Fenomena Kidult dari Kacamata Psikologi, Saat Membeli Barang Masa Kecil Terasa Menyenangkan
17 January 2023 |
10:36 WIB
Tidak sedikit orang dewasa yang begitu mencintai masa kecilnya. Romansa masa lalu itu kerap kali dihadirkan dalam tindakan membeli barang-barang masa kecil atau yang biasa disebut mainan anak-anak. Mungkin hal ini terlihat aneh di mata sebagian orang, tetapi dari kacamata psikologi, tindakan ini sebetulnya terbilang wajar.
Belakang tren Kidult, sebutan bagi orang dewasa yang suka membeli mainan anak-anak naik daun. Banyak orang menyebut jika kidult merupakan fenomena orang dewasa yang terjebak dalam masa kecil. Namun, tidak sedikit juga yang menyambut tren ini secara positif sebagai bahan nostalgia masa kecil.
Nah kalau dipandang dari segi psikologi, sebetulnya tren ini wajar apa enggak ya Genhype?
Baca juga: 5 Fakta Unik Latto-Latto, Mainan Viral yang Turut Dimainkan Presiden Jokowi
Studi dari Journal of the Korean Society yang dibuat Ji Ha-cha dan Keum Hee-hong menyebutkan, kidult bukan sekedar fenomena membeli barang anak-anak, tapi lebih jauh melibatkan perasaan keterikatan dengan produk yang telah mereka gunakan di masa kecil mereka.
Hal ini juga senada dengan yang diucapkan psikolog Samanta Elsener, bahwa seiring manusia bertumbuh dewasa, maka pasti selalu ada sisi anak-anak dalam dirinya. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari keinginan bernostalgia, kebutuhan bermain sebagai coping mechanism, hingga regresi.
“Maka fenomena ini terbilang wajar saja asal bisa menyeimbangkan tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang dewasa,” kata Samanta.
Dalam artian, fenomena kidult hanya dijadikan sebagai alternatif untuk mengurangi stres dan meregulasi emosi. Fenomena kidult dapat dikatakan sudah tidak awajar apabila perilakunya menunjukkan gejala lain yang lebih kompleks yang mengindikasikan adanya regesi, misalnya sifat seperti balita.
Kidult juga kerap dikaitkan dengan fenomena kompensasi masa kecil yang belum terpuaskan. Misalnya, saat waktu kecil Genhype tidak bisa membeli sebuah mainan dikarenakan harganya yang mahal, saat masa dewasa kamu ingin membeli barang tersebut untuk memenuhi hasrat yang dulu belum pernah didapat.
Fenomena ini acap kali disebut dengan balas dendam masa kecil. “Bisa dikatakan benar bahwa kidult ini jadi sarana kompensasi masa kecil yang kurang mendapat kesempatan untuk membeli barang atau pengalaman yang diharapkan dapat dipenuhi saat kecil, maka digantikan saat dewasa untuk memenuhinya,” ungkap Samanta.
Saat melihat benda-benda masa kecil, memori manusia bekerja seiringan dengan peningkatan level dopamin atau hormon kesenangan. Tidak bisa dimungkiri, ada beberapa dampak positif menjadi seorang kidult. Di antaranya adalah memiliki regulasi emosi yang tepat untuk mengatasi stres emosional, pemuasan kekurangan di masa kecil dan memenuhi kesenangan karena akhirnya keinginannya terpenuhi.
Sayangnya, jika fenomena ini sudah lewat batas alias berlebihan, seorang kidult bisa saja mengalami diskrepansi diri di mana kenyataan hidup memiliki jarak yang jauh dengan kehidupan ideal. Hal tersebut membuat diri seorang tidak dalam satu bagian utuh pada waktu saat ini.
Apabila seorang kidult tidak pandai melatih coping mechanism yang sesuai dengan profil orang dewasa, maka sangat mungkin sifat kekanak-kanakannya makin menjadi-jadi. Ketidakpandaian pengelolaan ini akan menyebabkan seorang kidult terjebak dalam fantasi dunia anak, yang sebagian besar kurang diperlukan pada masa dewasa.
Baca juga: Bikin Kangen dan Nostalgia, Ini daftar 5 Permainan Tradisional Tahun 90-an
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Belakang tren Kidult, sebutan bagi orang dewasa yang suka membeli mainan anak-anak naik daun. Banyak orang menyebut jika kidult merupakan fenomena orang dewasa yang terjebak dalam masa kecil. Namun, tidak sedikit juga yang menyambut tren ini secara positif sebagai bahan nostalgia masa kecil.
Nah kalau dipandang dari segi psikologi, sebetulnya tren ini wajar apa enggak ya Genhype?
Baca juga: 5 Fakta Unik Latto-Latto, Mainan Viral yang Turut Dimainkan Presiden Jokowi
Studi dari Journal of the Korean Society yang dibuat Ji Ha-cha dan Keum Hee-hong menyebutkan, kidult bukan sekedar fenomena membeli barang anak-anak, tapi lebih jauh melibatkan perasaan keterikatan dengan produk yang telah mereka gunakan di masa kecil mereka.
Hal ini juga senada dengan yang diucapkan psikolog Samanta Elsener, bahwa seiring manusia bertumbuh dewasa, maka pasti selalu ada sisi anak-anak dalam dirinya. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari keinginan bernostalgia, kebutuhan bermain sebagai coping mechanism, hingga regresi.
“Maka fenomena ini terbilang wajar saja asal bisa menyeimbangkan tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang dewasa,” kata Samanta.
Dalam artian, fenomena kidult hanya dijadikan sebagai alternatif untuk mengurangi stres dan meregulasi emosi. Fenomena kidult dapat dikatakan sudah tidak awajar apabila perilakunya menunjukkan gejala lain yang lebih kompleks yang mengindikasikan adanya regesi, misalnya sifat seperti balita.
Ilustrasi kidult (Sumber gambar: Mulyadi/Unsplash)
Fenomena ini acap kali disebut dengan balas dendam masa kecil. “Bisa dikatakan benar bahwa kidult ini jadi sarana kompensasi masa kecil yang kurang mendapat kesempatan untuk membeli barang atau pengalaman yang diharapkan dapat dipenuhi saat kecil, maka digantikan saat dewasa untuk memenuhinya,” ungkap Samanta.
Saat melihat benda-benda masa kecil, memori manusia bekerja seiringan dengan peningkatan level dopamin atau hormon kesenangan. Tidak bisa dimungkiri, ada beberapa dampak positif menjadi seorang kidult. Di antaranya adalah memiliki regulasi emosi yang tepat untuk mengatasi stres emosional, pemuasan kekurangan di masa kecil dan memenuhi kesenangan karena akhirnya keinginannya terpenuhi.
Sayangnya, jika fenomena ini sudah lewat batas alias berlebihan, seorang kidult bisa saja mengalami diskrepansi diri di mana kenyataan hidup memiliki jarak yang jauh dengan kehidupan ideal. Hal tersebut membuat diri seorang tidak dalam satu bagian utuh pada waktu saat ini.
Apabila seorang kidult tidak pandai melatih coping mechanism yang sesuai dengan profil orang dewasa, maka sangat mungkin sifat kekanak-kanakannya makin menjadi-jadi. Ketidakpandaian pengelolaan ini akan menyebabkan seorang kidult terjebak dalam fantasi dunia anak, yang sebagian besar kurang diperlukan pada masa dewasa.
Baca juga: Bikin Kangen dan Nostalgia, Ini daftar 5 Permainan Tradisional Tahun 90-an
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.