Peran Perempuan Belum Masif, Kultur Kerja Perfilman Masih Dinilai Maskulin
05 December 2022 |
19:48 WIB
Sekilas, industri perfilman Indonesia terlihat ramah gender. Sederet nama produser dan sutradara perempuan berkibar dan menjadi orang-orang yang mempengaruhi opini publik. Namun, dalam angka statistik, jumlah pembuat film perempuan dan karya mereka nyatanya tidak sebanding dengan pembuat film dan film karya laki-laki.
Menurut riset yang dilakukan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) pada 2020, keterlibatan perempuan pada sembilan profesi kunci dalam produksi film, jumlahnya tidak lebih dari 20 persen. Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 sampai 2019 juga tercatat hanya sekitar 8 persen.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2022 Cerminkan Dinamika Positif Perfilman Nasional
Hal itu juga diamini oleh sutradara Kamila Andini. Dia menilai masih rendahnya porsi perempuan yang terlibat dalam industri perfilman membuat kultur kerja produksi sinema masih terasa maskulin lantaran masih didominasi oleh pekerja laki-laki.
Perempuan yang akrab disapa Dini itu mengatakan faktor terbesar yang membuat masih sedikitnya perempuan yang terjun ke dunia perfilman adalah lantaran kultur kerja yang cenderung tidak ramah bagi perempuan.
Ya, dalam proses penggarapan film, tak jarang para pemain dan kru yang terlibat harus dihadapkan dengan jam kerja yang tidak teratur dan memakan proses yang panjang. Bagi pekerja perempuan terutama yang sudah memiliki keluarga, ritme kerja seperti ini tentu menjadi kondisi yang cukup menantang.
"Jadi memang itu tidak ramah untuk perempuan terutama yang harus berbagi peran di rumah. Itu yang membuat angka filmmaker perempuan juga tidak banyak, karena mereka harus menentukan prioritas dan itu wajar saja," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Jakarta, baru-baru ini.
Pernyataan ini juga sejalan dengan hasil riset Kafein yang menyebutkan bahwa ketimpangan peran perempuan di industri perfilman nasional berkaitan dengan peran gender konvensional, di mana hal-hal yang dianggap 'teknis' ditugaskan pada laki-laki, sedangkan perempuan melakukan hal-hal yang tidak begitu teknis.
Seperti misalnya pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tertentu atau dalam pengelolaan hubungan dengan orang-orang atau pekerja seperti dalam pengarah artistik. Dalam hal ini, pertimbangan fleksibilitas pekerjaan berpengaruh pada persentase pekerjaan tertentu seperti penulis skenario.
Dini mengatakan untuk menyesuaikan dengan kultur kerja film yang didominasi oleh laki-laki, tak jarang para pekerja film perempuan harus berlaku baik secara emosional maupun perilaku layaknya seperti kaum adam. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menjaga suasana kerja tetap nyaman bagi semua pihak.
"Di lokasi [syuting], kami harus masuk dengan cara bercandaan mereka [laki-laki]. Kami juga enggak boleh cengeng karena nanti merusak mood semua orang dan dianggap tidak kompeten. Ini yang paling berat," ungkapnya.
Atas dasar pertimbangan itulah, dalam memproduksi filmnya, Dini selalu berupaya untuk memberikan ruang lebih luas bagi para pekerja perempuan. Misalnya dalam film Sekala Niskala (2017), dia bahkan menempatkan perempuan di seluruh posisi ketua (chief) dalam tim produksi.
"Saya merasakan betul perbedaannya. Saat ketuanya kebanyakan perempuan, rasanya tidak ada jokes seksis yang hadir di lokasi syuting. Ada iklim dan atmosfer yang berbeda, dan bisa dibilang lebih aman," ujarnya.
Editor: Dika Irawan
Menurut riset yang dilakukan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) pada 2020, keterlibatan perempuan pada sembilan profesi kunci dalam produksi film, jumlahnya tidak lebih dari 20 persen. Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 sampai 2019 juga tercatat hanya sekitar 8 persen.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2022 Cerminkan Dinamika Positif Perfilman Nasional
Hal itu juga diamini oleh sutradara Kamila Andini. Dia menilai masih rendahnya porsi perempuan yang terlibat dalam industri perfilman membuat kultur kerja produksi sinema masih terasa maskulin lantaran masih didominasi oleh pekerja laki-laki.
Perempuan yang akrab disapa Dini itu mengatakan faktor terbesar yang membuat masih sedikitnya perempuan yang terjun ke dunia perfilman adalah lantaran kultur kerja yang cenderung tidak ramah bagi perempuan.
Ya, dalam proses penggarapan film, tak jarang para pemain dan kru yang terlibat harus dihadapkan dengan jam kerja yang tidak teratur dan memakan proses yang panjang. Bagi pekerja perempuan terutama yang sudah memiliki keluarga, ritme kerja seperti ini tentu menjadi kondisi yang cukup menantang.
"Jadi memang itu tidak ramah untuk perempuan terutama yang harus berbagi peran di rumah. Itu yang membuat angka filmmaker perempuan juga tidak banyak, karena mereka harus menentukan prioritas dan itu wajar saja," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Jakarta, baru-baru ini.
Pernyataan ini juga sejalan dengan hasil riset Kafein yang menyebutkan bahwa ketimpangan peran perempuan di industri perfilman nasional berkaitan dengan peran gender konvensional, di mana hal-hal yang dianggap 'teknis' ditugaskan pada laki-laki, sedangkan perempuan melakukan hal-hal yang tidak begitu teknis.
Seperti misalnya pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tertentu atau dalam pengelolaan hubungan dengan orang-orang atau pekerja seperti dalam pengarah artistik. Dalam hal ini, pertimbangan fleksibilitas pekerjaan berpengaruh pada persentase pekerjaan tertentu seperti penulis skenario.
Dini mengatakan untuk menyesuaikan dengan kultur kerja film yang didominasi oleh laki-laki, tak jarang para pekerja film perempuan harus berlaku baik secara emosional maupun perilaku layaknya seperti kaum adam. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menjaga suasana kerja tetap nyaman bagi semua pihak.
"Di lokasi [syuting], kami harus masuk dengan cara bercandaan mereka [laki-laki]. Kami juga enggak boleh cengeng karena nanti merusak mood semua orang dan dianggap tidak kompeten. Ini yang paling berat," ungkapnya.
Atas dasar pertimbangan itulah, dalam memproduksi filmnya, Dini selalu berupaya untuk memberikan ruang lebih luas bagi para pekerja perempuan. Misalnya dalam film Sekala Niskala (2017), dia bahkan menempatkan perempuan di seluruh posisi ketua (chief) dalam tim produksi.
"Saya merasakan betul perbedaannya. Saat ketuanya kebanyakan perempuan, rasanya tidak ada jokes seksis yang hadir di lokasi syuting. Ada iklim dan atmosfer yang berbeda, dan bisa dibilang lebih aman," ujarnya.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.