Ilustrasi sharenting di berbagai platform medsos. (Sumber gambar : Freepik/Rawpixel)

Waspada Eksploitasi hingga Depresi Anak saat Sharenting

17 January 2023   |   13:53 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Like
Masa perkembangan dan pertumbuhan anak memang sangat penting dan menarik untuk diamati para orang tua. Tidak jarang mereka membagikan momen si kecil tersebut di media sosial seperti Instagram, Facebook, TikTok, hingga YouTube dengan dalih ingin berbagi kebahagiaan. Fenomena ini dikenal dengan istilah sharenting yang berasal dari kata sharing dan parenting.

Menurut penelitian yang dilakukan para ahli di Universitas Antwerp, Belgia pada Maret 2022, motivasi orang tua melakukan sharenting untuk menghindari batas isolasi sosial anak di masa mendatang. Dengan melakukan sharenting, ibu pun merasa divalidasi perannya terutama jika mendapat komentar positif dari pengguna media sosial lainnya. 

“Ada kepuasan untuk menyebarkan informasi yang mungkin bisa bermanfaat untuk orang lain,” ujar Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Elsener kepada Hypeabis.id, Selasa (17/1/2023). 

Memang, setiap orang tua yang melakukan sharenting pasti memiliki niat yang berbeda-beda. Ada yang tulus bercerita supaya orang mendapatkan informasi atau membangun komunitas, ada pula yang akhirnya menjadikan anak sebagai alat untuk mendapatkan penghasilan melalui postingan di media sosial itu. 

Baca jugaDampak Negatif Gawai, Anak-anak Cenderung Menjadi Ansos hingga Picu Depresi

“Hati-hati eksploitasi anak. Bisa masuk eksploitasi jika orang tua tidak bisa memberikan hak-hak anak dengan tepat dan benar,” tegasnya.

 

Ilustrasi ibu dan anak melihat medsos. (Sumber gambar : Freepik/Pch.vector)

Ilustrasi ibu dan anak melihat medsos. (Sumber gambar : Freepik/Pch.vector)


Selain itu, jika orang tua terlalu berlebihan melakukan sharenting, anak menjadi merasa kurang keintiman hubungannya dengan orang tua. Hal ini karena kedekatan yang dibangun hanya dianggap sebagai konten belaka. 

Menurut Samanta, bisa timbul perasaan dimana anak merasa hanya dimanfaatkan tanpa merasakan cinta dan kasih sayang tulus dari orangtuanya. “Jangka panjang bisa meningkatkan risiko depresi, trauma, kecemasan, keinginan bunuh diri dan merasa kesepian,” tuturnya mengingatkan. 

Bukan hanya dampak psikologis yang bisa ditimbulkan, Samanta menyebut terlalu sering menyebarkan konten anak di sosial media berisiko memancing kejahatan seperti penculikan atau tindak kejahatan lainnya ke anak seperti pelecehan seksual. Tidak jarang, sejumlah foto dan video anak dijadikan latar penjualan bayi hingga pemuas hasrat pedofil. 

Oleh karena itu, Samanta meminta para orang tua untuk bijak menggunakan media sosial, terutama jika konten yang dibuat terkait anak mereka. Jangan oversharing di sosial media baik jumlah konten, isi, maupun informasi anak. 

Dia juga menyarankan untuk wajah anak di awah 5 tahun sebaiknya disamarkan. Di atas 5 tahun, selalu tanya anak boleh tidak fotonya di posting di sosial media. 

Sebelum memposting pun, pastikan anak memakan pakaian lengkap di foto tersebut dan tidak membagikan identitas mereka dengan lengkap. Usahakan postingan memakai watermark sehingga terlihat originalitasnya. Akun juga perlu di-private dan diawasi siapa saja follower akun kita.

“Orang tua perlu paham tugasnya melindungi anak bukan eksploitasi anak,” lugas Samanta. 

Baca jugaBunda Terlalu Khawatir? Yuk Cari Tahu Cara Mencegah Hyperparenting

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Gamers, Cek Update Patch Notes Splatoon 3 yang Resmi Rilis Hari Ini

BERIKUTNYA

Waspada! Kanker Paru juga Bisa Menyerang Perokok Pasif

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: