Waspada Sindrom Lynch & Kenali Faktor Pemicu Kanker Kolorektal
01 December 2022 |
19:07 WIB
Kejadian kanker kolorektal atau kanker usus besar terus meningkat. Sayangnya, kesadaran masyarakat tentang bahaya kanker kolorektal masih rendah. Banyak pasien yang datang ke rumah sakit justru sudah dalam stadium tinggi sehingga tingkat kesembuhannya menjadi rendah.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Sudoyo mengatakan masyarakat perlu lebih aware dengan faktor-faktor risiko kanker kolorektal yang ada pada dirinya. Harapannya, para pasien bisa lebih sadar dan melakukan deteksi dini kanker kolorektal.
Dokter Aru mengatakan ada banyak faktor risiko yang bisa meningkatkan potensi seseorang terkena kanker kolorektal. Salah satu yang cukup tidak disadari ialah soal konsumsi daging merah.
Seseorang yang sering makan daging merah memiliki risiko lebih besar terkena kanker kolorektal. Namun, bukan berarti daging merah tidak boleh dimakan sama sekali. Dokter Aru hanya menyarankan agar konsumsinya dikurangi.
“Paling tidak satu kali seminggu atau dua kali seminggu dengan jumlah yang tidak besar. Sebab, daging merah dicurigai dapat menyebabkan kanker,” ungkap dokter Aru dalam diskusi daring Waspada Kanker Usus Besar: Pahami Risikonya dengan PERIKSA.
Selain itu, dokter Aru juga meminta masyarakat mulai mengurangi daging yang diproses. Misalnya, daging kornet, sosis, dan sebagainya. Daging olahan tersebut juga telah terbukti jadi salah satu faktor penyumbang orang terkena kanker kolorektal.
Beberapa faktor lain yang perlu diwaspadai ialah memiliki riwayat keluarga dengan kanker kolorektal, kebiasaan diet rendah serat, dan konsumsi makanan tinggi lemak.
Dokter Aru mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap sindrom Lynch dan sindrom poliposis MUTYH. Sindrom Lynch berasal dari mutasi gen bawaan yang menyebabkan kanker kolorektal pada 70 persen hingga 80 persen orang.
Orang dengan sindrom Lynch juga kerap terkena kanker kolorektal lebih dini pada usia muda. Umumnya, mereka bisa terkena kanker sebelum usia rata-rata 50 tahun.
“Mereka juga berisiko lebih tinggi terkena kanker jenis lain, terutama kanker endometrium dan kanker ovarium. Selain itu, risiko juga meningkat ke penyakit kanker perut dan kanker usus kecil, saluran empedu, ginjal, dan ureter,” imbuhnya.
Sementara itu, sindrom poliposis MUTYH merupakan kelainan genetik langka yang dapat menyebabkan kanker kolorektal. Lebih dari 50 persen orang dengan sindrom ini berkembang menjadi kanker kolorektal pada usia 60 tahunan. Mereka juga berisiko terkena kanker jenis lain, seperti saluranan pencernaan, tulang, ovarium, kandung kemih, tiroid, dan kulit.
Ada beberapa opsi pengobatan kanker kolorektal di Indonesia. misalnya, operasi, kemoterapi, terapi radiasi, terapi target, dan imunoterapi kanker kolorektal. Dokter umumnya akan mempertimbangkan kondisi dan lokasi kanker sebelum memutuskan pengobatan.
Seiring kemajuan penanganan kanker kolorektal di Indonesia, khususnya dengan tersedianya terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor RAS, diharapkan angka kematian karena kanker kolorektal dapat terus berkurang.
Dengan metode pengobatan personalized treatment, pasien lebih terbantu karena diagnosisnya lebih akurat dan memungkinkan pemberian obat yang tepat. Hal ini dapat meminimalkan efek samping dan meningkatkan kesembuhan pengobatan.
Baca juga: Alat Ini Bantu Tentukan Jenis Kanker Tanpa Operasi
Meskipun demikian, Dokter Aru menjelaskan jika kanker kolorektal telah memasuki stadium IV dan berkembang ke banyak organ, pembedahan mungkin tidak dapat membantu memperpanjang umur seseorang.
Di sisi lain, pilihan pengobatan lain juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat menghasilkan gejala tambahan yang membuat kualitas hidup seseorang menjadi lebih buruk. Lantaran proses penyembuhan yang panjang, dokter Aru mengimbau masyarakat melakukan pencegahan kanker kolorektal sedini mungkin dibanding mengandalkan pengobatan.
Editor: M R Purboyo
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Sudoyo mengatakan masyarakat perlu lebih aware dengan faktor-faktor risiko kanker kolorektal yang ada pada dirinya. Harapannya, para pasien bisa lebih sadar dan melakukan deteksi dini kanker kolorektal.
Dokter Aru mengatakan ada banyak faktor risiko yang bisa meningkatkan potensi seseorang terkena kanker kolorektal. Salah satu yang cukup tidak disadari ialah soal konsumsi daging merah.
Seseorang yang sering makan daging merah memiliki risiko lebih besar terkena kanker kolorektal. Namun, bukan berarti daging merah tidak boleh dimakan sama sekali. Dokter Aru hanya menyarankan agar konsumsinya dikurangi.
“Paling tidak satu kali seminggu atau dua kali seminggu dengan jumlah yang tidak besar. Sebab, daging merah dicurigai dapat menyebabkan kanker,” ungkap dokter Aru dalam diskusi daring Waspada Kanker Usus Besar: Pahami Risikonya dengan PERIKSA.
Selain itu, dokter Aru juga meminta masyarakat mulai mengurangi daging yang diproses. Misalnya, daging kornet, sosis, dan sebagainya. Daging olahan tersebut juga telah terbukti jadi salah satu faktor penyumbang orang terkena kanker kolorektal.
Beberapa faktor lain yang perlu diwaspadai ialah memiliki riwayat keluarga dengan kanker kolorektal, kebiasaan diet rendah serat, dan konsumsi makanan tinggi lemak.
Waspada Sindrom Lynch
Dokter Aru mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap sindrom Lynch dan sindrom poliposis MUTYH. Sindrom Lynch berasal dari mutasi gen bawaan yang menyebabkan kanker kolorektal pada 70 persen hingga 80 persen orang.
Ilustrasi kanker/Freepik
Orang dengan sindrom Lynch juga kerap terkena kanker kolorektal lebih dini pada usia muda. Umumnya, mereka bisa terkena kanker sebelum usia rata-rata 50 tahun.
“Mereka juga berisiko lebih tinggi terkena kanker jenis lain, terutama kanker endometrium dan kanker ovarium. Selain itu, risiko juga meningkat ke penyakit kanker perut dan kanker usus kecil, saluran empedu, ginjal, dan ureter,” imbuhnya.
Sementara itu, sindrom poliposis MUTYH merupakan kelainan genetik langka yang dapat menyebabkan kanker kolorektal. Lebih dari 50 persen orang dengan sindrom ini berkembang menjadi kanker kolorektal pada usia 60 tahunan. Mereka juga berisiko terkena kanker jenis lain, seperti saluranan pencernaan, tulang, ovarium, kandung kemih, tiroid, dan kulit.
Pengobatan Kanker Kolorektal
Ada beberapa opsi pengobatan kanker kolorektal di Indonesia. misalnya, operasi, kemoterapi, terapi radiasi, terapi target, dan imunoterapi kanker kolorektal. Dokter umumnya akan mempertimbangkan kondisi dan lokasi kanker sebelum memutuskan pengobatan.
Seiring kemajuan penanganan kanker kolorektal di Indonesia, khususnya dengan tersedianya terapi target dan pemeriksaan status penanda tumor RAS, diharapkan angka kematian karena kanker kolorektal dapat terus berkurang.
Dengan metode pengobatan personalized treatment, pasien lebih terbantu karena diagnosisnya lebih akurat dan memungkinkan pemberian obat yang tepat. Hal ini dapat meminimalkan efek samping dan meningkatkan kesembuhan pengobatan.
Baca juga: Alat Ini Bantu Tentukan Jenis Kanker Tanpa Operasi
Meskipun demikian, Dokter Aru menjelaskan jika kanker kolorektal telah memasuki stadium IV dan berkembang ke banyak organ, pembedahan mungkin tidak dapat membantu memperpanjang umur seseorang.
Di sisi lain, pilihan pengobatan lain juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat menghasilkan gejala tambahan yang membuat kualitas hidup seseorang menjadi lebih buruk. Lantaran proses penyembuhan yang panjang, dokter Aru mengimbau masyarakat melakukan pencegahan kanker kolorektal sedini mungkin dibanding mengandalkan pengobatan.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.