baru mulai dilaporkan sekitar awal 2000-an. Mutasi virus Hepatitis B itu berpengaruh pada metode deteksinya, yang kemudian segera diperbaiki," ujarnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Seperti diketahui, virus SARS CoV-2 memiliki beberapa varian yang dibagi dalam dua kategori, yakni variant of concern (VoC) dan variant of interest (VoI) menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Lantas, apa sebenarnya yang membuat virus, termasuk virus SARS CoV-2 bisa bermutasi sampai akhirnya melahirkan varian-varian baru dengan kemampuan lebih?
Menurut ahli patologi klinis sekaligus Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian RS Universitas Sebelas Maret Surakarta Tonang Dwi Ardyanto, pada dasarnya virus apapun rentan bermutasi. Mutasi terjadi akibat kegagalan mekanisme check-point saat bereplikasi.
Khusus untuk virus SARS CoV-2, sejauh ini dilaporkan sudah terjadi lebih dari 4.000 mutasi virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu.
"Hanya hampir semuanya tidak signifikan berpengaruh bagi manusia. Hanya sebagian kecil yang signifikan. Ini yang kita kenal VoI dan VoC," katanya dalam sebuah grup diskusi belum lama ini.
Tonang menjelaskan sebagian kecil mutasi yang menjadi signifikan ini terjadi karena adanya tekanan (selection pressure) virus harus berusaha bagaimana caranya tetap bisa menginfeksi. Di luar faktor perubahan alami, selection pressure bisa karena faktor tindakan pencegahan penularan atau protokol kesehatan, pemberian terapi atau vaksinasi.
"Virus dengan mutasi-mutasi tertentu yang signifikan akan bisa menghindar atau escape and evade dari hal-hal tersebut. Maka sering juga disebut escape mutation," tuturnya.
Virus bisa bermutasi bila bereplikasi. Virus hanya bisa bereplikasi bila berada dalam sel manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya agar virus tak memiliki kesempatan untuk masuk atau berada di dalam sel tubuh manusia.
Saat cakupan vaksinasi baru sedikit mulai ada selection pressure terhadap virus. Hal tersebut mendorong virus bermutasi saat bisa masuk ke sel manusia yang belum tervaksin. Kemudian menyebarkan hasil mutasi itu ke yang lain.
"Karena itulah pada titik tersebut, pilihan strategi adalah protokol kesehatan. Sampai nanti perlahan cakupan vaksinasi makin tinggi, dan makin mampu menahan sebaran infeksi. Itu terjadi karena yang sudah tervaksin akan menjadi benteng pelindung bagi yang belum tervaksinasi," tegas Tonang.
Kemudian setelah sudah banyak yang tervaksinasi, apakah mungkin masih terjadi mutasi virus?
Menurut Tonang, hal itu masih bisa terjadi, tetapi peluangnya makin kecil dan variasi mutasinya menjadi lebih terbatas. Umumnya mengarah ke berusaha mempertahankan penyebaran, bukan menambah keganasan.
"Contoh mudah tentu virus influenza. Vaksin influenza secara berkala dilakukan perubahan menyesuaikan mutasi terkini," ungkapnya
Contoh lain, vaksinasi Hepatitis B sudah mulai sejak 1982. Makin berkembang sejak 1986. Sejak itu semakin banyak yang divaksinasi sejak baru lahir. Selection pressure sangat tinggi, mendorong mutasi.
"Tapi escape mutation baru mulai dilaporkan sekitar awal 2000-an. Mutasi virus Hepatitis B itu berpengaruh pada metode deteksinya, yang kemudian segera diperbaiki," ujarnya.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.