Waspada Bakteri Jahat Saat Pakai Tampon, Sebabkan Nyeri Hingga Kematian
27 December 2022 |
14:30 WIB
Tampon menjadi salah satu alternatif wanita untuk menyerap darah menstruasi selain pembalut yang beredar luas di pasaran. Kendati demikian alat yang dirancang untuk dimasukkan ke dalam vagina dengan atau tanpa aplikator itu memiliki risiko kesehatan, terlebih jika tidak digunakan dengan tepat.
Seperti yang dialami Melanie Galeaz. Gadis berusia 22 tahun asal Massachusetts, negara bagian Amerika Serikat itu secara tidak sadar menyimpan tampon selama dua tahun di dalam vaginanya.
Sekitar usia 13 tahun, Galeaz mengalami nyeri yang parah dan gejala yang aneh di bagian genitalnya. Saat memeriksakan diri, dokter menyebut dirinya mengalami penyakit Lyme, infeksi bakteri yang ditularkan melalui gigitan kutu rusa.
Keadaannya sempat membaik setelah diberi obat-obatan. Namun selang setahun, dia kembali merasakan nyeri, bukan hanya di area sistem reproduksi namun juga tubuhnya. Dia sempat ke dokter namun diabaikan. Galeaz kemudian melanjutkan minum obat-obatan untuk mengatasi gigitan kutu rusa.
Rasa nyerinya semakin membaik, namun masalah di area genital tidak mereda. Akhirnya dia memutuskan untuk ke dokter kandungan. Fakta mengejutkan didapatkannya. “Lalu dia berkata, 'Anda memiliki tampon yang menempel secara horizontal di bawah leher rahim Anda',” ujar Galeaz menirukan ucapan dokter saat bercerita melalui platform TikTok.
Total ada 3 tampon yang ada di rahimnya itu. Hal ini pun menyebabkan area genitalnya berbau tidak sedap.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menerangkan tampon yang disetujui terbuat dari katun, rayon, atau campuran keduanya. Serat penyerap yang digunakan dalam tampon dibuat dengan proses pemutihan yang bebas dari unsur klorin dan juga mencegah produk memiliki tingkat dioksin yang berbahaya (sejenis polutan yang ditemukan di lingkungan).
FDA mengingatkan untuk tidak menggunakan kembali tampon yang sudah terpakai. Ini dapat membawa risiko infeksi tambahan seperti infeksi ragi, jamur, dan bakteri.
“FDA melarang penggunaan tampon yang dapat digunakan kembali. Satu-satunya tampon yang dibersihkan atau disetujui oleh FDA dirancang untuk sekali pakai,” tulis FDA.
Penggunaan tampon terkadang dikaitkan dengan beberapa kondisi kesehatan seperti nyeri panggul hingga sindrom syok toksik (TSS). Adapun TSS disebabkan oleh strain bakteri yang menghasilkan zat beracun dan strain ini dapat tumbuh pada tampon yang tidak sering diganti.
Zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri tersebut dapat menyebabkan kerusakan organ termasuk gagal ginjal, jantung, dan hati, syok, bahkan kematian.
Penyakit ini sempat menjadi sorotan pada akhir 1970an dan awal 1980an. Kala itu terjadi sejumlah kasus kematian remaja yang menggunaan tampon. Kendati demikian, FDA menyebut kasus ini telah menurun secara signifikan. Salah satunya karena lembaga tersebut mengevaluasi tampon secara menyeluruh sebelum dipasarkan.
Sementara itu, spesialis kesehatan wanita Sara Youngblood menyarankan untuk mengganti tampon setiap 4-6 jam. “Jangan tinggalkan tampon yang sama lebih dari delapan jam,” imbaunya seperti dikutip Hypeabis.id dari Cleveland Clinic, Selasa (27/12/2022).
Meninggalkan tampon dalam waktu lama membuat ruang bakteri jahat tumbuh dan berkembang biak. Dia juga meminta wanita para pengguna tampon waspada terhadap gejala yang menandakan adanya masalah kesehatan di organ genital. Apabila kamu mengalami bau tidak sedap di area vagina, keputihan baru dan tidak biasa, nyeri panggul, dan demam, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter.
Editor: Nirmala Aninda
Seperti yang dialami Melanie Galeaz. Gadis berusia 22 tahun asal Massachusetts, negara bagian Amerika Serikat itu secara tidak sadar menyimpan tampon selama dua tahun di dalam vaginanya.
Sekitar usia 13 tahun, Galeaz mengalami nyeri yang parah dan gejala yang aneh di bagian genitalnya. Saat memeriksakan diri, dokter menyebut dirinya mengalami penyakit Lyme, infeksi bakteri yang ditularkan melalui gigitan kutu rusa.
Keadaannya sempat membaik setelah diberi obat-obatan. Namun selang setahun, dia kembali merasakan nyeri, bukan hanya di area sistem reproduksi namun juga tubuhnya. Dia sempat ke dokter namun diabaikan. Galeaz kemudian melanjutkan minum obat-obatan untuk mengatasi gigitan kutu rusa.
Rasa nyerinya semakin membaik, namun masalah di area genital tidak mereda. Akhirnya dia memutuskan untuk ke dokter kandungan. Fakta mengejutkan didapatkannya. “Lalu dia berkata, 'Anda memiliki tampon yang menempel secara horizontal di bawah leher rahim Anda',” ujar Galeaz menirukan ucapan dokter saat bercerita melalui platform TikTok.
Total ada 3 tampon yang ada di rahimnya itu. Hal ini pun menyebabkan area genitalnya berbau tidak sedap.
Fakta & Risiko Tampon
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menerangkan tampon yang disetujui terbuat dari katun, rayon, atau campuran keduanya. Serat penyerap yang digunakan dalam tampon dibuat dengan proses pemutihan yang bebas dari unsur klorin dan juga mencegah produk memiliki tingkat dioksin yang berbahaya (sejenis polutan yang ditemukan di lingkungan).
FDA mengingatkan untuk tidak menggunakan kembali tampon yang sudah terpakai. Ini dapat membawa risiko infeksi tambahan seperti infeksi ragi, jamur, dan bakteri.
“FDA melarang penggunaan tampon yang dapat digunakan kembali. Satu-satunya tampon yang dibersihkan atau disetujui oleh FDA dirancang untuk sekali pakai,” tulis FDA.
Penggunaan tampon terkadang dikaitkan dengan beberapa kondisi kesehatan seperti nyeri panggul hingga sindrom syok toksik (TSS). Adapun TSS disebabkan oleh strain bakteri yang menghasilkan zat beracun dan strain ini dapat tumbuh pada tampon yang tidak sering diganti.
Zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri tersebut dapat menyebabkan kerusakan organ termasuk gagal ginjal, jantung, dan hati, syok, bahkan kematian.
Penyakit ini sempat menjadi sorotan pada akhir 1970an dan awal 1980an. Kala itu terjadi sejumlah kasus kematian remaja yang menggunaan tampon. Kendati demikian, FDA menyebut kasus ini telah menurun secara signifikan. Salah satunya karena lembaga tersebut mengevaluasi tampon secara menyeluruh sebelum dipasarkan.
Sementara itu, spesialis kesehatan wanita Sara Youngblood menyarankan untuk mengganti tampon setiap 4-6 jam. “Jangan tinggalkan tampon yang sama lebih dari delapan jam,” imbaunya seperti dikutip Hypeabis.id dari Cleveland Clinic, Selasa (27/12/2022).
Meninggalkan tampon dalam waktu lama membuat ruang bakteri jahat tumbuh dan berkembang biak. Dia juga meminta wanita para pengguna tampon waspada terhadap gejala yang menandakan adanya masalah kesehatan di organ genital. Apabila kamu mengalami bau tidak sedap di area vagina, keputihan baru dan tidak biasa, nyeri panggul, dan demam, sebaiknya segera periksakan diri ke dokter.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.