Warahan Selip Teater Satu Lampung jadi oase di tengah festival sastra Internasional yang banyak mengambil tema global tapi luput terhadap tradisi lokal (Sumber gambar: Ika Nikmatul Huda/Humas Dewan Kesenian Jakarta).

Warahan Selip Teater Satu Lampung, Komedi Satire dalam Gelak Tawa Penonton

24 October 2022   |   16:32 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Lima sosok itu tampak saling mendorong sebelum masuk panggung arena. Kagok, udik dan terkesan cangggung. Setelah mendapat instruksi dari pimpinan produksi, mereka pun masuk mengendap-endap untuk mengenalkan diri dalam dialek Bahasa Lampung. Sementara, di lantai belakang mereka tergelar gambus, gitar, jimbe, rebana, dan kudapan kacang rebus.

Tak lupa beberapa bungkus rokok, asbak, dan tiga gelas kopi hitam tersaji di atas tikar. Semuanya terpapar jelas. Inilah istimewanya pertunjukan arena, ada intimasi antara penonton. Adalah Teater Satu Lampung yang membawa lakon berjudul Warahan Selip: Malam Ini Aku Tak Ingin Sendiri pada Minggu, (23/10/2022) di Gedung Teater Arena Taman Ismail Marzuki. Pentas itu merupakan bagian dari agenda Jakarta International Literary Festival (JILF) 2022.

Baca juga: Roro Jonggrang, Saat Cinta dan Tipu Muslihat dipentaskan dalam Panggung Teater

Disutradarai Iswadi Pratama, kali ini mereka membawa tradisi sastra lisan warahan dengan balutan komedi satire yang segar. Lewat metode akting realisme Stanislavsky, para aktor juga lihai berimprovisasi sehingga tercipta adegan spontan yang memikat. Jarak pandang yang dekat membuat mimik mereka tergambar jelas.

Secara sederhana, lakon hanya mengisahkan tentang kelompok kesenian tradisi yang diundang ke festival sastra internasional. Tapi, ada salah satu personel yang saat menampilkan sastra lisan, ingatannya justru melayang pada tembang kenangan meski dia tidak menyadari hal itu.

Adalah Batin Dengian (Riza Kharisma). Dia merupakan sosok paling berkuasa di grup tersebut. Dari segi akting dan improvisasi, laku aktor ini memang paling dominan. Terlebih, dia juga memiliki vokal bagus, sehingga bisa memainkan cengkok dari warahan, pop, hingga rock, yang selalu menimbulkan gelak penonton.

Dialog antarkarakter juga menjadi medium penyampai pesan yang tepat karena membawa tema sastra lisan (tutur). Konflik antara Batin Dengian dan Sirajuddin (Gandi Maulana) untuk tetap berpijak pada tradisi atau tidak juga menjadi isu krusial dalam khazanah sastra saat ini.

"Jadi kita harus putuskan dulu dalam pementasan ini, harus memainkan sastra tradisi atau kontemporer?" Tanya Sirajuddin pada Dengian."Sastra tradisi yang kekinian," sambut Dengian setelah menyeruput kopi. Tak ayal jawaban itu pun membuat penonton terpingkal-pingkal.
 

Tradisi Lisan Terus Terpinggirkan.

Ditemui Hypeabis.id seusai pementasan, Iswadi Pratama mengatakan pementasan lakon Warahan Selip memang dikhususkan untuk acara JILF 2022. Di tengah gegap gempita festival sastra lokal atau internasional di Indonesia, menurutnya penyelenggara sering luput untuk melibatkan seniman tradisi sastra tutur.

Iswadi menilai, saat ini banyak pegiat sastra yang banyak berbicara mengenai isu luas, tapi mereka tidak menyadari ada isu mengenai sastra di dekatnya yang terancam punah karena jarang diberi ruang. Padahal, banyak sastra modern yang terinspirasi dari kebudayaan sastra lokal.

Tak hanya di Lampung dengan tradisi Warahan, tergerusnya tradisi lisan, menurut Iswadi juga sangat mungkin terjadi di daerah lain. Problem tersebut, mestinya juga diberi ruang untuk didiskusikan dalam membaca khazanah kesusastraan Indonesia kiwari.

Dalam konteks ruang dan waktu, menurut Iswadi tradisi juga tidak bisa dilihat melalui perspektif modernisme. Tapi dapat disiasati dengan 'dialog' agar mereka tetap eksis. Wayang kulit misalnya, saat ini bisa juga dipentaskkan selama dua jam, sehingga lebih dapat menyesuaikan dengan kesibukan masyarakat untuk dapat menikmati pagelaran tersebut.

Namun, format sebenarnya juga harus mendapat ruang. Sebab jika tidak, generasi mendatang tidak akan tahu bahwa wayang kulit sebenarnya digelar semalam suntuk. Inti persoalan ini menurut Iswadi bukan hanya soal pertunjukan, tapi pergaulan sosial yang intim di baliknya yang juga harus tetap dirawat.

"[Saat ini] ada banyak pelaku seni tradisi atau sastra tutur yang nasibnya sudah makin nggak jelas. Karena dia nggak punya ruang, bukan cuma di Ibu Kota, tapi daerah lain. Kalau memang mendapat ruang ya pasti event-event formal gitu ya, seperti agenda pemerintah," papar Iswadi.
 

Naskah yang Plastis.

Adapun, Riza Kharisma, salah satu aktor dalam pentas tersebut mengungkap, naskah Warahan Selip sebenarnya pernah dipentaskan di Temu Karya Taman Budaya (TKTB) Kalimantan dengan konteks yang berbeda dengan pementasan di JLIF 2022. Tapi, dasarnya berangkat dari penguatan karakter lewat metode realisme.

Hanya memiliki proses latihan dalam jangka waktu 2 minggu, pembuatan naskahnya sendiri tidak serta merta dibuat dari teks, tapi lewat improvisasi dan tutur lisan selama latihan berlangsung dengan dipandu oleh Iswadi Pratama.

"Saat karakter sudah dipegang, kita dapat pentas di mana saja dengan isu yang langsung berubah. Seperti di sini, isunya sastra dan kota, ya langsung berubah. Yang penting karakternya sudah dipegang," ungkap Riza.

Sementara itu, Gandi Maulana mengatakan terkait peran yang dilakoninya lebih banyak melakukan pendalaman tentang bagaimana orang udik memandang sastra dan kota. Proses itu lalu diterjemahkan ke laku fisik dan penguatan karakter.

"Intinya tentang bagaimana kami melihat dunia. Nah itu lalu dijadikan karakter yang mau dibawakan. Jadi lebih ke menjelmakannya dalam bentuk karakterisasi dan pertunjukan," ujar Gandi.

Baca juga: Agenda Pertunjukan Teater Oktober 2022, Ada Teater Koma dan Aksi Teatrikal  Sejarah!

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Stuntman Punya Peran Lebih Penting dari Sekadar Pemeran Pengganti

BERIKUTNYA

Angkat Wastra Nusantara, Indonesia Fashion Chamber Bakal Gelar Peragaan Busana Spotlight: Celebration of Diversity

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: