Pita ungu menjadi penanda peringatan Hari Kusta Sedunia. (Sumber gambar : Freepik)

Hari Kusta Sedunia 2023, Kenali Sejarah hingga Cara Penularannya

29 January 2023   |   08:23 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Minggu terakhir pada Januari menjadi hari yang memiliki makna penting dan mendalam bagi dunia kesehatan. Pasalnya, pada periode tersebut ada momen peringatan Hari Kusta Sedunia. Kali ini, perayaan tersebut diperingati pada 29 Januari 2023. 

Memasuki tahun ke-70, Hari Kusta Sedunia merupakan gagasan seorang jurnalis sekigus aktivis bernama Raoul Follereau pada 1954. Gagasan itu memiliki dua tujuan yakni mengadvokasi perlakuan yang sama terhadap orang yang terkena kusta dan mendidik kembali masyarakat tentang kusta dengan mengoreksi kesalahpahaman sejarah seputar penyakit tersebut.

Langkah Follereau didukung 150 kantor radio dari 60 negara yang ikut mengampanyekan kepedulian penyakit kusta. Selain itu, pemilihan waktu tersebut juga dilakukan sebagai bentuk apresiasinya kepada Mahatma Gandhi yang wafat pada 30 Januari 1948. Semasa hidupnya, Gandhi menaruh perhatian terhadap penderita kusta. 

Baca juga: Hypereport: Generasi Masa Depan itu Jangan Sampai Berpenyakitan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat kusta, atau dikenal sebagai penyakit Hansen merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Hansen merupakan dokter asal Norwegia yang berhasil menemukan penyebab penyakit ini pada 150 tahun lalu, tepatnya 28 Februari 1873.

Sebelum penemuan dokter yang memiliki nama lengkap Gerhard Armauer Hansen, kusta dilihat sebagai hukuman ilahi atau kutukan. Penyakit yang terutama menyerang kulit, saraf tepi, selaput lendir, dan mata ini sejatinya berasal dari Mycobacterium leprae, yang kini juga disebut Basillus Hansen.

Kusta pun dapat disembuhkan dengan menggunakan kombinasi obat yang disebut terapi multiobat, yang diperkenalkan pada 1980-an. Apabila tidak diobati, penyakit Hansen ini dapat menyebabkan kecacatan progresif. WHO menyatakan lebih dari 200.000 kasus kusta baru dilaporkan setiap tahun. Sebanyak 120 negara melaporkan kasus ini.

Indonesia menjadi negara ketiga yang memiliki kasus kusta terbanyak setelah Brasil dan India. Pada 2021, kusta memiliki prevalensi sebanyak 133.781 kasus dan kejadian (kasus baru) sebanyak 140.546 secara global. Sebanyak 39,97 persen (55.346) dari kasus baru diderita penemuan dan cacat tingkat 2 terhitung 6,04 persen (8.490). 

Sepanjang sejarah, penderita penyakit kusta menghadapi diskriminasi, mitos, serta kesalahpahaman. Di berbagai belahan dunia, orang yang terkena kusta terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman. Beberapa negara pun melarang mereka menggunakan fasilitas umum, atau menjadikan kusta sebagai alasan untuk perceraian atau pemecatan.

Tentu, diskriminasi ini dapat berdampak buruk dan mengarah pada stigma diri. Ini tidak lepas dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini. 

“Saya percaya bahwa jika masing-masing dari kita bersusah payah untuk mempelajari fakta-fakta tentang kusta dan membagikan pengetahuan kita, kita dapat membantu menciptakan dunia yang bebas dari masalah yang terkait dengan penyakit tersebut,” sebut Yohei Sasakawa, Duta Niat Baik WHO untuk Penghapusan Kusta, dikutip Hypeabis.id, Minggu (29/1/2023). 

Pada tahun ini, Hari Kusta Sedunia mengangkat tema Act Now, End Leprosy atau ‘Bertindak Sekarang: Akhiri Kusta'. Tema ini dapat memberikan pencerahan tentang penyakit kusta, gejala dan komplikasinya. Kemudian mengatasi hambatan pasien, manfaat lapor diri, diagnosis dini, dan kepatuhan terhadap terapi yang ditentukan.

Ungkapan ‘Act Now’ mengingatkan pasien tentang keseriusan penyakit jika terdeteksi pada stadium lanjut. Sementara frasa ‘End Leprosy’ mengirimkan pesan untuk mengakhiri kusta dengan bertindak cepat, melaporkan sendiri ke dokter terdekat jika mereka memiliki gejala kusta, dan mengikuti terapi yang ditentukan secara ketat.

Baca juga: Campak Bisa Dicegah, Waspadai Gejala & Komplikasinya


Mengenal Kusta

Kusta memang penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan bagian atas, dan mata. 

Kusta sering terjadi di negara-negara dengan penduduk padat dan kekurangan sumber daya. Penyakit ini ditularkan melalui droplet dari hidung dan mulut. Terutama kontak dekat selama berbulan-bulan dengan penderita kusta yang tidak diobati. 

Penyakit ini tidak menular melalui bersalaman, berpelukan, berbagi makanan, atau duduk bersebelahan. Selain itu, pasien berhenti menularkan penyakit saat mereka memulai pengobatan. Diagnosis kusta dilakukan secara klinis. Penyakit ini bermanifestasi umumnya melalui lesi kulit dan keterlibatan saraf perifer.

Kusta didiagnosis dengan menemukan setidaknya satu dari tiga tanda. Tanda pertama, kehilangan sensasi yang pasti pada bercak kulit yang pucat (hipopigmentasi) atau kemerahan. Kedua, saraf tepi yang menebal atau membesar, dengan hilangnya sensasi atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Ketiga, deteksi mikroskopis basil dalam apusan celah kulit.

Kasus kusta pun diklasifikasikan menjadi dua jenis untuk tujuan pengobatan, diantaranya kasus Paucibacillary (PB) dan kasus Multibacillary (MB). Adapun pada kasus PB yakni kusta dengan 1 sampai 5 lesi kulit, tanpa menunjukkan adanya basil pada apusan kulit.

Sementara kasus MB yakni kusta dengan lesi kulit lebih dari lima atau dengan keterlibatan saraf (neuritis murni, atau sejumlah lesi kulit dan neuritis). Bisa juga dengan adanya basil yang ditunjukkan pada apusan celah kulit, terlepas dari jumlah lesi kulit.

Untuk terapi, regimen pengobatan yang saat ini direkomendasikan terdiri dari tiga obat antara lain, dapson, rifampisin, dan klofazimin. Kombinasi ini disebut sebagai terapi multi-obat (MDT). Lama pengobatan kusta berlangsung enam bulan untuk kasus PB dan 12 bulan untuk kasus MB. 

Cara kerja MDT yakni membunuh patogen dan menyembuhkan pasien. Diagnosis dini dan pengobatan segera dapat membantu mencegah kecacatan. WHO telah menyediakan MDT secara gratis. Awalnya, terapi multi-obat didanai oleh The Nippon Foundation dan sejak 2000 disumbangkan melalui kesepakatan dengan Novartis. 

Baca juga: Epidemiolog Bicara Faktor Penentu Pandemi Covid-19 Berakhir, Kapan Ya?

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Sheila on 7 Hipnotis Sheila Gank Bernostalgia di Konser Tunggu Aku di Jakarta

BERIKUTNYA

3 Resep Masakan yang Bikin Tubuh Hangat di Musim Hujan, Recook Yuk Bun!

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: