Mengenal Down Syndrome dan Mitos-mitos Salah yang Masih Menyelimutinya
06 September 2022 |
17:08 WIB
1
Like
Like
Like
Down syndrome merupakan kelainan genetik yang dibawa sejak bayi lahir. Di Indonesia, angka pengidapnya terus bertambah setiap tahunnya. Namun, sayangnya masih banyak yang salah kaprah soal down syndrom. Beberapa mitos soal down syndrome bahkan masih banyak yang menyetujuinya.
Kelainan yang berdampak terhadap keterbelakangan pertumbuhan mental dan fisik ini pertama kali dikenal Dr. John Langdon Down pada 1866. Pada 1970-an sejumlah ahli di Amerika Serikat dan Eropa merevisi nama kelainan yang diteliti tersebut sesuai dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah down syndrom, yang mana terus dipakai hingga sekarang.
Kasus down syndrome di Indonesia cenderung terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, sebanyak 0,12 persen anak-anak yang berusia 24-59 bulan terkena down syndrome. Pada Riskesdas 2013 meningkat menjadi 0,13 persen dan Riskesdas 2018 meningkat lagi jadi 0,21 persen.
Baca juga: Kenali Faktor Risiko Anak Down Syndrome sejak dalam Kandungan
Sementara itu, data sistem informasi rumah sakit (SIRS) pada 2015 mencatat pada telah terjadi peningkatan kasus pada 2015-2017. Jumlah yang meningkat ini membuat Indonesia mesti mewaspadai dan mengambil tindakan tepat mengurangi peningkatannya.
Kelainan ini membuat bayi memiliki kelebihan kromosom. Umumnya, manusia punya 46 kromosom di setiap selnya. Namun, penderita down syndrome memiliki 47 kromosom di setiap selnya. Jumlah kromosom berlebih membuat pengidapnya mengalami gangguan belajar.
Down syndrome umumnya terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, Trisomi 21, yakni setiap sel tubuh pengidapnya memiliki salinan ekstra komosom 21. Kedua, Mosaik, yakni salinan ekstra dari kromososm 21 menempel di beberapa sel.
Hal itu membuat ciri-ciri pengidap jenis down syndrome ini tidak terlalu jelas. Ketiga, Translokasi, jenis ini salinan ekstra dari kromososm 21 menempel di kromosom lain. Jenis ini bisa menurun dari orang tua ke anak.
Sayangnya, kelainan genetik ini merupakan kondisi seumur hidup. Namun, bukan berarti pengidapnya tidak bisa hidup dengan layak. Dengan perawatan yang tepat, down syndrome juga bisa tumbuh sehat dan produktif.
Ada beberapa gejala umum yang bisa dilihat dari seorang anak yang mengalami down syndrome. Pengidap down syndrome biasanya memiliki tampilan wajah yang khas. Misalnya, tulang hidung mereka cenderung rata dan ukuran telinganya lebih kecil dari anak-anak yang lain.
Selain itu, ukuran kepala juga terlihat lebih kecil dengan bagian belakangnya cenderung datar. Di bagian matanya, muncul bintik-bintik berwarna putih pada bagian mata yang hitam. Mulutnya pun juga terlihat lebih kecil dan lidahnya sering menjulur ke luar.
Anak pengidap down syndrome juga otonya terbentuk kurang sempurna. Telapak tangannya lebar, tetapi jari-jarinya justru pendek. Di sisi lain, berat dan tinggi badan mereka rendang dibanding rata-rata anak-anak lain.
Di tengah kepedulian masyarakat terhadap isu kesehatan mental, masih banyak orang yang salah sangka dengan down syndrome. Banyak informasi beredar soal down syndrome yang ternyata hanya mitos belaka.
Misalnya, soal anggapan down syndrome adalah penyakit langka. Padahal, kelainan genetik ini tidak langka dan umum terjadi di dunia. Di Amerika Serikat, setidaknya ada satu di antara 691 bayi yang lahir dengan down syndrome.
Selain itu, ada anggapan keliru yang masih diamini masyarakat soal anak down syndrome yang harus masuk sekolah khusus. Padahal, pengidap down syndrome punya karakter yang khas, tak terkecuali soal kemampuan intelektual. Mereka bisa tetap mengikuti kurikulum normal dengan tambahan kelas secara spesifik.
Baca juga: Sofía Jirau, Model Victoria's Secret Pertama dengan Down Syndrome
Tak cukup sampai di situ, beberapa orang juga masih berpandangan pengidap down syndrome tidak bisa memiliki keturunan. Padahal, kemungkinan mereka punya keturunan masih ada. Memang penyakit ini membuat tingkat kesuburan berkurang, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor : Gita Carla
Kelainan yang berdampak terhadap keterbelakangan pertumbuhan mental dan fisik ini pertama kali dikenal Dr. John Langdon Down pada 1866. Pada 1970-an sejumlah ahli di Amerika Serikat dan Eropa merevisi nama kelainan yang diteliti tersebut sesuai dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah down syndrom, yang mana terus dipakai hingga sekarang.
Kasus down syndrome di Indonesia cenderung terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, sebanyak 0,12 persen anak-anak yang berusia 24-59 bulan terkena down syndrome. Pada Riskesdas 2013 meningkat menjadi 0,13 persen dan Riskesdas 2018 meningkat lagi jadi 0,21 persen.
Baca juga: Kenali Faktor Risiko Anak Down Syndrome sejak dalam Kandungan
Sementara itu, data sistem informasi rumah sakit (SIRS) pada 2015 mencatat pada telah terjadi peningkatan kasus pada 2015-2017. Jumlah yang meningkat ini membuat Indonesia mesti mewaspadai dan mengambil tindakan tepat mengurangi peningkatannya.
Apa itu Down Syndrome
Down syndrome merupakan kelainan genetik yang membuat pengidapnya memiliki kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. Kelainan genetik ini cukup sering terjadi di dunia. WHO memperkirakan 3.000 hingga 5.000 bayi terlahir dengan down syndrome setiap tahunnya.Kelainan ini membuat bayi memiliki kelebihan kromosom. Umumnya, manusia punya 46 kromosom di setiap selnya. Namun, penderita down syndrome memiliki 47 kromosom di setiap selnya. Jumlah kromosom berlebih membuat pengidapnya mengalami gangguan belajar.
Down syndrome umumnya terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama, Trisomi 21, yakni setiap sel tubuh pengidapnya memiliki salinan ekstra komosom 21. Kedua, Mosaik, yakni salinan ekstra dari kromososm 21 menempel di beberapa sel.
Hal itu membuat ciri-ciri pengidap jenis down syndrome ini tidak terlalu jelas. Ketiga, Translokasi, jenis ini salinan ekstra dari kromososm 21 menempel di kromosom lain. Jenis ini bisa menurun dari orang tua ke anak.
Sayangnya, kelainan genetik ini merupakan kondisi seumur hidup. Namun, bukan berarti pengidapnya tidak bisa hidup dengan layak. Dengan perawatan yang tepat, down syndrome juga bisa tumbuh sehat dan produktif.
Tanda-Tanda dan Gejala Down Syndrome
Ada beberapa gejala umum yang bisa dilihat dari seorang anak yang mengalami down syndrome. Pengidap down syndrome biasanya memiliki tampilan wajah yang khas. Misalnya, tulang hidung mereka cenderung rata dan ukuran telinganya lebih kecil dari anak-anak yang lain.Selain itu, ukuran kepala juga terlihat lebih kecil dengan bagian belakangnya cenderung datar. Di bagian matanya, muncul bintik-bintik berwarna putih pada bagian mata yang hitam. Mulutnya pun juga terlihat lebih kecil dan lidahnya sering menjulur ke luar.
Anak pengidap down syndrome juga otonya terbentuk kurang sempurna. Telapak tangannya lebar, tetapi jari-jarinya justru pendek. Di sisi lain, berat dan tinggi badan mereka rendang dibanding rata-rata anak-anak lain.
Mitos-Mitos yang Selimuti Down Syndrome
Di tengah kepedulian masyarakat terhadap isu kesehatan mental, masih banyak orang yang salah sangka dengan down syndrome. Banyak informasi beredar soal down syndrome yang ternyata hanya mitos belaka.Misalnya, soal anggapan down syndrome adalah penyakit langka. Padahal, kelainan genetik ini tidak langka dan umum terjadi di dunia. Di Amerika Serikat, setidaknya ada satu di antara 691 bayi yang lahir dengan down syndrome.
Selain itu, ada anggapan keliru yang masih diamini masyarakat soal anak down syndrome yang harus masuk sekolah khusus. Padahal, pengidap down syndrome punya karakter yang khas, tak terkecuali soal kemampuan intelektual. Mereka bisa tetap mengikuti kurikulum normal dengan tambahan kelas secara spesifik.
Baca juga: Sofía Jirau, Model Victoria's Secret Pertama dengan Down Syndrome
Tak cukup sampai di situ, beberapa orang juga masih berpandangan pengidap down syndrome tidak bisa memiliki keturunan. Padahal, kemungkinan mereka punya keturunan masih ada. Memang penyakit ini membuat tingkat kesuburan berkurang, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor : Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.