Menilik Hambatan UMKM Go Global, Dari Pembiayaan Hingga Mindset
22 December 2022 |
15:14 WIB
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan meski UMKM jadi tulang punggung perekonomian Indonesia, kontribusinya terhadap ekspor nasional masih sangat minim. UMKM kesulitan merangkak ke pasar ekspor karena menemukan beragam tantangan.
Bhima mengatakan kontribusi yang minim ini terjadi karena rendahnya dukungan pembiayaan terhadap UMKM. Selain itu, UMKM juga dihadapkan pada hambatan nontarif, seperti sertifikasi dan legalitas produknya saat ingin menembus pasar ekspor.
Di sisi lain, dengan sumber daya yang terbatas, UMKM juga kerap kesulitan menjaga konsistensi dan kualitas produknya.
Baca juga: Legendary Brand Festival, Ajang Kolaborasi UMKM untuk Siap Hadapi Ancaman Resesi 10 November 2022 | 18:03 WIB
Bhima juga menyoroti minimnya inovasi produk yang bisa meningkatkan daya saing. Selain itu, masalah mendasar lainnya ialah sumber daya manusia, terutama dalam mengolah pemasaran digital.
"Tantangan lainnya tentu mindset bahwa pasar domestik saja sudah cukup besar, sehingga UMKM enggan melakukan ekspansi ke pasar ekspor,” kata Bhima kepada Hypeabis, beberapa waktu lalu.
Padahal, menurut Bhima, Indonesia memiliki beragam produk potensial yang dapat diminati pasar ekspor. Mulai makanan, minuman khas daerah, produk seni, kerajinan dari kulit, pakaian, hingga produk olahan perikanan.
Bhima mengatakan Indonesia juga memiliki kain batik dan wastra yang tak dimiliki negara lain. Produk-produk tersebut tentu akan mudah bersaing di pasar global karena keunikan dan kelangkaannya.
Jika ingin serius menggarap pasar ekspor, Bhima menyarankan agar pemerintah menyiapkan langkah-langkah strategis. Di antaranya ialah memperbesar porsi pembiayaan ekspor UKM melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Pemerintah juga bisa melibatkan UKM dalam setiap proses perjanjian atau kerja sama dagang dengan mitra potensial. Selain itu, perlu ada inisiasi melakukan business matching antara importir di negara tujuan dengan UMKM.
“UMKM perlu didorong untuk memperbanyak kapasitas dan kualitas produksi. Biaya logistik yang ada, baik angkutan darat maupun laut terkait dengan UMKM juga sebaiknya dipangkas,” tambahnya.
Bhima mengatakan pemerintah juga mestinya dapat memacu Atase Perdagangan atau kedutaan di negara tujuan ekspor memberikan intelijen pasar yang bermanfaat bagi UKM. Misalnya, soal karakteristik pasar, informasi calon pembeli atau distributor, dan informasi syarat ekspor.
Sebab, mengarungi pasar ekspor berarti harus mengubah skala bisnis yang tadinya rumahan jadi lebih besar. Dedi mengatakan sudah sejak Maret 2022 dirinya terus berusaha menembus pasar luar negeri. Awalnya, dirinya mengirim sampel kerupuk kulit miliknya sekitar 120 kilogram ke Korea Selatan.
Kabar baiknya, pihak dari Korea Selatan sangat menyambut baik produk miliknya. Dedi tak menyangka usaha rumahan yang dimulainya dengan modal Rp5 juta ini bisa menemui pangsa pasarnya di luar negeri. Pihak Korea Selatan bahkan berencana meminta kerupuk kulit asal Indramayu ini untuk dikirim sebanyak 2 kontainer setiap bulannya. Dua kontainer ini setara 2,5 ton dengan nilai mencapai Rp144 juta.
Namun, menjual produk lokal ke mancanegara memang cukup ribet. Sebelum deal, Dedi menyebut pihak Korea Selatan akan mensurvei tempat produksi kerupuk kulit miliknya. Kini, masalah itu kemudian muncul.
Sebab, dirinya tak mungkin mempresentasikan pembuatan kerupuk kulit sapi di sebuah dapur rumah, seperti yang biasa dilakukannya ketika masih menggarap pasar lokal. Alhasil, dirinya pun memutar otak untuk mencari cara agar tempat pembuatan kerupuk kulit sapi bisa memenuhi standar.
Dedi lantas menghubungi sebuah pabrik kerupuk kulit sapi lain yang masih satu daerah dengannya. Bak gayung bersambut, kerja sama dirinya dengan pemilik pabrik pun terjalin.
“Survei ini jadi penentu. Kalau mereka sudah oke, bisa ekspor per bulan. Pabrik yang saya sudah kerja sama ini cukup besar dan bisa memproduksi 2,5 ton setiap harinya. Jadi, resepnya dari saya, tetapi prosesnya dilakukan di pabrik tersebut. Mudah-mudahan bisa makin menjamin higienitas dan bisa lolos survei,” kata Dedi kepada Hypeabis, beberapa waktu lalu.
Menurut Dedi, peluang panganan lokal menjajal pasar luar negeri memang besar. Namun, UMKM yang akan naik kelas selalu terhalang dengan sarana dan prasarana produksi. Dengan kerja sama, dia berharap hal itu bisa diatasi.
Dedi mengatakan kerja sama ini diharapkan jadi batu loncatan usaha kerupuk kulit sapi miliknya. Ke depan, Dedi berencana membuat pabrik produksi sendiri ketika bisnisnya sudah berjalan lancar.
Editor: Indyah Sutriningrum
Bhima mengatakan kontribusi yang minim ini terjadi karena rendahnya dukungan pembiayaan terhadap UMKM. Selain itu, UMKM juga dihadapkan pada hambatan nontarif, seperti sertifikasi dan legalitas produknya saat ingin menembus pasar ekspor.
Di sisi lain, dengan sumber daya yang terbatas, UMKM juga kerap kesulitan menjaga konsistensi dan kualitas produknya.
Baca juga: Legendary Brand Festival, Ajang Kolaborasi UMKM untuk Siap Hadapi Ancaman Resesi 10 November 2022 | 18:03 WIB
Bhima juga menyoroti minimnya inovasi produk yang bisa meningkatkan daya saing. Selain itu, masalah mendasar lainnya ialah sumber daya manusia, terutama dalam mengolah pemasaran digital.
"Tantangan lainnya tentu mindset bahwa pasar domestik saja sudah cukup besar, sehingga UMKM enggan melakukan ekspansi ke pasar ekspor,” kata Bhima kepada Hypeabis, beberapa waktu lalu.
Padahal, menurut Bhima, Indonesia memiliki beragam produk potensial yang dapat diminati pasar ekspor. Mulai makanan, minuman khas daerah, produk seni, kerajinan dari kulit, pakaian, hingga produk olahan perikanan.
Bhima mengatakan Indonesia juga memiliki kain batik dan wastra yang tak dimiliki negara lain. Produk-produk tersebut tentu akan mudah bersaing di pasar global karena keunikan dan kelangkaannya.
Jika ingin serius menggarap pasar ekspor, Bhima menyarankan agar pemerintah menyiapkan langkah-langkah strategis. Di antaranya ialah memperbesar porsi pembiayaan ekspor UKM melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Pemerintah juga bisa melibatkan UKM dalam setiap proses perjanjian atau kerja sama dagang dengan mitra potensial. Selain itu, perlu ada inisiasi melakukan business matching antara importir di negara tujuan dengan UMKM.
“UMKM perlu didorong untuk memperbanyak kapasitas dan kualitas produksi. Biaya logistik yang ada, baik angkutan darat maupun laut terkait dengan UMKM juga sebaiknya dipangkas,” tambahnya.
Bhima mengatakan pemerintah juga mestinya dapat memacu Atase Perdagangan atau kedutaan di negara tujuan ekspor memberikan intelijen pasar yang bermanfaat bagi UKM. Misalnya, soal karakteristik pasar, informasi calon pembeli atau distributor, dan informasi syarat ekspor.
Butuh Dukungan Strategis
Salah satu UMKM yang ingin mengejar pasar ekspor ialah Kerupuk Kulit Sapi Naura milik Dedi Rolis. Usahanya itu kini sedang bersiap diri untuk bisa ekspor ke Korea Selatan. Dedi menceritakan perjuangan bagi pelaku UMKM untuk mengekspor produk buatannya terbilang cukup berat.Sebab, mengarungi pasar ekspor berarti harus mengubah skala bisnis yang tadinya rumahan jadi lebih besar. Dedi mengatakan sudah sejak Maret 2022 dirinya terus berusaha menembus pasar luar negeri. Awalnya, dirinya mengirim sampel kerupuk kulit miliknya sekitar 120 kilogram ke Korea Selatan.
Kabar baiknya, pihak dari Korea Selatan sangat menyambut baik produk miliknya. Dedi tak menyangka usaha rumahan yang dimulainya dengan modal Rp5 juta ini bisa menemui pangsa pasarnya di luar negeri. Pihak Korea Selatan bahkan berencana meminta kerupuk kulit asal Indramayu ini untuk dikirim sebanyak 2 kontainer setiap bulannya. Dua kontainer ini setara 2,5 ton dengan nilai mencapai Rp144 juta.
Namun, menjual produk lokal ke mancanegara memang cukup ribet. Sebelum deal, Dedi menyebut pihak Korea Selatan akan mensurvei tempat produksi kerupuk kulit miliknya. Kini, masalah itu kemudian muncul.
Sebab, dirinya tak mungkin mempresentasikan pembuatan kerupuk kulit sapi di sebuah dapur rumah, seperti yang biasa dilakukannya ketika masih menggarap pasar lokal. Alhasil, dirinya pun memutar otak untuk mencari cara agar tempat pembuatan kerupuk kulit sapi bisa memenuhi standar.
Dedi lantas menghubungi sebuah pabrik kerupuk kulit sapi lain yang masih satu daerah dengannya. Bak gayung bersambut, kerja sama dirinya dengan pemilik pabrik pun terjalin.
“Survei ini jadi penentu. Kalau mereka sudah oke, bisa ekspor per bulan. Pabrik yang saya sudah kerja sama ini cukup besar dan bisa memproduksi 2,5 ton setiap harinya. Jadi, resepnya dari saya, tetapi prosesnya dilakukan di pabrik tersebut. Mudah-mudahan bisa makin menjamin higienitas dan bisa lolos survei,” kata Dedi kepada Hypeabis, beberapa waktu lalu.
Menurut Dedi, peluang panganan lokal menjajal pasar luar negeri memang besar. Namun, UMKM yang akan naik kelas selalu terhalang dengan sarana dan prasarana produksi. Dengan kerja sama, dia berharap hal itu bisa diatasi.
Dedi mengatakan kerja sama ini diharapkan jadi batu loncatan usaha kerupuk kulit sapi miliknya. Ke depan, Dedi berencana membuat pabrik produksi sendiri ketika bisnisnya sudah berjalan lancar.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.