Lakon AUM & Absurditas Teater Mandiri yang Memukau
05 January 2023 |
13:50 WIB
Absurd. Itulah sekelumit kalimat untuk mendeskripsikan pertunjukan Teater Mandiri lewat lakon AUM yang dipentaskan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rabu, (4/1/23) malam. Tapi, dalam absurditas itu, penonton disuguhi adegan-adegan memukau yang berjejalin dengan rapi dan komikal khas Putu Wijaya.
Selama 90 menit penonton disuguhi plot cerita yang kadang tidak saling berhubungan. Dialog yang tiba-tiba keluar dari konteks, bahkan cenderung meneror dan memaksa untuk terus berpikir. Ganjil, tapi mengasyikan, ruwet tapi memberi pemaknaan baru terhadap masalah sosial yang terus bergulir.
Lakon AUM mengisahkan sekelompok warga dari desa terpencil yang dipimpin oleh Nenek (Laila Uliel El Nama). Mereka datang ke rumah Pak Bupati (Gandung Bondowoso) untuk menanyakan sesuatu hal meski tidak tahu apa yang disampaikan karena mereka pun bingung dengan apa yang tengah dihadapi.
Baca juga: Orang-Orang Berbahaya, Lakon Teater Duo Detektif Kocak Bongkar Kejahatan Penguasa
Awalnya, rombongan udik itu tidak diperkenankan bertemu Bupati. Mereka dihadang dua satpam kocak yang diperankan oleh Ari Sumitro dan Lalu Karta Wijaya. Akhirnya, sekelompok warga yang diperankan oleh Rukoyah, Imron Rosyadi, Taksu, Achong, Widi, Penny, dan Agung terpaksa menginap di luar pagar rumah.
Singkat cerita, rombongan yang tidak paham dengan fenomena yang dihadapi itu akhirnya bertemu Pak Bupati saat sedang lari pagi. Dialog dan adegan-adegan yang lucu pun bergulir. Tapi, pertanyaan tak kunjung terlontarkan, Pak Bupati yang mencoba mendengar aspirasi pun kebingungan, hingga akhirnya terjadilah bunuh diri massal.
Adegan-adegan satir pun digelar di atas panggung. Misalnya, saat sang Nenek berbicara dengan Pak Bupati tapi tiba-tiba kebelet berak dan meneruskan pembicaraan sambil buang air besar dengan ditutupi kain. Atau, Pak Bupati yang hanya memakai celana kolor terpaksa harus meminjam celana satpam agar tampak lebih beradab saat menghadapi rakyat.
"Saya ini Bupati, meskipun hanya pakai kolor, tanda tangan saya sama kuatnya dengan saat berpakaian dinas. Daripada saya harus keluarkan pistol," kata Pak Bupati dalam sebuah adegan.
Lain dari itu, penataan musik dari M Ramdhan juga semakin menguatkan citra teror mental ala Putu Wijaya. Penataan kostum dari Penny pun patut diacungi jempol, terlebih pada kostum rombongan udik yang mengingatkan penulis ala-ala kostum dari Bengkel Teater.
Namun, intimasi pementasan terasa kurang, apakah karena faktor keberjarakan dengan panggung? Pasalnya pementasan Teater Mandiri biasanya berlangsung dalam ruangan yang cukup padat, sehingga interaksi dengan penonton bisa terjalin, dan energi pemain bisa dirasakan langsung oleh penonton.
Ditemui Hypeabis.id seusai pementasan, Putu Wijaya mengatakan pementasan lakon AUM merupakan bentuk kritik terhadap derasnya kemajuan teknologi. Terlebih, tidak semua masyarakat siap menerima lompatan teknologi, yang bahkan infrastrukturnya belum merata hingga saat ini.
Selain itu, lakon AUM sendiri papar Putu terinspirasi dari kasus yang terjadi di Guyana, Amerika Selatan pada 1978 saat para pengikut sekte People's Temple Stones melakukan bunuh diri massal di bawah arahan pemimpin mereka, Jim Jones. Total, terdapat 900-an orang meninggal akibat kejadian itu.
"Kita digempur oleh informasi yang bermacam-macam dari teknologi yang masuk, orang yang tidak siap jiwanya bisa rusak, dan harus ditemani. Ini bukan hanya kebebasan memberikan informasi saja, tapi juga kebebasan untuk menolak informasi yang tidak baik," papar Putu Wijaya.
Sastrawan asal Bali itu juga mengingatkan agar media dalam menyampaikan informasi harus berlandaskan hukum dan asas tanggung jawab. Selain itu, masyarakat juga diimbau tidak sembarangan dalam menyampaikan informasi dan menyaringnya terlebih dulu agar lebih valid.
"Ini ada hukum, kepatutan, dan tanggung jawab. Jangan membuat berita untuk mencetak duit, untuk bikin oplah, asal menggegerkan dan bikin senang. Kasihan orang-orang itu kan. Bisa rusak otaknya karena berita-berita bohong itu karena mencari viral," tukasnya.
Setali tiga uang, Gandung Bondowoso yang memerankan karakter Bupati juga memiliki perspektif yang sama dalam menginterpretasikan lakon AUM. Menurutnya, hal ini karena masifnya arus informasi yang bagi sebagian masyarakat malah membuat gagap dan bingung.
"Bunuh diri beramai-ramai itu karena tidak memiliki jalan keluar [dari persoalan yang terjadi]. Mereka sempat bertanya pada saya itu, tapi saya tidak bisa menjawab. Bahkan mereka pun bertanya pada tuhan, tapi juga tidak ada jawaban," tukas pengajar akting di Institut Kesenian Jakarta itu.
Pementasan lakon AUM digelar sebagai bentuk penggalangan dana terhadap para pengabdi teater modern senior di Tanah Air yang sedang sakit dan menjalani perawatan. Pertunjukan digelar selama 2 hari di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 4-5 Januari 2023 pukul 20.00 WIB.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Selama 90 menit penonton disuguhi plot cerita yang kadang tidak saling berhubungan. Dialog yang tiba-tiba keluar dari konteks, bahkan cenderung meneror dan memaksa untuk terus berpikir. Ganjil, tapi mengasyikan, ruwet tapi memberi pemaknaan baru terhadap masalah sosial yang terus bergulir.
Lakon AUM mengisahkan sekelompok warga dari desa terpencil yang dipimpin oleh Nenek (Laila Uliel El Nama). Mereka datang ke rumah Pak Bupati (Gandung Bondowoso) untuk menanyakan sesuatu hal meski tidak tahu apa yang disampaikan karena mereka pun bingung dengan apa yang tengah dihadapi.
Baca juga: Orang-Orang Berbahaya, Lakon Teater Duo Detektif Kocak Bongkar Kejahatan Penguasa
Awalnya, rombongan udik itu tidak diperkenankan bertemu Bupati. Mereka dihadang dua satpam kocak yang diperankan oleh Ari Sumitro dan Lalu Karta Wijaya. Akhirnya, sekelompok warga yang diperankan oleh Rukoyah, Imron Rosyadi, Taksu, Achong, Widi, Penny, dan Agung terpaksa menginap di luar pagar rumah.
Singkat cerita, rombongan yang tidak paham dengan fenomena yang dihadapi itu akhirnya bertemu Pak Bupati saat sedang lari pagi. Dialog dan adegan-adegan yang lucu pun bergulir. Tapi, pertanyaan tak kunjung terlontarkan, Pak Bupati yang mencoba mendengar aspirasi pun kebingungan, hingga akhirnya terjadilah bunuh diri massal.
Adegan-adegan satir pun digelar di atas panggung. Misalnya, saat sang Nenek berbicara dengan Pak Bupati tapi tiba-tiba kebelet berak dan meneruskan pembicaraan sambil buang air besar dengan ditutupi kain. Atau, Pak Bupati yang hanya memakai celana kolor terpaksa harus meminjam celana satpam agar tampak lebih beradab saat menghadapi rakyat.
"Saya ini Bupati, meskipun hanya pakai kolor, tanda tangan saya sama kuatnya dengan saat berpakaian dinas. Daripada saya harus keluarkan pistol," kata Pak Bupati dalam sebuah adegan.
Lain dari itu, penataan musik dari M Ramdhan juga semakin menguatkan citra teror mental ala Putu Wijaya. Penataan kostum dari Penny pun patut diacungi jempol, terlebih pada kostum rombongan udik yang mengingatkan penulis ala-ala kostum dari Bengkel Teater.
Namun, intimasi pementasan terasa kurang, apakah karena faktor keberjarakan dengan panggung? Pasalnya pementasan Teater Mandiri biasanya berlangsung dalam ruangan yang cukup padat, sehingga interaksi dengan penonton bisa terjalin, dan energi pemain bisa dirasakan langsung oleh penonton.
Kritik Sosial Terhadap Lompatan Teknologi
Ditemui Hypeabis.id seusai pementasan, Putu Wijaya mengatakan pementasan lakon AUM merupakan bentuk kritik terhadap derasnya kemajuan teknologi. Terlebih, tidak semua masyarakat siap menerima lompatan teknologi, yang bahkan infrastrukturnya belum merata hingga saat ini.Selain itu, lakon AUM sendiri papar Putu terinspirasi dari kasus yang terjadi di Guyana, Amerika Selatan pada 1978 saat para pengikut sekte People's Temple Stones melakukan bunuh diri massal di bawah arahan pemimpin mereka, Jim Jones. Total, terdapat 900-an orang meninggal akibat kejadian itu.
"Kita digempur oleh informasi yang bermacam-macam dari teknologi yang masuk, orang yang tidak siap jiwanya bisa rusak, dan harus ditemani. Ini bukan hanya kebebasan memberikan informasi saja, tapi juga kebebasan untuk menolak informasi yang tidak baik," papar Putu Wijaya.
Sastrawan asal Bali itu juga mengingatkan agar media dalam menyampaikan informasi harus berlandaskan hukum dan asas tanggung jawab. Selain itu, masyarakat juga diimbau tidak sembarangan dalam menyampaikan informasi dan menyaringnya terlebih dulu agar lebih valid.
"Ini ada hukum, kepatutan, dan tanggung jawab. Jangan membuat berita untuk mencetak duit, untuk bikin oplah, asal menggegerkan dan bikin senang. Kasihan orang-orang itu kan. Bisa rusak otaknya karena berita-berita bohong itu karena mencari viral," tukasnya.
Setali tiga uang, Gandung Bondowoso yang memerankan karakter Bupati juga memiliki perspektif yang sama dalam menginterpretasikan lakon AUM. Menurutnya, hal ini karena masifnya arus informasi yang bagi sebagian masyarakat malah membuat gagap dan bingung.
"Bunuh diri beramai-ramai itu karena tidak memiliki jalan keluar [dari persoalan yang terjadi]. Mereka sempat bertanya pada saya itu, tapi saya tidak bisa menjawab. Bahkan mereka pun bertanya pada tuhan, tapi juga tidak ada jawaban," tukas pengajar akting di Institut Kesenian Jakarta itu.
Pementasan lakon AUM digelar sebagai bentuk penggalangan dana terhadap para pengabdi teater modern senior di Tanah Air yang sedang sakit dan menjalani perawatan. Pertunjukan digelar selama 2 hari di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 4-5 Januari 2023 pukul 20.00 WIB.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.